Sopir truk merupakan profesi dengan banyak tantangan. Mereka menghabiskan sebagian besar waktuya di jalan. Membawa kendaraan dengan muatan berton-ton. Bertemu preman dan berteman sepi adalah hal sehari-hari yang biasa mereka temui.
Di jalan, banyak hal tak terduga yang kerap mereka temui. Mojok menemui beberapa sopir truk yang biasa malang melintang di jalanan Pulau Jawa hingga ganasnya jalur lintas Sumatra. Mereka membagikan kisahnya saat waktu senggang di pinggiran jalan raya.
***
“Saya sampai tidak bisa makan tiga hari,” kata Fendi (32), menceritakan pengalamannnya.
Ada sebuah pengalaman traumatis yang Fendi alami saat awal-awal menjadi sopir. Ia menjadi saksi kecelakaan yang terjadi tepat di samping mobil yang ia kemudikan. Sebuah motor terjatuh dan pengendaranya terlindas ban mobil.
“Kepalanya, Mas,” ujarnya setengah ragu menjelaskan kengerian yang ia saksikan kala itu.
Pengalaman itu terjadi sebelum Fendi memutuskan menjadi sopir truk. Hal itu membuatnya begitu berhati-hati selama menjalani pekerjaani yang sebagian besar waktunya habis di kerasnya jalan raya. Ia sadar bahwa kecelakaan bisa kapan saja terjadi sehingga ia perlu mawas diri.
Fendi mengawali kariernya sebagai sopir di sebuah instansi perguruan tinggi pada 2007. Tujuh tahun bekerja di sana, ia merasa ingin mencoba tantangan baru. Membawa kendaraan dengan ukuran yang lebih besar dan menempuh rute-rute yang lebih jauh. Akhirnya ia pun mendaftarkan diri di perusahaan ekspedisi menjadi sopir truk tronton dengan rute Jawa-Bali.
“Senangnya, kita jadi bisa pergi ke berbagai kota. Setiap hari ada pengalaman baru yang dirasakan,” ujarnya sambil duduk santai di dalam truknya.
Lelaki ini memang mengaku senang berwisata. Setiap menyambangi kota baru, ia selalu penasaran dengan hal-hal menarik yang ada di sana. Melepas penat setelah perjalanan panjang yang menyita fokus dan tenaga.
Saat saya temui Rabu (2/11/2022) sore, Fendi sedang beristirahat di sebuah kantong parkir truk di selatan Jalan Wates. Sudah sejak pagi ia tiba di sini tapi belum mendapat kabar kapan muatannya akan dibongkar. Kali ini ia sedang membawa muatan air mineral dari Bogor.
“Katanya sih sore ini mau dimasukkan ke gudang tapi belum ada kabar lagi. Jadi saya masih tunggu di sini,” katanya.
Di area lapang yang cukup luas ini, belasan truk tronton terparkir. Kebanyakan kendaraan ini terlihat sepi tanpa kru. Sebagian lainnya terlihat isi tapi sopirnya sedang tertidur lelap di kursi kemudi. Fendi adalah salah satu yang tetap terjaga sambil memainkan ponselnya.
Kopi hitam di cangkir yang tergeletak di kursi tinggal setengah. Ia seruput sesekali sambil menyalakan rokoknya. Masa-masa menunggu bongkar muatan adalah momen istirahat bagi para sopir. Namun juga jadi masa yang membosankan.
Menurutnya, banyak truk kosong di kantong parkir ini disebabkan sopirnya sedang pulang ke rumah. Mereka yang rumahnya berada di Jogja atau beberapa daerah Jawa Tengah yang masih dekat biasanya memilih pulang. Waktu tunggu bongkar muatan terkadang bisa mencapai tiga hari.
“Kalau yang rumahnya jauh seperti saya kan nggak bisa ini,” ujarnya.
Rindu keluarga jadi hal paling berat
Di belakang kursi, laptop milik Fendi tergeletak. Biasanya, ia memanfaatkan waktu senggang begini untuk belajar desain grafis. Ia sedang merintis konveksi kecil-kecilan di rumah sehingga kemampuan desain cukup berguna bagi lelaki kelahiran Sukabumi ini. Namun seharian ini ia belum menyalakan laptop itu karena merasa lelah.
“Lagi kangen keluarga, Mas,” ucapnya tertawa.
Di rumah, Fendi punya dua anak hasil pernikahan yang ia bina sejak 2013. Sebagai sopir yang hari-harinya habis di jalan raya Pulau Jawa ia jarang bisa pulang. Jika sedang beruntung ia bisa pulang sepekan sekali. Namun, jika banyak yang harus dimuat bisa sebulan sekali.
