Pondok Pesantren Tahfidzul Quran: Lembaga Pembinaan, Pendidikan, dan Pengembangan Ilmu Al-Qur’an (LP3IA) asuhan Gus Baha bisa dibilang merupakan pondok pesantren yang melawan arus. Berbeda dengan umumnya pondok pesantren di Rembang, Jawa Tengah yang memiliki seperangkat aturan yang cukup ketat, LP3IA Gus Baha justru menawarkan “kebebasan” bagi para santri.
Tak ada aturan wajib salat berjamaah. Tidak ada aturan ketat dalam hal ngaji. Tak ada pula sistem takzir (hukuman) laiknya banyak pondok pesantren, baik di Rembang maupun di manapun.
Namun, bukan berarti pondok pesantren ini tak mengurus secara serius para santrinya. Justru kebebasan yang LP3IA Gus Baha berikan adalah bagian dari mengurus dan mendidik santri itu sendiri.
***
Agak sulit mencari informasi perihal siapa yang bisa dihubungi untuk wawancara soal LP3IA Rembang. Setelah mencoba mencari-cari, saya akhirnya dipertemukan dengan Fatoni (25), salah satu alumni di sana. Setelah mengetahui alamat tempat tinggal Fatoni, saya pun langsung menuju ke kediamannya untuk bertanya-tanya perihal LP3IA. Langkah tersebut saya ambil karena teringat dengan maklumat Gus Baha, bahwa beliau tak berkenan di-sowani.
“Kecuali untuk keluarga dan tamu-tamu tertentu. Jadi para santri senior jika ada tamu akan memfilter dulu, siapa yang boleh dan tidak boleh sowan,” jelas Fatoni.
Kata Fatoni, dulu sempat ada seorang wartawan seperti saya yang hendak sowan ke Gus Baha. Para santri senior sudah menjelaskan bahwa Gus Baha tak berkenan di-sowani.
Namun karena wartawan tersebut bersikukuh untuk sowan, maka dibiarkanlah ia menunggu hingga seharian penuh. Tapi maklumat tetap maklumat. Wartawan tersebut tidak bisa sowan Gus Baha.
“Oh ya, di LP3IA nggak ada istilah pengurus. Nggak ada struktur kepengurusan seperti di pondok-pondok lain. Yang ada santri senior, yang mondoknya sudah lama di sini. Santri senior inilah yang secara otomatis menjalankan fungsi atau tugas seperti pengurus,” jelas Fatoni dengan sangat ramah.
Gus Baha tak berkenan disowani
Bukan tanpa dasar kenapa Gus Baha tak begitu berkenan menerima orang-orang yang sowan. Kata Fatoni, hal tersebut ternyata sudah pernah Gus Baha konsultasikan pada KH. Maimoen Zubair (Mbah Meon). Mbah Moen tak mempermasalahkan, karena Gus Baha punya dasar yang kuat.
“Salah satu “keresahan” Gus Baha, orang itu cuma suka sowan kiai, tapi nggak suka ngaji. Gus Baha maunya orang itu suka ngaji. Jadi ya sudah, sowan-nya waktu ngaji saja,” terang Fatoni.
Termasuk di setiap momen Lebaran, Gus Baha pasti mengeluarkan maklumat agar masyarakat umum tidak sowan meski dengan tujuan halal bihalal. Sowan untuk halal bihalal dirangkap saja sekalian dengan ngaji rutinan Tafsir Jalalain di LP3IA setiap Rabu, setelah mulai kembali bakda libur Lebaran.
Dasar Gus Baha bersikap demikian adalah karena demikian pula lah yang para sahabat dan Rasulullah Saw contohkan. Di mana setiap para sahabat sowan pada Rasulullah Saw, pasti urusannya adalah ngaji: minta pendapat terkait hukum atas suatu persoalan.
“Terus ya nggak sopan kalau orang sering sowan ke ndalem kiai. Kok nggak kasihan sama kiainya. Kiainya punya keluarga, butuh waktu dengan keluarga,” sambung Fatoni mengutip penuturan dari Gus Baha, yang memang sudah sering beliau sampaikan dalam banyak kesempatan ngaji.
Sebagai dasar, dulu para sahabat tidak pernah sowan ke rumah Rasulullah Saw. Mereka pasti memilih menunggu di masjid. Jika Rasulullah Saw belum ada di masjid, masih di rumah, maka itu artinya diri Rasulullah masih khusus untuk keluarganya. Jangan diganggu.
