Cita-cita dan kekagumannya pada penulis buku
Tak ada hal apa pun yang bisa menghalangi kecintaannya terhadap buku, itulah hal yang seakan-akan secara tersirat diucapkan oleh Fatur. Sejak kecil ia memang sudah membaca. Meskipun kehilangan penglihatan ia tetap melanjutkan kegiatan itu menggunakan instrumen-instrumen yang membantunya.
Saat ini, Fatur menuturkan bahwa ia sebulan minimal melahap 4 buku. Kegemarannya membaca menghadirkan dua sosok penulis yang begitu ia kagumi. Yaitu Tere Liye seorang novelis ternama dan satu lagi yaitu Fahd Pahdepie, penulis kelahiran Cianjur lulusan Monash University Australia.
“Kalau Pahdepie itu saya tertarik karena dalem. Dia nyebutnya jurnalistik sastrawi gitu, jadi tulisan nonfiksi, tapi pakai sastrawi,” katanya.
“Kalau Tere Liye dari sudut pandangnya sih. Dia bisa buat sesuatu yang biasa aja terus wah, jadi hebat kek gitu,” kata Fatur mengutarakan alasannya menyukai orang-orang tadi.
Buku yang paling disukai Fatur dari tulisannya Tere Liye berjudul Selamat Tinggal. Sementara dari idola satunya, yaitu Fahd Pahdepie, ia menyukai buku yang berjudul Muda, Berdaya, Kaya Raya.
Selain mengagumi, Fatur juga bercita-cita menjadi seperti mereka, yaitu jadi seorang penulis. Ia pernah menulis resensi buku dengan judul Hikayat Kota yang Terkepung terbit di lpmrhetor.com pada 29 Juli 2021.
Banyak juga orang yang mempertanyakan bagaimana cara Fatur menulis. Ia menjelaskan kalau selain di HP, di Laptop juga ada fitur bersuara. Jadi apa yang kita buka ia akan menyebutkan. Masalah keyboard, karena terbiasa Fatur sudah hapal letak huruf-hurufnya.
Fatur yang hobi merantau mengaku punya cita-cita untuk meneruskan pendidikan di Timur Tengah. Namun, untuk saat ini ia ingin segera menyelesaikan pendidikannya di UIN Sunan Kalijaga. “Pengennya lanjut di Timur Tengah, tapi kalau belum rezeki tetap di Jogja, tapi melanjutkan di universitas yang berbeda,” katanya.
Fatur dan cerita-cerita lucu
Fatur beberapa kali mengalami hal yang membuat ingin tertawa ngakak. Salah satunya cerita yang saya sebutkan di awal tadi. Hanya saja, ada beberapa momen ia tidak enak mengeluarkannya saat itu juga. Apalagi bila itu ia alami dengan orang yang baru saja dikenal.
Pernah saat masih masa KKN. Saya dan Fatur sedang bertugas membeli ayam untuk keperluan sebuah acara. Beberapa warung menawarkan harga yang lumayan tinggi, sehingga hal tersebut membuat kami berpindah mencari warung yang lain. Di sela-sela itu, kami memilih untuk beristirahat di sebuah dusun yang kebetulan ada anak KKN satu kampus, teman kita juga.
Di sana Fatur berkenalan dengan seorang teman, sebut saja Riko (bukan nama sebenarnya). Panjang saya dengar pembicaraan mereka. Mulai dari perkuliahan hingga lokasi rumah masing-masing. Riko ini rumahnya di Kalimantan. Karena Fatur belum pernah ke Kalimantan, Riko menunjukkan HP yang sudah terbuka Google Maps rumahnya.
Selain Fatur, sontak saat itu saya pun ingin tertawa lepas. Tapi saya tahan. Setelah motor kami telah melaju meninggalkan posko KKN itu, barulah Fatur melepaskan ketawanya dengan kencang. “Bisa-bisanya dia nunjukin peta ke aku,” saya pun ikut tertawa.
Di kelas Fatur pernah dituduh menyontek saat Ujian Akhir Semester (UAS). Dosen saat itu tidak mengetahui bila Fatur seorang tunanetra. Jadi ia meminta seorang relawan untuk membacakan soal UAS tersebut. Dosen lantas mengira kalau Fatur dan relawan itu kerjasama. Namun, dengan cepat diklarifikasi oleh relawan.
Fatur tentu tak habis pikir. Sudah satu semester mengajar, bisa-bisanya ada dosen yang tak tahu bahwa ia tunanetra. Kejadian itu membuat Fatur tertawa bila mengingat-ingat.
