Tampangnya pernah menghiasi pinggiran jalan di wilayah DIY, bahkan ada yang menyelonong ke provinsi tetangga, Jawa Tengah. Orang-orang bingung, siapa sosok yang dalam kondisi pandemi Covid-19 justru pasang 1.000 baliho?
Kepada Mojok, Lurah Condongcatur Reno Candra Sangaji blak-blakan tentang aksinya memasang banyak baliho pada 2020 silam. Meski tidak genap seribu, aksi tersebut membuat orang-orang menjulukinya “Lurah Seribu Baliho”.
***
Baliho Reno menjadi sebuah fenomena. Penulis Mojok, Agus Mulyadi bahkan sempat membuat tulisan berjudul Jogja itu Terbuat dari Rindu, Angkringan, dan Baliho Reno Maju. Sebuah anekdot dari sajak Joko Pinurbo tentang Jogja yang tersohor itu. Kendati baliho-baliho itu sudah lama menghilang, pose Reno masih tersimpan di ingatan banyak orang. Ketenaran balihonya bahkan disebut-sebut sempat mengalahkan baliho legendaris asal Jogja, Anton Photo.
Setelah lama menyimpan rasa penasaran, Rabu (1/2) saya berkesempatan untuk menemui sosok Reno di Kantor Kalurahan atau Desa Condongcatur. Usai saling menyapa dan bersalaman, ia mengajak kami ke ruangannya. Ia langsung duduk di kursinya sambil menandatangani tumpukan berkas.
Ruangan itu berpendingin dengan banyak lukisan tertempel di dinding. Mulai dari lukisan Sri Sultan HB IX, para lurah pendahulu, dan lukisan wajah Reno yang tampak paling muda di antara lukisan-lukisan lainnya.
Saat awal melihatnya, perawakan gempal berbalut kemeja putih yang ngepas di badan membuat Reno tampak sosok yang garang. Namun setelah berbincang dengannya, suaranya terdengar ramah.
“Ini mau nyantai atau serius?” tanya Reno.
“Kalau mau nyantai, yuk keluar mumpung istirahat. Nanti balik ke kantor jam satu,” ajaknya. Dengan segera saya mengiyakan ajakannya.
Kami pun keluar. Reno membonceng seorang asistennya menggunakan motor matic. Saya membuntuti mereka di belakang. Namun, sebelum menuju tempat makan siang, Reno berbelok ke sebuah masjid. Melaksanakan salat zuhur berjemaah sebab azan baru saja selesai berkumandang.
Setelah salat, kami kembali meneruskan perjalanan menyusuri jalanan padat di Condongcatur. Menuju sebuah tempat kuliner bernama Pepes Priangan yang cukup legendaris di kawasan ini. Dulunya, warung ini berjualan di utara Terminal Condongcatur. Sebelum akhirnya pindah ke arah barat dekat sungai.
Sampai di sana, Reno langsung berlagak layaknya seorang food vlogger yang mengenalkan tempat kuliner ini. Temannya yang kebetulan bertamu, ia minta merekam. Kata mereka, ini untuk kebutuhan konten di TikTok.
Baliho Reno yang melegenda
Menu makan siang sudah dipilih, pepes ikan salem dan pepes ikan cakalang. Kami pun duduk santai sambil mulai berbincang panjang. Obrolan pertama, tentu soal baliho milik Reno yang pernah merajai sudut-sudut jalan di Jogja.
“Hmmm.. 2020. ‘Lurahe Condongcatur’ sama ‘Pak Reno Maju’,” ujarnya tertawa. Mengenang dua frasa yang ia tampilkan di baliho-baliho itu.
Kemunculan baliho itu sebenarnya perpaduan antara strategi dan momentum yang tepat. Semua bermula dari dorongan orang sekitar agar Reno berani berkontestasi di kancah politik yang lebih tinggi. Berawal dari Condongcatur menuju pilkada Sleman.
Reno mengklaim, tiga tahun sejak menjabat sebagai lurah ia telah menuntaskan semua janji politiknya bagi warga Condongcatur. Padahal itu baru setengah jalan periodenya menjabat sebagai lurah.
“Mentor saya menantang agar saya mulai memikirkan lingkup yang lebih luas. Akhirnya saya pun tergerak,” paparnya.
Akhirnya Reno bersama timnya mulai merencanakan pergerakan untuk maju sebagai bakal calon bupati Sleman. Pilkada Sleman dihelat pada akhir 2020. Sejak awal tahun, ia mulai bergerak mengenalkan dirinya pada warga Sleman.
Pada Februari 2020, ia juga telah menyerahkan formulir pendaftaran bakal calon bupati pada penjaringan yang dilakukan Partai Golkar. Gerak cepat demi memuluskan rencananya menduduki posisi Sleman 1.
Baliho memang terlihat sebagai gaya lama untuk menjadi sorotan publik. Namun di tengah perkembangan dunia digital yang pesat, Reno tetap meyakini dampak baliho bagi popularitasnya.
“Baliho kan setiap hari terlihat oleh pengguna jalan. Ada kesan tersendiri bagi yang melihatnya. Walaupun yang benci baliho juga banyak,” terangnya.
