Cerita Fatur, Mahasiswa Tunanetra yang Hobi Merantau, Membaca Buku, dan Main Catur

Fatur mahasiswa tunanetra yang suka merantau dan baca buku.

Fatur mahasiswa tunanetra yang suka merantau dan baca buku.

Namanya Fatur (22), sejak lulus sekolah dasar (SD) ia memilih merantau meninggalkan kampung halamannya di Sumatra Selatan. Kondisinya yang tunanetra sejak usia 7 tahun justru membuatnya ingin ‘melihat’ dunia yang lebih luas dengan cara menempuh pendidikan di berbagai kota. 

***

Malam itu di bulan Agustus 2022, Fatur (22) berjalan menyusuri ruang tengah rumah yang kami tinggali sewaktu KKN. Entah apa yang dia cari, langkahnya terhenti tepat di depan pintu kamar perempuan satu kelompok. Sontak terdengar suara dari balik pintu. “Ngapain di situ Tur?” 

Dengan santai Fatur menjawab, “tenang saja, aku nggak bakalan ngintip kok!”

Saya yang menyaksikan adegan tersebut, sontak tertawa terbahak-bahak. Saya juga melihat, Fatur tertawa keras. Entah bagaimana saya bisa menjelaskan, Fatur menggunakan diksi ‘ngintip’ di balik keistimewaan matanya yang tidak bisa melihat. 

Dua bulan berselang, di awal bulan November 2022, saya bertemu lagi dengan Fatur. Nongkrong di warung kopi pada sore yang basah. Dia masih tertawa dengan keras ketika mengenang kejadian sewaktu KKN itu.  Hal tersebut membuat saya penasaran. “Kenapa kamu bisa menertawai hal-hal yang berkaitan dengan matamu?” Dari pertanyaan inilah Fatur bercerita panjang.

Fatur memulai ceritanya dari kenangan bahwa dulu ia bisa melihat. Namun, matanya mengidap miopia yang sudah ia alami sejak berusia 5 tahun. Ketika usia 7 tahun, minus matanya sudah menyentuh angka lima. Pada usia segitu pula ia kehilangan  penglihatan.

“Di umur tujuh tahun, waktu itu kan siang hari, aku lagi nonton. Tiba-tiba TV-nya tuh burem dulu baru gelap. Terus ku kira waktu itu cuma mati lampu,” ucapnya ketika mengenang kejadian yang merenggut penglihatannya.

Setelah merasakan ada yang aneh dari matanya, Fatur tidak langsung terkejut. Kebelet pipis waktu itu mengantarnya untuk bergerak ke kamar mandi. Meski tak bisa melihat saat itu, ia udah hafal letak kamar mandi. 

“Meski gelap, aku berjalan ke kamar mandi karena merasa hafal dengan lokasinya. Pas merasa sudah sampai, kok gak ada ya. Langsung aku teriak ke ibukku. Bu mana kamar mandi. ‘itu depan kamu’ mana? ‘depan kamu’,” kata Fatur menirukan omongan ibunya..

Hadapnya sudah tak tentu arah, Fatur bingung arah mana yang ibunya tunjuk. Ia tetap tak melihat kamar mandi. Dengan bercucuran air mata sang ibu datang dan langsung memeluknya. Begitu hancur hatinya ketika mengetahui Fatur sudah tak lagi bisa melihat.

Fatur heran mengapa ibunya memeluk dengan penuh tangis. Ia tak menyadari kalau ada masalah di matanya. Pendapatnya waktu itu tetap pada satu dugaan. Mati lampu! “Kalau aku sih belum sadar. Sadarnya pas udah besok-besoknya gitu,” katanya.

Bagi orang yang baru bertemu dengan Fatur, akan sangat mungkin mengira Fatur bisa melihat. Ini karena matanya terbuka seperti layaknya orang normal. Padahal ia tidak bisa melihat. 

Orang tuanya kemudian mencari pengobatan. Fatur sudah melakukan operasi berkali-kali. Terakhir ia lakukan tahun 2009, tapi penglihatannya tak kembali. Meskipun demikian, Fatur tetap bisa menerima keadaan tersebut. Ini lah kenapa ia bisa bercanda dan tertawa ketika menyinggung matanya yang tidak bisa melihat.

Fatur, bisa menerima kondisinya yang tunanetra, ia bahkan kadang bercanda dengan kondisi matanya yang nggak bisa melihat. (Muhammad Yusrial/Mojok.co)

Saat awal-awal divonis tidak bisa melihat, Fatur tidak terlalu sedih. Ini karena umurnya yang masih kecil sehingga tidak mengetahui bahwa dugaan mati lampu itu dapat berpengaruh besar dalam hidupnya. “Tapi itu nggak jadi buat nge-down soalnya mungkin waktu bocilkan nggak sadar bahwa itu ngaruh besar,” imbuhnya.