Selain cerita ngakak ada juga cerita-cerita unik yang diceritakan kepada saya. Jadi pernah suatu ketika ia pergi memotong rambutnya di tukang cukur. Sangat wajar bila Fatur dituntun teman yang menemaninya saat itu. Namun, karena gandengan tersebut lantas ia dikira berorientasi homoseksual.
“Karena mataku ini kelihatan melihat, jadi aku dikiranya homo. Soalnya dia tu pas aku dicukur kan, yang nyukurnya itu ibu-ibu, nah dia ngomong sama temennya, biasanya kalau cowok itu dianter sama ceweknya. Dia tuh kayak nyindir,” ujar Fatur.
Terus kata Fatur ada lagi cerita lain, ia teringat dengan kejadian minggu lalu. Berangkat ke perpustakaan daerah bersama seorang teman. Ketika sudah di luar, temannya pergi sejenak ke kamar mandi. Saat itu ia tinggal sendiri dan ditanya oleh seorang bapak-bapak yang bertanya letak musala.
“Aku tahu arahnya, cuma gak spesifik gitu kan. Yaudah, aku tunjuk arah yang sekiranya itu adalah letak musalanya,” kata Fatur bercerita dengan tawa.
Selain itu ada pula suatu kejadian yang membuatnya memberikan kursi kepada ibu-ibu hamil. Sambil bercerita ia mengingat-ingat. Kejadian itu waktu masih ia bersekolah di Bandung. Ketika di dalam bis, ada seorang ibu hamil masuk dan berdiri tepat di depannya. Langsung beberapa orang sekitar menyindir.
“Ada ibu-ibu naik, dia itu hamil. Berdiri aja. Terus akhirnya disindir. Masak pemuda gak kasian ada ibu-ibu hamil. Langsung aku berdiri kan. Karena dia nyindir aku gitu. Padahal dalam hati aku mikir padahal difabel juga ada prioritas,” lagi-lagi kali ini ceritanya dengan tawa. Ia tidak masalah bila harus memberi kursi itu kepada ibu hamil.
Dari semua kisah-kisah itu, kecuali soal mencontek, tidak ada satu pun yang diklarifikasi dengan Fatur bahwa ia adalah seorang tunanetra. “Biarlah mereka bertarung dengan pikirannya sendiri” ucap Fatur. Dan hal tersebut juga sama sekali tidak menyinggung perasaannya.
Hal yang membuatnya tersinggung
Nah, ketika hal-hal tadi tidak cukup membuatnya tersinggung, bukan berarti tidak ada perkataan yang menyinggung hatinya. Fatur lebih nyaman disebut tunanetra dibanding buta. Selain itu ia juga tidak suka bila mendapat keringanan dalam mengerjakan tugas kuliah.
Ada beberapa dosen yang karena ia tunanetra memberikan tugas yang lebih ringan dibanding mahasiswa lain. Fatur kurang senang akan hal itu.
“Padahal aku tuh bisa ngerjain. Kecuali kalau misalnya aku udah dipaksa-paksain nggak bisa. Jadi aku minta pending gitu sama dosen. Kan japri ya. Tapi itu cuma sekali seumur hidup aku,” cerita Fatur.
Fatur tentu bisa mengerjakan tugas sama seperti mahasiswa lain. Meskipun menurut penuturannya barusan, ada beberapa tugas yang membuatnya kesulitan dan harus meminta keringanan dari dosen.
“Itu tentang puisi arab. Jadi puisi arab itu kayak nada. Nada panjang nada pendek. Itu ada pakek grafik garis miring sama angka satu. Nah itu kan harus pakai kayak gitu kan, harus pakai grafik. Aku kesulitan,” imbuhnya.
Selain hal itu, Fatur bisa-bisa saja mengerjakan. Ini karena sudah terbiasa bagi Fatur. Ada satu kata yang membuat saya sedikit tersentuh dalam pertemuan itu.
“Sebenarnya dari dulu udah berdamai. Cuma tetap ada sesekali gitu ngapa sih aku nggak bisa lihat. Padahal kalau lihat mungkin bisa berbuat yang lebih gitu,” saya tak bisa berkomentar banyak saat ucapan itu keluar dari mulutnya. Pertemuan kami akhiri dengan melakukan seruputan terakhir pada teh yang kami pesan.
Reporter: Muhammad Rizki Yusrial
Editor: Agung Purwandono