Tapi kalau Rasulullah Saw sudah masuk masjid, maka saat itu Rasulullah Saw sudah menjadi milik publik. Itulah yang Gus Baha pakai sebagai dasar. Jika sudah di rumah, maka itu adalah momen Gus Baha untuk keluarga. Gus Baha baru menjadi milik publik setelah duduk di depan meja mengajarnya di LP3IA.
Metode “Santri Nalar” ala Gus Baha di LP3IA
Seperti yang saya singgung di awal tulisan, LP3IA menjadi pondok pesantren yang menawarkan “kebebasan” pada para santri. Tak ada seperangkat aturan yang mengikat. Tujuannya, kata Fatoni, adalah melatih santri dalam bernalar.
“Misalnya, nggak ada aturan wajib salat jamaah. Ya biar santri nyari hukumnya sendiri. Gimana hukumnya secara syariat?” ujar Fatoni.
Hukum salat berjamaah sendiri berbeda antara satu dengan yang lain. Ada yang menyebutnya wajib, fardhu kifayah, bahkan sunnah muakad. Menghadapi perbedaan pendapat tersebut, Gus Baha pun meminta santri untuk menalar dengan analogi yang sederhana dan sehari-hari.
Misalnya yang sering Gus Baha contohkan pada para santri LP3IA: kalau sowan orang besar saja (misalnya ke Mbah Moen), orang cenderung tak berani sendiri alias beramai-ramai, masa sowan ke Allah Swt (salat) sok berani sendirian?
Itulah kenapa di LP3IA para santri terkesan tidak mendapat tuntutan harus segera hafal Al-Qur’an atau bisa membaca kitab kuning. Karena Gus Baha lebih menekankan agar para santri berlatih bernalar secara pelan-pelan.
Sebab kalau nalar sudah jalan, nanti pasti lebih mudah dalam memahami teks-teks hukum, baik dalam Al-Qur’an maupun kitab kuning. Karena kalau memahami hukum tanpa penalaran yang kuat, maka nanti jadinya beragama secara kaku.
“Kegiatan di LP3IA itu: pagi santri nderes hafalan Qur’an. Siang setoran. Malam habis Isya ngaji madrasah, ada lah guru yang ngajar bagian ini sendiri. Ya mulai dari ngaji Nahwu dan lain-lain itu,” terang Fatoni.
“Kalau ngaji kitab sama Gus Baha itu seminggu tiga kali. Malam Ahad, malam Senin, dan malam Kamis. Kitabnya rata-rata Fikih. Karena Gus Baha kan memang pakarnya di situ. Ada Fathul Qorib, ada Bulughul Marom,” sambungnya.
Selain itu, Gus Baha juga membuka ngaji untuk masyarakat umum setiap dua minggu sekali di hari Rabu. Ngaji Tafsir Jalalain dari pukul 12.00 WIB-14.00 WIB.
Takziran Gus Baha: tidak diajar ngaji
Ilmu dan nalar memang menjadi perkara yang sangat Gus Baha tekankan pada santrinya. Dalam suatu kesempatan, Gus Baha bahkan mengkritik pedoman “adab lebih tinggi dari ilmu”. Kata Gus Baha, “ilmu lah yang lebih tinggi dari adab”. Karena dengan ilmu, seseorang pada akhirnya mengetahui perihal adab.
Kata Fatoni, Gus Baha pun sempat berpesan pada santri LP3IA agar menjadikan ngaji sebagai tarekat. Sebab, ilmu juga mengandung nilai keramat. Konsep ini menjadi pembanding atas konsep tarekat yang nilai keramatnya berasal dari zikir yang panjang atau ketekunan pada salat malam.
“Padahal zikir atau salat Tahajud misalnya, itu sifatnya sunnah. Sementara ngaji alias tholabul ilmi itu faridhotun (wajib). Mangkanya di LP3IA nggak ada itu obyakan harus salat Tahajud atau salat Duha,” kata Fatoni.
“Gus Baha sangat tegas, urusan wajib dan sunnah harus dibedakan. Nah, banyak orang itu malah perkara sunnah seolah-olah wajib, itu kan salah kaprah. Mangkanya ngaji dulu,” imbuhnya.