Waktu itu Fatur tetap bisa bermain bola dan sering main sepeda. “Waktu itu aku kelas 2. Sampai kelas 6 itu aku masih sepeda-sepedaan. Selama itu paling aku masuk got dua kali dan nggak pernah nabrak orang sih,” katanya.  

Ada cerita lain, kalau ada mobil terparkir di depan, Fatur mengaku stang sepedanya secara otomatis berbelok. Fatur pun tidak tau apa yang membuat hal itu terjadi.

“Nah yang aneh itu kalau misalnya naik sepeda. Terus di depannya ada mobil berhenti. Tahu-tahu bisa belok tiba-tiba,” ucapnya dengan tertawa.

Merantau untuk berkembang

Setelah menyelesaikan SD-nya di Sumatra Selatan, Fatur mengambil keputusan yang mengejutkan, setidaknya bagi ayahnya. Ia ingin bersekolah di Cimahi, Jawa Barat. 

“Ayahku nggak setuju, karena dia ingin aku mengikuti pengobatan di Sumatra. Sebenarnya dari kelas 5 itu, aku sudah pengen keluar,” ucap Fatur. 

Menurutnya, ia enggan berobat karena tidak memberikan kepastian untuk sembuh. Selain itu, Fatur menganggap bila terus-terusan bersekolah di daerah, maka ia akan sulit untuk berkembang. Karena itu ia ingin bersekolah di Sekolah Luar Biasa di Cimahi.

“Kalau misalnya mau maju harus ke kota-kota besar. Karena menurut saya lebih maju. Ada laptop bicara, ada Al Qur’an Braille [khusus tunanetra], ada macem-macem. Terus ada buku-buku Braille,” ungkap Fatur.

Ia memilih Cimahi karena di kota itu ada penerbit buku braille. Sehingga bila butuh buku bacaan, Fatur akan dengan mudah mengakses.

“Aku tuh pengen sekolah yang dekat penerbit buku braille. Nah, itu ada dua, ada di Bandung sama Cimahi. Cuma yang pengen ada agamanya, akhirnya aku milih Cimahi,” imbuhnya.

Setamat SMP, Fatur berpikir bahwa jika ingin lebih berkembang lagi, ia tak hanya sekolah di luar daerah. Tapi juga bergabung dengan sekolah umum. 

Namun, atas pertimbangan gurunya, Fatur akhirnya memilih sekolah di pesantren. Ia menjadi satu-satunya santri difabel saat itu. Ia sempat beberapa kali diremehkan. Fatur sama sekali tak tersinggung. Kalimat-kalimat yang merendahkan dirinya itu sudah tak lagi ia dengar ketika peringkatnya di pesantren masuk rangking 10 besar.

Setelah tamat pesantren ia masih melanjutkan tekadnya untuk merantau. Pilihannya adalah kuliah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta mengambil Jurusan Sastra Arab yang sudah ia pelajari semasa pesantren.

“Karena seneng, dulu juga ada guru yang menyarankan saya masuk Sastra Arab,” kata Fatur. 

Fatur yang merantau sejak lulus SD, tak kesulitan untuk pulang dan pergi menyeberang pulau. Ia terbiasa pulang sendiri dengan kendaraan umum, kadang ia juga pulang bersama teman-temannya. 

“Waktu masih kelas 1 SMP, aku bilang naik bus, orang tua tahu dan membiarkan, mereka percaya saya bisa mandiri. Malah pas saat itu satpam sekolah yang mengantar sampai terminal,” kata Fatur mengingat perjalanan jauhnya yang pertama seorang diri.  

Fatur (kedua dari kanan) bersama teman-temannya saat KKN. (Dok. Istimewa)

Selanjutnya Fatur mengatakan bahwa di perjalanan waktu itu ia merasa aman-aman saja. Ini juga karena perlakuan sesama penumpang dan beberapa orang di tempat persinggahan yang kerap menolong.

“Kadang orang tu misalnya kita turun aja, orang tu [nanya] ke rumah makan dek? Iya. Nanti dianter. Walaupun kita gak minta,” imbuh Fatur.

Selanjutnya ia sering pulang bersama teman-teman difabel lain. itu karena sekolahnya juga banyak diminati siswa luar daerah.

Saat sudah bersekolah di pesantren, Fatur sering pulang bersama adiknya yang juga bersekolah di situ. “Kami sama-sama di Bandung. Dia SMP aku SMA di pondok yang sama gitu. Jadi baliknya selalu bareng,” ujar Fatur.

