Kisah Toko Buku Akik di Jogja yang Membuat Dian Sastro Rela Menunggu

Tomi, pendiri Toko Buku Akik. (Ilustrasi Ega Fansuri/Mojok.co)

Kalau ada satu toko buku yang perlu kamu sambangi saat berkunjung ke Jogja, Buku Akik adalah tempatnya. Mereka punya sejumlah hal yang mungkin, tidak akan kamu jumpai di toko buku lain di Jogja. 

***

Tahun 2016, saat toko ini baru melayani pembelian secara daring, sosok aktris pujaan banyak kalangan, Dian Sastrowardoyo, bahkan rela menunggu sedikit lama agar bisa mendapatkan beberapa keping buku dari tempat ini.

Tomi Wibisono (30), pendiri Buku Akik saat itu tak menyangka kalau sebuah akun Instagram yang mengirim pesan ke Instagram tokonya adalah pemeran Cinta dalam Ada Apa dengan Cinta yang melegenda itu. Sehingga ia sempat mengabaikan pesan tersebut. 

Bukan hanya dalam hitungan hari, pesan itu sempat terabaikan selama sepuluh bulan. Dikirim September 2015 dan baru terbalas pada Juli 2016. 

Saat koleganya sedang mencoba mengecek pesan-pesan lama di Instagram, barulah tersadar bahwa itu akun Dian Sastro sungguhan. Seketika, kehebohan mendera markas Buku Akik yang kala itu masih berada di Seturan, Caturtunggal, Sleman. 

“Ini Dian Sastro beneran! Dia cari beberapa buku yang kami tidak punya stoknya. Tapi kami tetap sanggupi untuk menyediakan,” ujar Tomi.

Segera, segenap kru Buku Akik menghentikan aktivitasnya lalu mencari beberapa buku yang Dian Sastro pesan. Ada lima buku yang dicari saat itu dan semuanya bicara tentang sosok RA Kartini. Dian, kala itu, memang hendak memerankan sosok Kartini di film garapan sutradara Hanung Bramantyo.

Tomi Wibisono, pendiri Buku Akik [dok. Toko Buku Akik]
 

Proses itu jelas memakan waktu. Pertama buku dibeli dan dikirim ke Buku Akik yang perlu waktu sekitar 2-3 hari. Setelah semua buku terkumpul selanjutnya baru bisa dikirimkan ke alamat Dian. Namun beruntung, Dian rela menunggu.

“Mbak Dian sih memang tidak bilang butuh cepat. Beberapa yang ia cari memang buku yang tergolong langka. Kami dapat harganya ada yang sekitar 200-300 ribu. Tapi kami jual 100 ribuan saja,” kenang Tomi.

Masa awal berjualan, Buku Akik memang sering mencarikan pesanan yang stoknya tidak ada di tempat mereka. Lambat laun, saat toko ini tumbuh dan berkembang menjadi semakin besar dan mulai kewalahan kalau harus mencarikan buku yang tidak mereka miliki.

Buka toko buku fisik

Pertumbuhan itu mendorong Tomi untuk merintis toko buku fisik agar para pembeli bisa berkunjung dan menikmati suasana memilih buku langsung. Toko Buku Akik hadir dan terbuka untuk dikunjungi pembeli sejak akhir 2018. Letaknya jauh dari pusat kota, tepatnya di Jalan Kaliurang KM 12, Ngaglik, Sleman. Namun, jarak yang jauh itu tidak menghalangi para pecinta buku untuk hadir ke sana.

Saya berkunjung dan menemui sang pemilik pada Rabu (7/12) sore. Sambil menimang bayi kecilnya, Tomi mengitari rak-rak buku sambil menceritakan koleksi-koleksi dan segala hal tentang toko ini. Ada pula kucing yang dijumpai di sana. Membuat suasana Toko Buku Akik terasa hangat. 

