Cerita Pak Pong, Satu-satunya Pembuat Barongsai di Jogja

Pak Pong perajin barongsai dari Yogyakarta yang tidak memiliki darah tionghoa

Pak Pong (ilustrasi Ega Fansuri)

Nama aslinya Slamet Hadi Prayitno (75), tapi orang lebih mengenalnya sebagai Pak Pong. Dalam dirinya tidak mengalir darah Tionghoa, tapi pekerjaannya adalah membuat barongsai dan segala pernak-perniknya. Bukan itu saja, ia juga punya kelompok barongsai yang sudah malang melintang di Yogyakarta. 

***

Awal Desember 2022, saya kembali datang ke Kampung Pajeksan. Sebuah kampung yang terletak di sisi barat Jalan Malioboro. Tujuan saya ingin menyambangi Pak Pong, seorang perajin barongsai. Ini adalah kunjungan saya yang kedua setelah yang pertama pada 2021. 

Waktu itu saya berkunjung bersama teman-teman, sehingga tidak bisa ngobrol dalam waktu yang lama. Kali ini, berbeda, saya ngobrol dengannya panjang lebar.

Jatuh cinta dengan barongsai

Nama asli beliau Slamet Hadi Prayitno, orang-orang sering memanggilnya Pak Pong. Beliau memulai membuat barongsai saat Gus Dur menjabat presiden. Sebelumnya, ia dagang kerajinan di berbagai kota, seperti Jakarta, Bandung, dan Bogor. 

“Aku dagang, masih mengembara waktu itu,” kata Pak Pong. Saat kembali ke Yogya, ia kemudian ikut jadi pemain barongsai.  

Awalnya, ia hanya melihat orang-orang rutin latihan barongsai. Orang-orang itu kemudian mengajaknya ikut latihan. “Waktu itu masih jaman Soeharto. Pertama masuk belajar yo biasa-biasa seneng. Liat-liat dulu kan, waktu itu tenaga masih kuat tiba-tiba mereka mengajak latihan,” ungkapnya mengingat awal mula berkenalan dengan barongsai

Dengan senang hati Pak Pong menerima ajakan tersebut. Ia melanjutkan bahwa kesenangannya terhadap barongsai sudah terlalu mendarah daging. Pak Pong juga bisa main musik pengiring barongsai. Bahkan waktu itu masih sanggup untuk menjadi pemain singa atau barongsainya. Hinggalah ia berpikir untuk lebih mendalami barongsai lebih jauh.

Langkah yang diambilnya adalah dengan membuat kostum barongsai. Pertama-pertama ia berguru dulu kepada Pak Doel Wahab, seorang pembuat kostum barongsai yang lebih tua dari dirinya. Setelah itu barulah ia melanjutkan ilmu itu membuat sendiri.

“Dulu saya sekolah ini di tempatnya Pak Doel Wahab. Pak Doel Wahab itu sekarang yo kira-kira udah umur 80 tahunan ya. Tapi ya udah gak ngerjain ini lagi, udah tua,” imbuhnya.

Buat beragam barongsai

Profesi sebagai perajin barongsai ini, benar-benar ia tekuni hingga sekarang. Pada saya ia berkata, bahwa hanya ia satu-satunya pembuat kostum barongsai di Jogja. Sebab beberapa grup barongsai yang ia tahu tidak ada yang punya perajin seperti dirinya.

“Se-Jogja saya kira cuma saya tok. Soalnya bapak ini [Doel Wahab] udah sepuh. Dulu aku sekolahnya di Pasar Pathok. waktu sebelum Gus Dur itu belajarnya nyetak di sana. Tapi dulu, sekarang [pak Doel Wahab] udah lama pensiun,” ujarnya.

Pak Pong, pembuat barongsai dari Kampung Pajeksan. (Muhammad Rizki Yusrial/Mojok.co)

Pak Pong membuat barongsai dengan berbagai macam pilihan. Ada yang cetak, ada juga yang rakit. Yang cetak biasanya untuk anak umur 4-5 tahun. Ia menjualnya dengan harga Rp.75 ribu hingga Rp.100 ribu. Dalam sehari Pak Pong bisa mencetak 20 hingga 25 buah.