Prestasi semasa sekolah

Saat masih bisa melihat, Fatur sudah suka main catur. Ketika Fatur kehilangan penglihatannya ia sudah tidak melanjutkannya. Kesulitan baginya bermain tanpa melihat papan catur. Namun, kesulitan itu akhirnya terjawab ketika ia berangkat untuk mengikuti lomba puisi tingkat SD. Di perlombaan itu ia mengetahui bahwa ada perlombaan catur yang memfasilitasi tunanetra.

“Ke Palembang lomba puisi. Habis itu aku baru tahu ada catur tunanetra. Pas ternyata ada, yasudah aku minta buatkan terus main sama guru waktu udah pulang,” ungkapnya.

Sejak saat itu ketika ada event Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN), ia dikirim bertanding pada cabang olahraga catur di tingkat provinsi. Pada perlombaan yang memfasilitasi anak-anak difabel itu, Fatur mendapat juara 3. 

Saat merantau ke Jawa Barat, Fatur juga beberapa kali ikut kompetisi catur untuk tunanetra. Ia pernah meraih juara harapan dua se-provinsi Jawa Barat.

Kepiawaiannya dalam bermain catur bukan omongan belaka, saya menyaksikan sendiri bagaimana Fatur melibas habis kepala dukuh dusun tetangga tempatnya KKN. Selain itu beberapa warga juga dibuat tidak berkutik olehnya.

Selain catur, Fatur juga beberapa kali mengikuti cabang perlombaan lain, seperti puisi dan Matematika. Pada cabang perlombaan Matematika ini Fatur lagi-lagi meraih prestasi dengan memperoleh juara dua se-Jawa Barat.

Bosan ditanyakan soal main HP

Fatur begitu jengah ketika ada orang yang baru mengenalnya dan mempertanyakan bagaimana bisa ia bermain handphone (HP), membaca pesan, menulis atau bahkan membaca buku? Bahkan Fatur pernah ditanya apakah ia menggunakan HP mahal?

Fatur mengatakan bahwa semua HP pada dasarnya bisa digunakan untuk tunanetra. Cukup dengan mengatur lewat donwload aplikasi pendukung. Sebenarnya ada banyak pilihan. Di sini Fatur menggunakan aplikasi Vocalizer TTS.

“Ada aplikasi terus dia membuat apa yang disentuh di layar tuh nggak langsung kebuka gitu. Kan kalau HP biasa kesentuh kebuka gitu kan. Kalau udah dipasang aplikasi itu, atau sudah aktiflah aplikasinya, ya minimal dua kali ketuk,” katanya.

Selain menunjukkan jenis aplikasinya Fatur menjelaskan tutorial pemasangan aplikasi tersebut. Ia begitu paham karena kebetulan pemasangan itu Fatur pelajari secara otodidak.

“Tinggal di-instal, misalnya aplikasi udah ada di Play Store. Milih mau bahasa apa., misaknya bahasa Indonesia. Terus nanti bikin suaranya suara siapa, cowok atau cewek. Nanti mana yang paling cocok tinggal pilih,” ucap Fatur.

Fatur bersama teman-temannya. (Istimewa/Mojok.co)

Dengan aplikasi itu Fatur bisa membaca dan membalas pesan. “Kalau ada chat masuk akan bunyi. Misalnya, ping itu tanda ada satu pesan baru. Dari siapa, isinya apa, jadi dia langsung nyebut notif dari siapa isinya apa gitu. Walaupun gak dibuka. Jadi HP-ku bersuara,” lanjutnya.

Kalau untuk membalas pesan ia tinggal katakan apa yang hendak dia kirim. Sebenarnya tanpa memasang aplikasi apa pun keyboard HP kita sudah menyediakan fitur tersebut. Terletak di sebelah kanan atas. Suara yang kita ucapkan akan di beralih menjadi sebuah ketikan.

Kalau hendak membaca buku, Fatur akan membaca menggunakan buku berjenis braille tadi. Selain itu ada juga dalam bentuk digital. Tentu saja ia melakukannya dengan legal. Maksudnya buku itu sudah Fatur beli terlebih dahulu.

Caranya adalah menginstal aplikasi Reader yang bisa membaca file dengan docx atau e-book. Kalau file bukunya berbentuk pdf maka aplikasi yang dipakai lain lagi. yaitu bernama Envision AI. Tulisan-tulisan dalam buku itu akan diubah menjadi suara. Meski dalam beberapa kata masih ada salah penyebutan, tapi Fatur tetap memahami.

Baca halaman selanjutnya

Cita-cita dan kekagumannya pada penulis buku

Cita-cita dan kekagumannya pada penulis buku

Tak ada hal apa pun yang bisa menghalangi kecintaannya terhadap buku, itulah hal yang seakan-akan secara tersirat diucapkan oleh Fatur. Sejak kecil ia memang sudah membaca. Meskipun kehilangan penglihatan ia tetap melanjutkan kegiatan itu menggunakan instrumen-instrumen yang membantunya.

Saat ini, Fatur menuturkan bahwa ia sebulan minimal melahap 4 buku. Kegemarannya membaca menghadirkan dua sosok penulis yang begitu ia kagumi. Yaitu Tere Liye seorang novelis ternama dan satu lagi yaitu Fahd Pahdepie, penulis kelahiran Cianjur lulusan Monash University Australia.

“Kalau Pahdepie itu saya tertarik karena dalem. Dia nyebutnya jurnalistik sastrawi gitu, jadi tulisan nonfiksi, tapi pakai sastrawi,” katanya. 

“Kalau Tere Liye dari sudut pandangnya sih. Dia bisa buat sesuatu yang biasa aja terus wah, jadi hebat kek gitu,” kata Fatur mengutarakan alasannya menyukai orang-orang tadi.

Buku yang paling disukai Fatur dari tulisannya Tere Liye berjudul Selamat Tinggal. Sementara dari idola satunya, yaitu Fahd Pahdepie, ia menyukai buku yang berjudul Muda, Berdaya, Kaya Raya.

Selain mengagumi, Fatur juga bercita-cita menjadi seperti mereka, yaitu jadi seorang penulis. Ia pernah menulis resensi buku dengan judul Hikayat Kota yang Terkepung terbit di lpmrhetor.com pada 29 Juli 2021.

Banyak juga orang yang mempertanyakan bagaimana cara Fatur menulis. Ia menjelaskan kalau selain di HP, di Laptop juga ada fitur bersuara. Jadi apa yang kita buka ia akan menyebutkan. Masalah keyboard, karena terbiasa Fatur sudah hapal letak huruf-hurufnya.

Fatur yang hobi merantau mengaku punya cita-cita untuk meneruskan pendidikan di Timur Tengah. Namun, untuk saat ini ia ingin segera menyelesaikan pendidikannya di UIN Sunan Kalijaga. “Pengennya lanjut di Timur Tengah, tapi kalau belum rezeki tetap di Jogja, tapi melanjutkan di universitas yang berbeda,” katanya.

Fatur dan cerita-cerita lucu

Fatur beberapa kali mengalami hal yang membuat ingin tertawa ngakak. Salah satunya cerita yang saya sebutkan di awal tadi. Hanya saja, ada beberapa momen ia tidak enak mengeluarkannya saat itu juga. Apalagi bila itu ia alami dengan orang yang baru saja dikenal.

Pernah saat masih masa KKN. Saya dan Fatur sedang bertugas membeli ayam untuk keperluan sebuah acara. Beberapa warung menawarkan harga yang lumayan tinggi, sehingga hal tersebut membuat kami berpindah mencari warung yang lain. Di sela-sela itu, kami memilih untuk beristirahat di sebuah dusun yang kebetulan ada anak KKN satu kampus, teman kita juga.

Di sana Fatur berkenalan dengan seorang teman, sebut saja Riko (bukan nama sebenarnya). Panjang saya dengar pembicaraan mereka. Mulai dari perkuliahan hingga lokasi rumah masing-masing. Riko ini rumahnya di Kalimantan. Karena Fatur belum pernah ke Kalimantan, Riko menunjukkan HP yang sudah terbuka Google Maps rumahnya.

Selain Fatur, sontak saat itu saya pun ingin tertawa lepas. Tapi saya tahan. Setelah motor kami telah melaju meninggalkan posko KKN itu, barulah Fatur melepaskan ketawanya dengan kencang. “Bisa-bisanya dia nunjukin peta ke aku,” saya pun ikut tertawa.

Di kelas Fatur pernah dituduh menyontek saat Ujian Akhir Semester (UAS). Dosen saat itu tidak mengetahui bila Fatur seorang tunanetra. Jadi ia meminta seorang relawan untuk membacakan soal UAS tersebut. Dosen lantas mengira kalau Fatur dan relawan itu kerjasama. Namun, dengan cepat diklarifikasi oleh relawan.

Fatur tentu tak habis pikir. Sudah satu semester mengajar, bisa-bisanya ada dosen yang tak tahu bahwa ia tunanetra. Kejadian itu membuat Fatur tertawa bila mengingat-ingat.