Sepengalaman Fatoni nyantri di Gus Baha, memang tidak ada takziran (hukuman) bagi yang tidak salat berjamaah, tidak setoran tepat waktu, atau tidak mengikuti kegiatan pondok yang lain. Namun, ada satu momen yang membuat Gus Baha memberi semacam takziran, yakni ketika mendapati santri yang tidak proporsional dalam menempatkan perkara sunnah: menempatkan ibadah sunnah seolah-olah wajib
Gus Baha langsung menyinggung si santri agar membuka kitab lagi untuk mencari hukumnya. Dalam masa tersebut, Gus Baha tidak berkenan mengajar. Itulah bentuk takzirannya.
“Mungkin ada pondok yang kalau kiainya nggak ngajar, santri malah seneng. Tapi karena Gus Baha melatih santri LP3IA bernalar, kiai nggak ngajar itu ibarat hukuman, tersiksa sekali. Karena nggak diajar itu santri terancam bodoh,” terang Fatoni.
LP3IA menerima siapa saja
Fatoni sendiri nyantri di LP3IA sebelum Gus Baha viral. Ia awalnya malah berniat mondok di sana karena riwayat sosok pendiri LP3IA yang merupakan ayahanda Gus Baha, yakni KH. Nursalim.
Mengingat, tujuan awal Fatoni mondok di LP3IA adalah untuk memperlancar hafalan Al-Qur’an. Dan di Kragan sendiri KH. Nursalim adalah satu-satunya sosok yang bergelar Al-Hafiz.
“Jadi aku ngonangi santri cuma 60-an orang. Terus setelah Gus Baha viral di masa-masa Corona (2020), sampai sekarang totalnya ada 1.600-an santri,” ungkap Fatoni. Dulu bangunan pondok juga terbatas. Namun karena santri makin banyak, LP3IA pun diperbesar.
“Bahkan dulu ndalem Gus Baha itu kecil sekali. Hujan ya bocor,” sambungnya.
Fatoni tak tahu persis bagaimana sejarah perjalanan LP3IA. Ia dan para santri LP3IA hanya sekilas-sekilas mendengar sejarah LP3IA dari Gus Baha saat bercerita di tengah-tengah mengaji.
Perkiraan LP3IA dibangun KH. Nursalim pada medio 60-an dengan fokus pada tahfidzul Qur’an. Sampai kemudian, setelah beliau wafat pada 2005, Gus Baha lah yang secara otomatis melanjutkannya.
Gus Baha yang saat itu masih merantau di Jogja pada 2003 diminta secara khusus oleh KH. Nursalim untuk pulang ke Narukan. Yang ternyata merupakan semacam isyarat kalau KH. Nursalim hendak menghadap Allah Swt. Sehingga Gus Baha harus menggantikan.
Di masa-masa awal pengasuhannya, Gus Baha memang mendesain LP3IA sebagai pondok salaf untuk mencetak para ahli Al-Qur’an. Tidak hanya bab hafalan, tapi juga pada bab hukum
“Terus seiring makin banyaknya santri, kakak sulung Gus Baha, Gus Nasirul Mahasin mengusulkan pembentukan yayasan. Jadi di LP3IA sekarang ada sekolahnya. Dari MTs, MA, sampai Ma’had Aly,” papar Fatoni.
“Gus Baha awalnya nggak setuju. Beliau penginnya mondok ya mondok. Jangan diganggu sekolah. Tapi pada akhirnya beliau tetap manut sama kakaknya,” tambahnya.
Tidak bisa dimungkiri LP3IA kebanjiran santri sedikit banyak karena faktor viralnya Gus Baha. Sehingga ada memang beberapa santri yang nyantri cuma karena pengin dengar Gus Baha ngaji. Sementara santri tersebut baca tulis Arab saja belum bisa. Namun ya tetap diterima.
“Karena kalau pondok bikin aturan atau tes-tesan (harus pintar baca kitab dll) untuk diterima, orang-orang awam kayak gitu nggak bisa mondok. Begitu kata Gus Baha,” jelas Fatoni.
Itulah kenapa LP3IA menjadi salah satu pondok pesantren yang mempertahankan biaya murah untuk para santri. Dalam satu bulan, kata Fatoni, santri cukup membayar bulanan sebesar Rp200 ribu. Itu sudah dapat makan dua kali dan sederet fasilitas lain. Sebab jika terlalu mahal, lagi-lagi kasihan orang kecil yang mau memondokkan anaknya.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Menemukan Jalan Tobat dari Pengajian Gus Iqdam, Gusnya Para Bajingan
Cek berita dan artikel lainnya di Google News