Sementara yang rakit, waktu pengerjaan lebih lama. Pak Pong mengaku paling tidak membutuhkan waktu dua minggu. Sebab itu satu paket. Untuk kepala singanya, ia harus menganyam sendiri menggunakan rotan. Belum lagi pembuatan celananya. Bahan yang digunakan pun langsung menggunakan bulu domba asli. Untuk yang ini harganya Rp5 juta rupiah.

Tak punya lapak khusus, letakan barang dagangan di pinggir jalan

Secara pemasaran, Pak Pong tidak punya lapak khusus di Malioboro. Ia hanya sering meletakkan dagangannya di pinggir jalan. Kadang kala orang membelinya dengan langsung datang ke rumah. Gampang mencari rumah Pak Pong. Sebut saja namanya pada orang-orang di kampung tersebut. Niscaya, orang akan tahu letak rumahnya.

“Kadang tamu dari luar kota itu tau-tau dateng, makanya aku banyak stok,” ujarnya kepada saya. Ia menunjukkan stok barongsai menunjukkan stoknya yang berjumlah hampir 50 buah.

Penjualan ini juga terbuka untuk yang dari luar kota. Menurutnya bahkan sudah menjual hasil buah tangan terampilnya itu ke luar pulau. Mereka memesan biasanya untuk anak-anak yang senang dengan barongsai.

“Dari Kotagede, kadang dari Bandung, dari Bogor, Kalimantan. Mesannya buat apa? Kadang ya kalau punya anak kecil ingin main. Tinggal pesan aja nanti kami ianter,” ucapnya.

Pembeli kostum barongsai ini juga ternyata berasal dari berbagai etnis. Misalnya saja ada bule Amerika yang datang ke rumahnya untuk mencari kostum barongsai.

Secara pendapatan, usaha ini tidak menentu. Pembeli akan ramai bila masuk musim Imlek. Selain permintaan kostum yang tinggi, Pak Pong juga mengaku kewalahan untuk menuruti pemesanan manggung barongsainya. Bahkan ia pernah tampil seharian penuh hingga jam empat subuh.

Tim barongsai yang di bawah asuhan Pak Pong. (Muhammad Rizki Yusrial/Mojok.co)

“Jadi gimana ya. kebanyakan job, tapi gak bisa menuhin. Masalahnya semua paguyuban laku semua. Nek misalnya bisa digeser sejam ndak masalah. Ini jamnya sama,” ujarnya menggambarkan banyaknya job pada waktu yang bersamaan.

Barongsai di zaman Soeharto

Sebelum paguyubannya mendapat banyak job seperti sekarang, Pak Pong bercerita bagaimana kejamnya sentimen terhadap masyarakat Tionghoa di zaman Presiden Soeharto. Segala hal yang berhubungan dengan kebudayaan China dilarang tampil di muka umum, termasuk barongsai.

Hal ini bahkan diatur secara khusus dalam INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1967 TENTANG AGAMA, KEPERCAYAAN DAN ADAT ISTIADAT CINA. 

Pada poin pertama berbunyi “tanpa  mengurangi  jaminan  keleluasaan  memeluk  agama  dan  menunaikan  ibadatnya,  tata-cara ibadah  Cina  yang  memiliki  aspek  affinitas  culturil  yang  berpusat  pada  negeri  leluhurnya, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan.”

Dilanjutkan pada poin kedua “Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak menyolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga.”

Hal tersebut berimbas pada kesenangan Pak Pong dalam mempelajari kesenian barongsai. “Itu waktu dulu, orang Tionghoa mau mengadakan pawai Malioboro aja ndak berani, kok. Lari-lari. Kayak ketakutan,” ujarnya mengingat-ngingat zaman itu.

Pernah waktu itu, masa sedang memasuki perayaan Imlek. beberapa orang Tionghoa ada yang hendak berangkat pawai. Karena secara regulasi pemerintah melarang memakai identitas yang menunjukkan budaya China, jadi orang-orang itu hanya memakai ikat kepala saja. Namun, tetap dilarang oleh pemimpinnya karena menghindari kejadian yang tidak mereka inginkan.

“Ya cuma dulu gak boleh aja. Paling [kalau mau latihan] masih ngumpet-ngumpet itu,” katanya.

Sentimen dari warga lokal

Selain instruksi pemerintah yang mengikat, ternyata latihan barongsai yang sembunyi-sembunyi itu juga karena sentimen warga lokal kepada etnis Tionghoa. Menurut Pak Pong. Sering kali ia melihat kawan sepermainan barongsainya mendapat umpatan-umpatan yang tidak mengenakkan.