Sang istri melarang Fendi untuk mengambil pekerjaan yang rutenya ke luar Pulau Jawa. Rute dalam pulau saja sudah jarang pulang, apalagi jika harus lintas pulau. Selain waktu tempuh yang lama juga punya medan yang lebih menantang.
“Tantangan paling berat jadi sopir truk ya jauh dari keluarga. Di samping banyak tantangan lain yang biasa dihadapi di jalan,” ujarnya.
Sepi adalah hal yang sudah biasa ia rasakan. Kebanyakan perjalanan ia lakoni sendiri tanpa sopir atau kernet pendamping. Tidur di truk sudah menjadi kebiasaan. Musik-musik jadi penghibur di kala kesepian. Sore ini, senandung lagu-lagu dari grup band Tipe-X ia putar dengan volume sedang.
Hindari kursi sebelah kosong
Buat para sopir, perjalanan tidak mengenal siang atau malam. Fendi mengaku saat perjalanan sendirian di malam hari, terkadang perasaan takut menyelimuti. Apalagi saat melewati rute hutan dan sepi kendaraan.
“Sebenarnya, saya nggak pernah melihat sesuatu yang mistis-mistis. Tapi kalau perasaan aneh itu sering,” tuturnya.
Kadang ia merasa ada sesuatu yang mengikuti atau mendampinginya di jalan. Sesekali ia melihat bangku sebelah yang kosong dan merasakan kekhawatiran. Perasaan-perasaan itu ia coba hindari agar tetap fokus mengemudi.
Ia punya cara agar perasaan takutnya itu hilang. Kursi sebelah yang kosong itu coba ia isi dengan barang-barang yang ia bawa. Apapun itu asal bisa memenuhi jok samping tersebut.
“Kadang tas, kardus, atau barang-barang yang dibawa di truk itu saya taruh sana biar kelihatan isi,” ucapnya terkekeh.
“Ya cara-cara itu saya lakukan untuk mengurangi pikiran khawatir aja,” sambungnya.
Namun, ketimbang pengalaman tentang hal-hal tak kasat mata itu, Fendi lebih memikirkan tantangan nyata yang dihadapinya di jalan. Terutama tentang keamanan mengemudi. Salah satu gangguan terberat sopir adalah rasa kantuk.
“Insiden di jalan itu kebanyakan ya gara-gara ngantuk tapi dipaksakan,” katanya.
Hal itu juga dibenarkan oleh Ahmad Affandi (41), sopir lain yang saya temui di area ini. Menurut lelaki asal Tegal ini tidak ada obat untuk ngantuk selain menepi dan istirahat sejenak.
“Mau rokok atau kopi tidak berpengaruh banyak. Ngantuk lebih baik berhenti,” katanya.
Affandi saya temui saat sedang ngopi di sebuah warung kecil. Sopir truk tronton asal Tegal ini juga sedang menunggu bongkar muatan. Wajahnya berminyak setelah seharian panas-panasan di dalam truk.
Baca halaman selanjutnya
Debar jantung saat di Sumatra dan saat berjumpa preman
Debar jantung saat di Sumatra dan saat berjumpa preman
Tak seperti Fendi, Affandi merupakan sopir truk dengan rute antar-pulau. Ia sudah khatam dengan jalur lintas Sumatra. Paling jauh ia pernah mengantar muatan sampai Aceh. Sehingga banyak hal yang sudah pernah ia alami.
“Jawa ini mulus dan enak. Beda dengan Sumatra,” ujar lelaki yang sudah menjadi sopir sejak 2003 ini.
Jalanan berkelok yang membelah perbukitan jadi tantangan yang perlu dihadapi para sopir penjelajah jalur Sumatra. Membawa truk dengan muatan puluhan ton di jalur seperti itu tentu bukan persoalan mudah.
“Apalagi saat awal-awal lewat jalur sana. Rasanya deg-degan terus,” kenangnya.
Affandi masih ingat, ia pertama kali membawa truk jarak jauh rute perjalanan Jakarta-Padang. Satu truk membawa dua sopir yang secara bergantian mengemudi. Seingatnya, perjalanan itu memakan waktu kurang lebih sepekan untuk bolak-balik.
Menurutnya, salah satu titik paling menegangkan di Sumatra berada di tanjakan Sitanjau Lauik, Sumatra Barat. Jalur dengan panjang sekitar 15 kilometer ini memang penuh jalanan menanjak yang kerap dijuluki tanjakan “maut”. Setiap hendak melintas di sana, hatinya terasa berdebar.