Pada akhirnya, iklan luar ruang ini tetap menjadi perbincangan di jagat maya. Menurut Reno, ada sekitar 100 baliho yang ia pasang. Tapi ia mengatakannya dengan ragu. Sebab, jumlahnya sempat bertambah terus.
“Jumlah pastinya aku nggak hafal. Tapi seratus lebih. Waktu itu para pemilik papan baliho-nya yang nambahin terus,” paparnya.
Baliho bikin orang mengira duit Reno unlimited
Banyaknya baliho yang tersebar membuat banyak orang mengira Reno merupakan orang berada dengan kekayaan yang melimpah. Ia mengaku menikmati hal itu. Anggapan mampu secara finansial baginya jadi satu hal penting untuk calon pemimpin daerah.
“Tapi masyarakat nggak tahu, kalau di balik baliho yang masif itu ada bantuan teman-teman saya,” ujarnya tertawa.
Pemasangan baliho secara masih memang bertepatan dengan momen pandemi. Situasi yang membuat banyak lini usaha tiarap. Termasuk agensi periklanan luar ruang. Agenda-agenda besar ditiadakan sehingga pemasang iklan menurun drastis.
Namun, di saat bersamaan, Reno melihat sebuah kesempatan. Kala pemasang baliho surut, ia justru masuk mengisi ruang. Ditambah sebuah keuntungan, banyak pemain papan baliho yang masih terhitung rekan lelaki kelahiran Condongcatur ini.
Ditambah lagi saat itu mulai mendekati masa lebaran. Saat pelaku usaha butuh pundi-pundi uang cepat untuk memberi THR para karyawan, Reno pun banyak mendapat harga spesial. Awalnya hanya bekerja sama dengan satu dua pemilik papan reklame, lambat laun banyak yang nimbrung memberikan penawaran spesial.
“Nah orang mikirnya duit saya banyak, unlimited. Sebenarnya itu bagus karena bupati ya selayaknya secara finansial dianggap bagus. Tapi aslinya ya ada bantuan ini,” paparnya terkekeh.
Lelaki kelahiran 7 September 1978 ini mengaku beberapa pemilik reklame hanya mematok biaya cetak dan pemasangan saja. Untuk durasi pemasangan, kebanyakan hanya mematok di bawah Rp1 juta per bulan. Nominal yang terbilang sangat miring. Padahal lumrahnya bisa sampai puluhan juta. Jadi keuntungan tersendiri buat Reno.
Bahkan banyak baliho yang terpasang jauh lebih lama dari durasi kontrak. Hal itu lantaran menurunkan baliho butuh biaya, sedangkan banyak pemiliknya yang belum mendapat pengiklan baru sehingga foto Reno dibiarkan begitu saja.
Di tengah perbincangan, pesanan pepes salem dan cakalang pun datang. Reno mencicipinya dengan wajah semringah. Sang asisten langsung sigap mengangkat ponselnya. Memulai rekaman, Reno pun tanpa diaba-aba langsung memberikan ulasan menu yang dipesannya.
Gagal nyalon, tapi baliho tidak sia-sia
Sambil memilah daging dari duri ikan, Reno kembali bercerita. Ratusan baliho sudah terpasang. Namun sayang, proses pencalonan Reno harus kandas di tengah jalan. Sebenarnya, baliho ini sudah berhasil mengantarkannya mendapat undangan partai ke Jakarta.
“Namun kami masih orang baru, gagal dapat rekomendasi. Misi kami selesai karena bagaimana pun ending-nya ada di partai,” curhatnya.
Setelah itu sebagian baliho mulai diturunkan. Namun, ada juga yang masih tetap bertahan lantaran belum diturunkan oleh pemiliknya. Tapi yang jelas, Reno telah merasakan dampaknya.
Salah satunya ketika ia memilik fokus kembali pada pencalonan periode kedua sebagai Lurah Condongcatur. Namanya yang sudah melambung membuatnya tidak mengalami kendala berarti meraih suara di kalurahan yang sudah dipimpinnya sejak 2015..
Reno mendapat suara sekitar 93 persen pada pemilihan lurah periode keduanya. Kemenangan meyakinkan ini menurutnya bukti bahwa ia sudah menyelesaikan persoalan dasar di Condongcatur dalam tiga tahun pertama memimpin. Ia mengakui juga kalau kemenangan telak itu tak bisa dilepaskan dari eksistensi baliho yang telah mengerek popularitasnya.
Hal itu jauh berbeda dengan tantangan yang ia alami saat mencalonkan sebagai lurah di periode pertama. Lawannya adalah petahana yang lebih senior.
Sejak 2005, Reno telah bekerja sebagai staf di kelurahan. Posisinya ini yang justru menjadi tantangan baginya saat maju di kontestasi pemilihan lurah. “Orang-orang lama tidak menghendaki saya untuk maju,” ujarnya.
Sambil menyelesaikan beberapa hal di internal kelurahan, Reno mulai bergerilya di luar. Mengenalkan diri ke masyarakat dan mengamankan ceruk suara.