“Ya rasanya kayak ada perbedaan gitu (diskriminasi). Sering ejek-ejekan. Orang Tionghoa sama orang sini kan gitu dulu jamannya Pak Harto. Kalau sekarang kan gak lagi,” imbuhnya.

Untung Pak Pong tidak terkena percikan umpatan itu, sebab secara etnis ia asli Jawa dan beragama Islam. Ia tidak turut memberikan sentimen karena menurutnya semua orang sama saja. Karena itu ia bisa ikut bermain dan diterima dengan baik saat latihan barongsai.

“Kita dulu cuma asal senang aja. Dulu waktu Pak Harto kan gak boleh. Ya selama Gus Dur itu yo semuanya boleh,” imbuhnya.

Gurunya sendiri Pak Doel Wahab bukanlah etnis Tionghoa. Tapi juga mendalami barongsai. Pak Pong mengaku waktu masih belajar dengan beliau, ia sekelas dengan orang-orang yang beragam. Ada Tionghoa keturunan, ada Tionghoa asli bahkan Jawa seperti dirinya. Dan itu semua tidak pernah menjadi masalah. Kini ia merasa lega karena barongsai sudah bebas tampil di mana-mana. 

Budaya Cina yang dilestarikan orang Jawa

Tahun lalu, saya sedikit terkejut ketika melihat pertunjukan barongsai di kampung ini. Bukan karena ini kali pertama saya melihat barongsai. Tapi karena pemainnya seluruhnya tidak ada yang dari etnis Tionghoa. 

Baru kali ini, saya sempat menanyakan hal tersebut kepada Pak Pong. “Sini Jawa semua. Dulu kadang main sama orang Tionghoa, terus misah. Pengen main sendiri,” tuturnya menceritakan bagaimana bisa terjadi sebuah paguyuban barongsai yang isinya full orang Jawa. Paguyuban tersebut bernama Singa Mataram. Pak Pong adalah salah satu pendirinya.

Barongsai buatan Pak Pong yang diperuntukan untuk anak-anak. (Muhammad Rizki Yusrial/Mojok.co)

Ternyata Pak Pong sendiri bukan juga berasal dari etnis Tionghoa. Ia asli Wonosari Gunung Kidul dan beragama Islam. “Dari dulu kan itu istilahnya ini kesenian etnis Tionghoa. sekarang sudah membudaya. Di sini ada orang 60 anak [ikut barongsai],” lanjutnya.

Bagi Pak Pong, meski ia berasal dari etnis Jawa, tidak ada masalah baginya untuk bermain barongsai atau menjadi perajinnya. 

“Istilahnya gimana ya, sekarang itu sama aja kok. Etnis Tionghoa udah gabung. Saling anu [bertukar] budaya gitu lo, kebudayaan. Udah sama aja, nggak ada etnis Cina, Jawa, sama aja. Orang Belanda [nikah] sama orang Indonesia yo banyak. Orang Indonesia dapat orang  Jerman banyak,” ujarnya.

Akan terus lestarikan barongsai

Pak Pong sendiri tidak masalah bila harus turut merayakan Imlek atau hari-hari besar etnis Tionghoa yang lain. Selain bentuk kecintaan pada kesenian barongsai, itu juga sudah menjadi pekerjaannya bertahun-tahun lalu. Bahkan hingga saat ini. 

Tahun baru Imlek yang akan berlangsung pada 23 Januari tahun 2023 saja, pengakuan Pak Pong sudah banyak sekali job yang masuk di paguyuban barongsainya. Biasanya pesanan itu membuatnya tampil hingga seminggu penuh. Kadang main di jalan, di hotel hingga di Klenteng.

Sejauh ini ia senang dengan pekerjaan tersebut. kesenangan itu Pak Pong turunkan kepada cucunya. Saat sedang mengobrol, kebetulan cucunya sedang mengeluarkan motor. “Itu tadi cucu saya. Dia bisa main semua. Mulai dari main musik sampai jadi singanya. Bahkan dia juga jago ngerakit kostum barongsai,” katanya. Cucunya juga yang sepertinya akan meneruskan pekerjaan Pak Pong sebagai perajin barongsai. 

Reporter: Muhammad Rizki Yusrial
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Sop dan Soto Cak Nur Buka Rahasia, Mengapa Banyak Orang Tionghoa Makan di Warungnya

 

Exit mobile version