“Pasti deg-degan kalau mau sana. Turunannya juga curam, takutnya remnya blong gitu,” ujarnya.
“Perlu skill yang betul-betul mumpuni di sana,” sambungnya.
Dulu ia bisa sepekan sekali melewati jalur itu. Momen-momen paling menegangkan baginya adalah saat hujan.
“Hujan yang gerimis itu justru bahaya sekali karena jalan jadi licin. Kadang milih berhenti dulu. Kalau hujan yang deras malah tidak terlalu licin,” jelasnya. Namun, ia bersyukur tidak pernah mengalami insiden di jalan. Membawa kendaraan dengan panjang belasan meter membuatnya begitu berhati-hati.
“Beda perasaannya dengan bawa mobil kecil. Insiden truk dampaknya jelas lebih besar,” terangnya.
Keberadaan preman-preman juga jadi tantangan tersendiri bagi para sopir yang melintas di jalanan Sumatra. Affandi mengaku kerap menjumpai mereka. Saat sedang tanpa pengawalan ia tentu harus berkompromi dengan memberikan sejumlah uang.
“Tapi kadang ada muatan yang harus dijaga pengawal. Kalau bawa rokok misalnya, itu ada satu pengawal dari Brimob,” jelasnya.
Saat dengan pengawalan, preman tidak berani berbuat apa-apa. Pengawal cukup menunjukkan senjata laras panjang yang dibawa dan perjalanan lancar tanpa gangguan sampai tujuan.
Pengalaman menerjang jalanan Sumatra juga diceritakan Soni Rasmito (62). Sopir yang saya temui di sebuah bengkel di tepi Ringroad Selatan ini mengaku punya pengalaman beberapa kali mengantar muatan ke Pekanbaru dan Medan.
“Jalan Jawa jelas nggak ada apa-apanya. Sekarang sih mending di Sumatra sudah banyak tol. Dulu itu jalannya seram,” kata sopir truk yang tinggal di Jogja ini.
Saat ke beberapa daerah di Sumatra, Soni biasanya mengantar muatan salak dari Sleman. Truk Mitsubishi Canter miliknya sendiri ini biasanya berawakkan dua kru saat melanglang buana ke Sumatra.
“Dua-duanya sopir semua untuk gantian. Kalau saya capek ya diganti teman saya,” terangnya.
Masalah preman, Soni juga mengaku punya banyak pengalaman. Buatnya, kunci menghadapi mereka adalah ketenangan dan kesabaran.
“Asal ada ngasih ‘ini’ pasti beres. Pokoknya jangan dibuat emosi,” ujarnya sambil menggesekkan jempol dan telunjuknya.
“Jadi sopir itu harus cair, tenang, dan jangan emosian,” sambungnya tertawa.
Kesabaran ini, menurut Soni, penting sebagai modal selamat di jalan. Sebab banyak hal yang sering terjadi di luar rencana. Mulai dari dicegat preman, ketegangan dengan sesama pengguna jalan, hingga masalah-masalah teknis kendaraan.
Sebagai sopir sekaligus pemilik truk, Soni juga punya tugas untuk mencari muatan. Ini tugas yang tak kalah penting. Tanpa muatan, maka truk tidak menghasilkan pundi-pundi uang.
“Biar sering muat tentu harus punya banyak teman dan kenalan. Jadi sopir memang harus mudah bergaul dan akrab juga,” terangnya.
“Misal saya bawa barang ke Sumatra, pulangnya juga nunggu dapat muatan ke Jawa. Biar tidak sia-sia perjalanannya,” sambungnya.
Saat saya temui, Soni sedang memperbaiki pintu bak truknya yang sedikit rusak. Samar-samar, lukisan yang sudah pudar bergambar aktor laga legendaris Arnold Schwarzenegger terlihat di dinding belakang bak truk miliknya.
“Mau saya gambar ulang lagi, tapi malas juga, sudah tua nggak mau aneh-aneh,” ujarnya tertawa.
Lelaki paruh baya ini memang sopir yang cukup unik. Ia mengaku tidak suka merokok dan minum kopi. Padahal itu hal yang cukup identik dengan para sopir, terutama sopir truk rute-rute jauh.
“Terus gimana Pak, kalau nggak ngopi dan merokok, biar semangat dan nggak ngantuk di jalan?” tanya saya.
“Cukup teh tawar kalau mampir warung,” ujarnya tertawa.
Menurut Soni, tanpa kopi dan rokok pun sopir truk memang harus semangat. Tanpa semangat, bagaimana bisa sampai di tujuan dengan selamat.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono