Lamongan menjadi tempat cikal bakal pecel lele menyebar ke berbagai penjuru daerah. Namun, sebagian orang di daerah ini punya pantangan makan segala olahan dari ikan lele. Pantangan ini sudah dijalani turun temurun lintas generasi.
Ada sebuah kisah yang membuat mereka yakin kalau mengonsumsi lele bisa membawa sejumlah dampak buruk. Andaikan hanya ada lele di meja makan di tengah kondisi lapar, orang yang menganut kepercayaan ini memilih tidak menyantapnya sama sekali.
Mojok berbincang dengan beberapa anak muda Lamongan tentang kepercayaan pantang makan lele. Salah satu dari mereka, seumur hidupnya tidak pernah makan ikan lele. Baik saat sedang di daerah tersebut maupun ketika sedang merantau ke luar.
***
Beberapa waktu lalu, untuk pertama kalinya saya berkesempatan untuk berkunjung ke Lamongan. Naik kereta dari Jogja ke Surabaya. Lalu berpindah menggunakan mobil pribadi menuju kota di pesisir Pantura ini.
Ada kenalan dari Lamongan yang menemani saya di mobil sepanjang perjalan. Mereka berdua yakni Sigit dan Arul. Keduanya, putra asli kelahiran daerah ini. Sepanjang perjalanan, saya lebih banyak berbincang dengan Arul lantaran Sigit serius menatap jalan sambil memegang kemudi.
Lamongan sudah sering saya dengar perihal kuliner-kulinernya masyhur di tanah air. Sehingga saat berkunjung ke kota ini pun, perbincangan banyak membahas urusan makanan. Banyak rasa penasaran di kepala yang perlu dijawab langsung oleh pemuda setempat.
Perkara kuliner, Arul menawarkan saya untuk mencicipi salah satu warung soto paling enak sekaligus paling ramai di Lamongan. Selain itu, ia juga bercerita soal nasi boran, sejenis nasi campur khas Lamongan yang biasanya dijual ibu-ibu di emperan.
“Nasi boran hampir pasti yang jual perempuan. Enak. Rasanya agak pedas dan banyak pilihan lauknya,” terangnya. Nasi boran, jadi salah satu makanan khas Lamongan yang jarang di luar daerahnya.
Obrolan kami lalu berganti membahas tentang pecel lele yang identik dengan daerah ini. Menurutnya, di daerah ini, orang lebih sering menyebut pecel lele sebagai penyetan. Sebenarnya, ini juga terjadi di sejumlah daerah lain. Di Jogja misalnya, orang juga lebih umum menyebut penyetan meski makan di tenda pecel lele Lamongan.
“Orang banyak nyebut pecel lele kayanya justru di Jabodetabek. Dulu awalnya memang generasi awal perantau dari Lamongan perginya ke sana,” cetusnya.
Awal mula kepercayaan warga Lamongan tak makan ikan lele
Arul kemudian bercerita tentang salah satu kepercayaan pantang memakan lele yang diyakini oleh sebagian warga Lamongan. Kepercayaan sudah ada sejak lama. Asal muasalnya bermula dari kisah sosok bernama Mbah Boyopati.
“Aku dapat cerita ini sejak masih SD dulu,” katanya.
Konon, Mbah Boyopati merupakan murid dari Sunan Giri. Ia sering diutus untuk melakukan beberapa tugas. Suatu hari, tugas yang diberikan Sunan Giri, membuat Mbah Boyopati terjebak dalam situasi yang sulit.
Dikisahkan Sunan Giri pernah bertamu ke rumah seseorang yang disebut Mbok Rondo. Urusan selesai, Sunan Giri pun meninggalkan rumah itu. Namun, beberapa waktu kemudian, ia tersadar bahwa sebuah pusaka miliknya tertinggal di sana.
Akhirnya, Boyopati diutus untuk mengambil kembali pusaka yang tertinggal tadi. Berhubung Mbok Rondo tidak mengenal sosok Boyopati, saat lelaki itu datang, timbul kecurigaan. Mbok Rondo mengira Boyopati datang dengan niat buruk mencuri pusaka milik Sunan Giri tadi.
Boyopati dikira maling. Lalu Mbok Rondo dan penduduk di sekitar kampung itu, malah mengejarnya. Boyopati yang panik lalu lari. Pada pelarian itu, ketika jarak dengan para penduduk yang mengejarnya semakin dekat, ia melihat sebuah kolam berisi lele.
Ia menceburkan diri untuk bersembunyi di kolam itu. Beruntung, para penduduk yang mengejar tidak menyadari keberadaan Boyopati di antara ikan lele di kolam. Merasa beruntung karena kolam lele, Boyopati pun bersumpah bahwa ia dan anak keturunannya tidak akan mengonsumsi jenis ikan di kolam tadi.
Cerita yang saya dapat dari Arul, cocok dengan catatan di beberapa sumber. Ada beberapa versi tentang kisah tadi, tapi secara garis besar hampir serupa. Diwariskan lewat lisan dari generasi ke generasi.
Kendati mengetahui kisah itu, Arul sendiri mengaku tetap mengonsumsi lele sejak dahulu. Hal itu karena ia bukan keturunan Lamongan asli. Ibunya secara garis keturunan memang asli Lamongan. Tapi nenek dari garis ayahnya merupakan orang Nganjuk.
“Jadi, setahuku itu yang masih megang keyakinan itu memang orang Lamongan yang bener-bener asli,” terangnya. Begitu pun dengan Sigit yang tetap mengonsumsi lele.
“Tapi ada beberapa teman yang benar-benar tidak makan lele. Katanya kalau makan lele jadi gatal badannya,” sambungnya.
Tidak semua warga Lamongan mengikuti kepercayaan itu. Hikayat tentang Boyopati dan pantangan makan lele bahkan tidak diketahui semua orang Lamongan. Salma Shidqiyah (19), salah satu anak muda setempat lain yang sempat saya temui mengaku baru tahu cerita itu setelah merantau.
“Dulu aku nggak tahu ada pantangan seperti itu. Justru setelah kuliah di Jogja, ada teman yang tanya, aku jadi cari tahu dan ternyata benar ada,” jelasnya.
Padahal, Salma lahir dan tumbuh besar di Lamongan. Kedua orang tuanya juga merupakan warga Lamongan. Mereka tinggal di Desa Tracal, Kecamatan Karanggeneng yang letaknya di sisi utara Lamongan.