Fatur  (paling kanan) dan teman-teman KKN-nya. Ia mendapat tanggungjawab sebagai

Selain cerita ngakak ada juga cerita-cerita unik yang diceritakan kepada saya. Jadi pernah suatu ketika ia pergi memotong rambutnya di tukang cukur. Sangat wajar bila Fatur dituntun teman yang menemaninya saat itu. Namun, karena gandengan tersebut lantas ia dikira berorientasi homoseksual.

“Karena mataku ini kelihatan melihat, jadi aku dikiranya homo. Soalnya dia tu pas aku dicukur kan, yang nyukurnya itu ibu-ibu, nah dia ngomong sama temennya, biasanya kalau cowok itu dianter sama ceweknya. Dia tuh kayak nyindir,” ujar Fatur.

Terus kata Fatur ada lagi cerita lain, ia teringat dengan kejadian minggu lalu. Berangkat ke perpustakaan daerah bersama seorang teman. Ketika sudah di luar, temannya pergi sejenak ke kamar mandi. Saat itu ia tinggal sendiri dan ditanya oleh seorang bapak-bapak yang bertanya letak musala.

“Aku tahu arahnya, cuma gak spesifik gitu kan. Yaudah, aku tunjuk arah yang sekiranya itu adalah letak musalanya,” kata Fatur bercerita dengan tawa.

Selain itu ada pula suatu kejadian yang membuatnya memberikan kursi kepada ibu-ibu hamil. Sambil bercerita ia mengingat-ingat. Kejadian itu waktu masih ia bersekolah di Bandung. Ketika di dalam bis, ada seorang ibu hamil masuk dan berdiri tepat di depannya. Langsung beberapa orang sekitar menyindir.

“Ada ibu-ibu naik, dia itu hamil. Berdiri aja. Terus akhirnya disindir. Masak pemuda gak kasian ada ibu-ibu hamil. Langsung aku berdiri kan. Karena dia nyindir aku gitu. Padahal dalam hati aku mikir padahal difabel juga ada prioritas,” lagi-lagi kali ini ceritanya dengan tawa. Ia tidak masalah bila harus memberi kursi itu kepada ibu hamil.

Dari semua kisah-kisah itu, kecuali soal mencontek, tidak ada satu pun yang diklarifikasi dengan Fatur bahwa ia adalah seorang tunanetra. “Biarlah mereka bertarung dengan pikirannya sendiri” ucap Fatur. Dan hal tersebut juga sama sekali tidak menyinggung perasaannya.

Hal yang membuatnya tersinggung

Nah, ketika hal-hal tadi tidak cukup membuatnya tersinggung, bukan berarti tidak ada perkataan yang menyinggung hatinya. Fatur lebih nyaman disebut tunanetra dibanding buta. Selain itu ia juga tidak suka bila mendapat keringanan dalam mengerjakan tugas kuliah.

Ada beberapa dosen yang karena ia tunanetra memberikan tugas yang lebih ringan dibanding mahasiswa lain. Fatur kurang senang akan hal itu.

“Padahal aku tuh bisa ngerjain. Kecuali kalau misalnya aku udah dipaksa-paksain nggak bisa. Jadi aku minta pending gitu sama dosen. Kan japri ya. Tapi itu cuma sekali seumur hidup aku,” cerita Fatur.

Fatur tentu bisa mengerjakan tugas sama seperti mahasiswa lain.  Meskipun menurut penuturannya barusan, ada beberapa tugas yang membuatnya kesulitan dan harus meminta keringanan dari dosen.

“Itu tentang puisi arab. Jadi puisi arab itu kayak nada. Nada panjang nada pendek. Itu ada pakek grafik garis miring sama angka satu. Nah itu kan harus pakai kayak gitu kan, harus pakai grafik. Aku kesulitan,” imbuhnya.

Selain hal itu, Fatur bisa-bisa saja mengerjakan. Ini karena sudah terbiasa bagi Fatur. Ada satu kata yang membuat saya sedikit tersentuh dalam pertemuan itu. 

“Sebenarnya dari dulu udah berdamai. Cuma tetap ada sesekali gitu ngapa sih aku nggak bisa lihat. Padahal kalau lihat mungkin bisa berbuat yang lebih gitu,” saya tak bisa berkomentar banyak saat ucapan itu keluar dari mulutnya. Pertemuan kami akhiri dengan melakukan seruputan terakhir pada teh yang kami pesan.

Reporter: Muhammad Rizki Yusrial
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Pak Jenggot dan Tunanetra yang Datang karena Jingle Susu Murni Nasional

Exit mobile version