Kehangatan itu membuat satu dua pengunjung yang saat itu datang berkeliling dengan nyaman. Melihat-lihat koleksi yang dijual maupun ditata di perpusatakan. Ada pula sebagian yang asyik berbincang di tengah ruang. 

Buku Akik punya dua sisi. Di sisi barat ruang, disulap menjadi perpustakaan berisi beragam koleksi buku. Sedangkan buku yang dijual diletakkan di rak-rak sisi timur ruang. Segala hal untuk menopang penjualan daring berada di ruang belakang. 

Di etalase rak terdepan, tidak ditemukan buku-buku best seller yang umum ditemui di jejaring toko buku besar. Tomi punya keinginan untuk memajang beberapa buku yang menurutnya menarik untuk diketahui pembaca.

Pengunjung buku akik [Dok. Buku Akik]

Sebuah rak yang letaknya cukup strategis, berisi buku-buku Jack Kerouac, Alen Ginsberg, Leo Tolstoy dan beberapa penulis lain yang mungkin tidak banyak dicari. Buku-buku yang dilabeli koleksi vintage Buku Akik.  “Dua atau tiga bulan paling laku satu eksemplar,” kata Tomi tertawa.

Tapi ia ingin mempertahankan buku-buku itu di rak yang menurutnya ideal. Koleksi itu, merupakan genre-genre buku yang awal dijual di Buku Akik. Saat awal, Buku Akik hadir dengan koleksi yang tidak lepas dari empat genre buku saja yakni musik, politik, seni, dan sastra. Buku-buku yang memang jadi kesukaan Tomi. Selain itu, buku puisi yang menurutnya jarang laku pun ia berikan tempat cukup banyak memenuhi beberapa rak. 

Upaya memuliakan buku

Toko ini belakangan sudah tumbuh dan berkembang. Situasi yang jauh dari bayangan awal perintisnya. Dulu, tahun 2015, Buku Akik hadir karena dengan semangat untuk senang-senang semata. Tidak ada bayangan untuk menjadi besar dan meraih banyak keuntungan. Buku yang dijual adalah koleksi pribadi Tomi. 

“Jual buku koleksi untuk beli yang baru. Sesederhana itu,” katanya saat kami duduk di ruang kerjanya yang remang. Di dinding, koleksi piringan hitam dan buku terpajang rapi. Musik dan buku adalah hal yang tak bisa dilepaskan dari sang empunya toko ini.

Tomi pun menamai usaha senang-senangnya sesuai tren yang sedang digandrungi di tahun-tahun itu yakni batu akik. Batu itu begitu dimuliakan dan dicari banyak orang. Lelaki kelahiran Balikpapan ini jadi berpikiran, “mengapa buku tidak dimuliakan selayaknya akik,” cetusnya. Hal itu lantas mengilhami nama Buku Akik.

Perlahan usaha itu berkembang. Koleksi tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan pembeli. Tomi melakukan langkah sederhana untuk mengembangkan bisnisnya. Ia berkunjung ke sejumlah toko buku di Jogja untuk memotret sampul-sampul buku. Foto itu lalu ia unggah ke Instagram Buku Akik.

Saat ada pelanggan yang tertarik, maka ia akan kembali ke toko tadi untuk membeli. Lalu melakukan proses pengiriman. Siklus itu ia lakukan selama masa-masa awal berdagang.

“Jadi kalau ditanya di mana gudang Buku Akik? Saat itu gudangnya ada di mana saja. Setiap toko buku itu gudang kami,” ujarnya terkekeh.

Buku Akik tergolong salah generasi awal toko buku online yang mampu memanfaatkan Instagram untuk meraih ceruk pasar. Era itu, kebanyakan toko lain masih mengandalkan penjualan lewat Facebook.  Saat ini, Instagram @bukuakik sudah punya lebih dari 370 ribu pengikut.  Toko buku dengan basis pengikut media sosial terbesar di Indonesia.

Latar belakang Tomi yang merupakan jurnalis musik juga membantunya mengembangkan toko buku ini. Tahun 2012 bersama sejumlah rekan mendirikan Warning Magazine, sebuah majalah musik independen yang bermarkas di Jogja. Kolega sekaligus kawan di Warning Magazine banyak yang akhirnya turut membantu mengurus dan menghidupkan toko buku ini.

Mereka yang pernah menemani Tomi di Buku Akik memang orang-orang yang tak jauh dari kerja-kerja seni dan literasi. Ada Titah AW, sosok jurnalis lepas yang pernah menerbitkan buku kumpulan reportase Parade Hantu Siang Bolong. Lalu musisi Umar Haen dan juga seorang penulis sekaligus periset Dwiki Aprinaldi.

“Ada banyak teman-teman lain. Ibarat, dulu tu di sini mereka kumpul dan bantu buat menghidupi kerja-kerja kesenian yang kadang nggak ada duitnya itu,” candanya.

Pesan-pesan pengunjung di Buku Akik. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Tomi punya relasi yang cukup luas di kalangan komunitas musik tanah air. Hal itu cukup membantunya saat merintis usaha ini.  Kala itu, koleksi buku Tomi banyak diminati oleh sosok-sosok seperti Arian Seringai, Jerinx SID, dan beberapa musisi lain seperti Fiersa Besari.

“Mungkin karena itu juga, kami jadi lebih cepat berkembang saat itu. Melalui komunitas musik,” terangnya.

Menawarkan nilai lebih

Penjualan online cukup menjanjikan. Dukungan dari komunitas musik, seni, dan sastra punya peran untuk mengembangkan Buku Akik di masa-masa awal. Hingga akhirnya Tomi ingin lebih serius mengelola toko buku miliknya.

“Ternyata, bisa buat hidup juga. Sadar itu sekitar tahun 2018. Akhirnya memutuskan pindah ke bangunan milik orang tua di Kaliurang ini,” kata Tomi yakin.

Keseriusannya salah satunya diwujudkan dengan mendirikan toko buku yang bisa dikunjungi pelanggan. Sebenarnya Tomi sadar kalau toko buku sudah ada di masa senjakala. Masa yang kurang menjanjikan. Tapi Tomi melihat ada berbagai nilai yang bisa diciptakan supaya toko buku tidak sekadar tempat membeli buku.

Toko buku yang menginspirasinya adalah Shakespeare & Co di Paris. Toko buku legendaris yang mulanya ia kenal dari tulisan Ernest Hemingway dan Before Trilogy garapan sutradara Richard Linklater.

Di meja kerja Tomi, tergeletak buku tebal berjudul Shakespeare and Company : A History of the Rag & Bone Shop of The Heart. Buku yang menghidupkan semangat untuk terus mengembangkan dan menghidupkan toko buku.

Shakespeare and Co tumbuh besar bukan soal penjualannya. Tapi karena perannya menjadi tempat bertemu seniman, penulis, dan pekerja seni lain. Mereka juga menghasilkan penulis,” ucapnya.

Saat berkesempatan mengunjungi Paris dan mampir ke toko buku itu 2019 silam, Tomi menyadari, bahwa Buku Akik secara tidak langsung sudah menjalankan beberapa hal yang ada di sana. Sejak lama, Buku Akik sudah menjadi tempat berkumpul penulis-penulis muda penuh gairah seperti yang sebagian sudah diceritakan di atas. 

“Dulu kami menyebutnya read and destroy. Kami baca buku lalu mabuk-mabukan,” ujarnya tertawa. Mengenang masa muda yang slebor.

Selepas serius membuka toko buku, ia mulai lebih perhatian pada aspek-aspek penataan ruang. Etalase dibuat tidak patuh pada pakem-pakem yang biasa ditemui di toko buku besar. Di bagian depan yang awal dilihat pengunjung, tidak selalu ditemukan buku-buku populer.

Pada periode tertentu, Buku Akik akan memberikan tempat khusus untuk beberapa penulis yang ingin mereka tonjolkan. Ia juga tidak ingin memberi batas waktu tampil bagi buku-buku tertentu yang dianggap sudah usang.

“Ya sebetulnya perlu ada batas waktu. Tapi kita ingin memberikan kesempatan untuk buku lama agar bisa tetap nongol,” ujarnya. 

Lewat rupa penataan ini, ia berharap Buku Akik dengan sendirinya bisa berbicara pada pengunjung. Setiap rak etalase menunjukkan sesuatu. Bercerita sesuai apa yang ada di benak perancangnya. Pengalaman berbeda ingin disajikan pada para pengujung. 

Hasilnya, beberapa tahun belakangan, Buku Akik jadi jujugan mereka yang sedang berkunjung ke Jogja dan ingin mendapatkan pengalaman di toko buku yang menyenangkan. Pengunjung tempat ini didominasi orang-orang dari luar kota.

Kadang hal-hal itu membuat pemiliknya heran. Tapi rasa senang tak bisa disembunyikan dari wajahnya. Di meja, tergeletak tumpukan rupa-rupa testimoni pengunjung yang sudah ia baca. Total ada ribuan, sebagian ditempel di salah satu sudut toko.

Kebanyakan di antara pengunjung memberikan testimoni menyenangkan. Merasa nyaman dengan tempatnya, suasana, koleksi buku, dan hal-hal lain yang kadang membuat Tomi mesem sendiri ketika membaca.

Najwa Shihab, Jason Ranti, hingga Pidi Baiq pun mampir

Ia mengakui, kalau ramainya kunjungan belakangan tak lepas dari peran para pesohor yang datang. Puncaknya saat Najwa Shihab berkunjung. Selepasnya, bahkan ada orang yang datang untuk sekadar berpose di tempat Najwa sempat berfoto.

Tomi sampai mendapat banyak pertanyaan tentang jumlah uang yang harus ia gelontorkan untuk mendatangkan figur-figur besar yang dekat dengan dunia sastra, music, dan perbukuan. Selain Najwa, ada nama-nama seperti Jason Ranti hingga Pidi Baiq yang pernah melakukan kunjungan. Semua cerita kunjungan-kunjungan itu diabadikan di akun Instagram @lifeatbukuakik.

“Edan. Kalau bayar pakai uang hasil jualan buku ya mana bisa,” katanya sambil geleng kepala.

Sosok-sosok itu datang dengan sukarela. Mungkin mereka senang dan penasaran dengan suasana di tempat ini. Tempat yang bisa menyatukan penulis dan pembaca dari beragam asal dan latar belakang.

Usai berbincang dengan Tomi saya menikmati setiap sudut toko ini. Melihat para pengunjung yang sedang memilih buku di etalase dan menilik koleksi perpustakaan. Ada pula yang sedang mengabadikan momen di tempat ini lewat kamera yang ia kalungkan.

Saya sempat berbincang singkat dengan pengunjung bernama Diana (24). Ia berasal dari Pontianak dan Buku Akik jadi destinasi yang mantap harus ia kunjungi pada lawatan ke Jogja kali ini. Lebih dari setengah jam, Diana dan satu temannya menikmati suasana tempat ini.

“Buatku sih, melebihi ekspektasiku sebelum berkunjung. Aku tau dari Twitter dan ya, sempat lihat juga, pernah dikunjungi orang-orang keren kaya Najwa. Tapi tanpa itu pun aku tertarik sih,” ujarnya tertawa. 

Diana dengan saksama menuliskan kesan panjang di catatan sebelum beranjak pulang. Melihat pemandangan itu, rasanya Buku Akik menunjukkan bahwa toko buku masih bisa dan akan terus hidup. Selama mereka punya sesuatu yang lebih dari sekadar jualan, untuk ditawarkan.

Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Cerita Fatur, Mahasiswa Tunanetra yang Hobi Merantau, Membaca Buku, dan Main Catur

Exit mobile version