Ada banyak cara untuk merawat budaya lokal yang amat beragam. Salah satu caranya adalah melalui festival.
Bicara soal festival, ia tak hanya soal bersenang-senang. Di dalamnya, ada proses saling tukar gagasan antarwarga. Dalam sebuah festival pula, semua masyarakat bisa berperan, bergotong-royong dalam merayakan sebuah peristiwa kebudayaan.
Proses inilah yang oleh antropolog dan praktisi manajemen seni, Kusen Alipah Hadi (49) sebut sebagai “pelumbungan”.
Istilah ini berasal dari kata dasar “lumbung”, yang berarti tempat penyimpanan pangan (padi) yang dikelola secara kolektif oleh warga.
Menurut Kusen, sebenarnya istilah pelumbungan muncul sekadar untuk menamai kerja kolektif tadi, yang sudah lama eksis tapi belum ada definisi yang pas buat menamainya.
“Di masyarakat ‘kan kerja-kerja kolektif yang belakangan kita sebut ‘pelumbungan’ ini sebenarnya sudah berjalan melalui tradisi-tradisi warga. Misalnya yang masih eksis itu bersih desa, di mana semua warga berkontribusi,” kata Kusen saat berbincang dengan Kepala Suku Mojok Puthut EA dalam acara Putcast, Rabu (26/6/2024).
“Paling sederhana kalau ada mantenan (pernikahan) saja. Itu kan yang terlibat semua warga, bergotong royong buat menyongsong acara,” lanjutnya.
Menghidupkan tradisi lokal
Di banyak daerah, kerja-kerja pelumbungan sebenarnya sudah eksis dan menjadi tradisi yang turun temurun. Hanya saja, gaungnya sedikit redup karena masih kurang acara-acara yang bisa menghidupkannya lagi.
Bagi Kusen, buat menghidupkannya lagi maka festival adalah cara yang ideal. Alasannya, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, elemen yang paling menarik sekaligus penting dalam upaya memajukan budaya adalah pada aspek kesejahteraan.
“Nah, festival, adalah cara buat menjawab persoalan tersebut, karena selain edukatif di dalamnya juga ada kegiatan-kegiatan yang bisa menyokong perekonomian rakyat,” jelasnya. “Di dalam kegiatan kolektif itu ‘kan mulai dari penjual cilok, orang memasak, anak-anak yang dianggap bikin darah tinggi orang tuanya, semua bisa berperan, bertukar gagasan. Sudah seperti sekolah bagi orang banyak,” sambungnya.
Setidaknya, Kusen sudah beberapa kali membuktikannya. Bersama Koalisi Seni Indonesia (KSI), ia telah membuat beberapa festival di berbagai daerah. Seperti Pasa Harau Arts and Culture Festival di Sumatera Barat, Festival Panen Kopi Gayo di Aceh, Festival Padang Melang, dan lain sebagainya.
Melalui festival-festival tersebut, Kusen menyadari betul bahwa sebenarnya masyarakat cuma perlu diberi sedikit pembekalan terkait manajemen acara. Sebab, secara pondasi–seperti bekerja secara kolektif, gotong royong, dan sebagainya–ia sudah melekat dalam tradisi masyarakatnya.
Pengalaman di Pasa Harau, festival sukses berkat kerja kolektif
Kusen menyadari betul bahwa pelumbungan atau kerja kolektif merupakan kunci sukses dalam membuat sebuah festival. Di Pasa Harau, salah satu tempat festival yang paling berkesan baginya, Kusen menyebut kalau muda-mudinya turut aktif dalam menyukseskan acara.
Sedikit cerita, alasan Kusen dan kawan-kawan koalisi memilih Pasa Harau untuk dibuat festival karena dua hal. Pertama, lokasinya strategis dan mudah diakses. Daerah ini menjadi jalur penghubung Pekanbaru dengan Sumatera Barat, sehingga selama 24 jam dilintasi para pengendara.
Alasan kedua, di Pasa Harau juga ada objek yang punya nilai historis. Di lokasi yang nantinya dipilih buat menyelenggarakan festival, terdapat foto-foto yang menunjukkan kalau di sana pernah jadi tempat piknik orang-orang Belanda.
Sayangnya, kata Kusen, tempat tersebut mulai tak terurus. Masyarakatnya pun mulai malu buat piknik ke sana lagi meskipun pemandangan alamnya mempesona. Alhasil, dibuatlah Pasa Harau Arts and Culture Festival yang menyajikan berbagai seni pertunjukan tradisi, musik, dan kontemporer pada 1-3 September 2023 lalu.
“Kalau boleh jujur, sebenarnya pemuda di sana itu punya aset dan perencanaan untuk bikin festival, tapi di skill tata kelolanya nggak ada. Makanya, kami dari koalisi seni inilah yang tugasnya mengadvokasi, menjadi penghubung, mengajari tata kelola. Sisanya mereka yang mengerjakan.”
Festival yang bikin masyarakat kembali bergeliat
Festival di Pasa Harau sendiri diinisiasi dengan semangat gotong-royong. Hampir semua komponen warga Harau terlibat dengan menyumbang tenaga, pemikiran, bahkan material untuk penyelenggaraan festival.
Namun, yang begitu membekas bagi Kusen adalah kesan setelah acara. Selain membekali para pemudanya dengan kemampuan melihat peristiwa menjadi acara, festival tadi juga bikin jejaring masyarakat Harau dengan luar jadi menguat.
“Pasa Harau ini sebenarnya strategis, dekat dengan kota besar lain, tapi tak punya koneksi. Makanya pekerjaan kami adalah membuat koneksi ke luar,” jelas Kusen.
“Karena koneksi itu kemudian Pasa Harau jadi lebih bergeliat. Tentu itu di luar ekspektasi kami,” sambungnya.
Hal serupa juga ia rasakan ketika menginisiasi Festival Panen Kopi Gayo di Aceh. Semula, festival ini diadakan untuk merespons keprihatinan harga kopi gayo di tingkat petani yang sangat rendah. Maka dari itu, festival ini dibikin sebagai tempat bertemunya antara pedagang dengan petani kopi.
“Memang kita terseok-seok karena risetnya kurang lama. Tapi model ini sekarang berjalan di 13 desa,” katanya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA Jogja Tak Pernah Lengkap Tanpa Buku, Musik, dan Seni Rupa
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News