Saleh “Ale” Husein lebih dikenal sebagai gitaris dari dua band, The Adams dan White Shoes & The Couples Company. Namun, yang kurang umum diketahui oleh orang-orang, Ale ini juga merupakan seniman perupa.
***
Sebenarnya sudah sejak lama Ale berkecimpung di dunia seni rupa. Walaupun sekarang lebih dikenal sebagai musisi, sebenarnya awal kariernya tidak dimulai dari musik.
Alih-alih menekuni musik sejak kecil, jalan kesenian Ale justru berangkat dari kesenian “menggambar”. Ketertarikan Ale terhadap seni rupa pun sudah ada jauh lama sebelum ia bermusik.
Terinspirasi oleh ibu sejak SD
Pintu pertama ketertarikan Ale pada dunia kesenian bermula dari lingkup keluarganya. “Sebenarnya yang memaparkan konsep kesenian itu Ibu. Jaman dulu sebelum nikah sama bapak itu dia sudah ngelukis,” cerita Ale saat Mojok temui pada Minggu (28/9/25), di sela mengisi panggung CRSL Land Fest di Yogyakarta.
Ale bercerita, ketika mengerjakan mata pelajaran menggambar di SD, sang Ibu lah yang mengajarinya cara nge-crack pola ilustrasinya. “Misalnya gambar bebek nih, Ibu mengajarkan bikin aja dulu dari angka dua. Oh jadilah bebek. Wah angka empat jadi burung flamingo” tutur gitaris The Adams itu selepas menyesap secangkir kopinya.

Meski sudah menunjukkan minat pada seni, ia justru didorong oleh guru-gurunya untuk masuk penjurusan IPA di kelas 3 SMA. Bukan tanpa alasan, karena nilai-nilai mata pelajarannya di bidang IPA terbilang tinggi.
“Tapi dari situ gua malah gambar terus. Jadi mungkin juga karena gua IPA, matematika, fisika, kimia itu isinya yang paling gua excited itu adalah soal gambar,” sambung Ale. Maka, ia merasa bahwa memasuki penjurusan IPA justru memperkaya pemahamannya tentang seni menggambar.
Kreativitas problem-solving Ale The Adams berangkat dari berkesenian
Dalam proses berseni, Ale mengaku, sebenarnya ia melakukannya dalam rangka sedang mencari pengetahuan. Sebab, ketika ia berkesenian, ia menjalani proses riset terlebih dulu.
Ketika melakukan riset tersebut, kata Ale, ia merasa sedang berjibaku untuk menemukan apa yang ia cari. Dari situlah kreativitasnya bisa makin terasah.
“Berbagi ilmu itu kan tanpa disadari yang sedang kita lakukan sama dengan bertanya,” lanjut Ale. Maka dalam dalam mencari jawaban pada ilmu pengetahuan apapun, ia menekankan pentingnya kreativitas.
“Lu jelas harus kreatif. Kreatif itu logika cracking-nya, belajar memahaminya itu dari kesenian. Jadi kalau cuma pintar tapi nggak kreatif, lu nggak menjadi problem solver,” tekannya sambil menyalakan sebatang rokok.
Maka kembali berangkat dari latar belakang masa-masa SMA-nya, Ale pun beranggapan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) memiliki banyak ruang kosong yang kurang diiriskan dengan proses berkesenian. Karena, baginya, sesungguhnya bersains itu adalah berkesenian.
Karya seni bukan mendikte tapi membuka ruang dialog
Kreativitas dalam berkesenian itu pun fungsinya bukan untuk mengatur. Menurut Ale, fungsi dari seni adalah sebagai pembukaan ruang dialog. Baik dalam konteks berpikir, konteks berkehidupan, dan juga konteks cara pandang.
“Tafsir setiap orang berbeda, tergantung bagasinya. Melihat warna pun itu bisa beda banget, padahal berangkat dari kontrakan yang sama. Tafsir lu gimana? Tafsir gua begini. Tetapi itu kan jadi bahan diskusi,” kata Ale. Dari situ lah terbangun kerangka berpikir yang kreatif.
Kerangka berpikir kreatif inilah yang menjadi penting menurutnya untuk menjadi seorang problem-solver. Lagi-lagi, pada akhirnya tidak harus yang namanya karya seni itu selalu mendikte, karena proses dialog yang terbangun akan terus berkelanjutan.
“Maka untuk apa berkesenian kalau hanya untuk mempercantik diri belaka?” Tegasnya.
Dari melukis di IKJ sampai main gitar untuk White Shoes & The Couples Company dan The Adams
Ketertarikan pada seni rupa membawa Ale The Adams kuliah di jurusan Lukis Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Ia masuk pada 2001.
Jalan menuju pemusik bermula ketika di perkuliahan ia kerap mendapati acara-acara musik.
“Latar belakang teman-teman seni rupa mirip orang pada umumnya. Pasti hampir semuanya suka musik dong. Maka akhirnya beberapa anak-anak seni rupa itu pada ngeband,” cerita Ale.
Berangkat dari tongkrongan, akhirnya White Shoes & The Couples Company dibentuk oleh Ale bersama teman-temannya di IKJ pada tahun 2002. Band dibentuk dengan visi sebagai lawan arus tren semua orang yang sedang membuat Garage Rock Band pada saat itu.
“Kita bikin yang pelan-pelan lagi aja deh bertiga, gua dan Rio main gitar, sama Sari main viola. Bisa menjadi jawaban dari puasa bikin band Pop lagi nih,” cerita Ale dengan canda tawa.
Berbeda cerita dengan The Adams, bandnya sudah terbentuk setahun sebelum Ale bergabung. Pada tahun yang sama dengan dibentuknya White Shoes & The Couples Company, ia bergabung dengan The Adams, menggantikan gitaris sekaligus vokalis sebelumnya yang mengundurkan diri.
Kini Ale makin sibuk bermusik. Saat ditanya perihal niatan untuk melukis kembali, Ale menunjukkan ekspresi sedikit ragu.
“Kalau melukis kayaknya enggak, nggak terlalu. Tapi sementara ini gua lagi diminta lagi buat pameran tunggal udah gua tahan tiga tahun. Galerinya juga punya teman sendiri. Terus ya semoga gua punya waktu untuk kebutuhan riset gua tentu,” pungkasnya.
Tulisan ini diproduksi oleh mahasiswa program Sekolah Vokasi Mojok periode Juli-September 2025.
Penulis: Mohamadeus Mikail
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Pilihan Cholil Efek Rumah Kaca Sekolahkan Anak di New York, Awalnya Waswas tapi Kini Mensyukuri atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan