Aulia, Clutch Player UNY dari Bukit Pinus yang Tak Butuh Sorotan Untuk Bersinar

Ilustrasi - Aulia, Clutch Player UNY dari Bukit Pinus yang Tak Butuh Sorotan Untuk Bersinar (Mojok.co/Ega Fansuri)

Ketika laga tersisa kurang dari semenit, saya sempat berpikir pertandingan benar-benar selesai. Skor 2-0 sudah cukup untuk memastikan tim futsal putri Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menjuarai Campus League 2025 by Polytron

Sebagian penonton mulai berdiri, beberapa sudah mengangkat ponsel untuk merekam momen selebrasi. Namun, dari sayap kanan, pemain bernomor punggung 19, Syarah Aidatul Aulia, masih tampak haus gol.

Saat laga menyisakan 47 detik, Aulia melakukan cut inside dari kanan, mengambil posisi tembak, lalu melepaskan sepakan kaki kiri dari luar kotak penalti. Bola meluncur deras ke pojok kiri bawah gawang Universitas Negeri Malang (UM). Sayangnya, bola masih bisa ditepis oleh kiper UM, Patrisia Iyai.

Beberapa detik berselang, GOR Universitas Islam Indonesia (UII) Jogja kembali bergemuruh. Gol terjadi. Penonton yang menyaksikan lewat siaran langsung di YouTube sempat bingung siapa pencetaknya karena semuanya berlangsung begitu cepat. Tapi saya, yang duduk di tribun kanan, tahu persis siapa aktornya: Aulia.

Sepak pojok diambil cepat. Bola diarahkan ke flank kanan. Aulia menerima, cut inside lagi ke tengah, lalu melepaskan tembakan kaki kiri ke arah yang sama seperti beberapa detik sebelumnya. Kali ini, kiper tak sanggup menepis. Gol. Skor menjadi 3-0. UNY memastikan gelar juara.

futsal uny.MOJOK,CO
Selebrasi Aulia setelah mencetak gol ke gawang UM Malang. (dok. Campus League)

Sorak-sorai penonton menelan seluruh bunyi peluit. Di tengah pelukan rekan-rekannya, Aulia tak mampu menahan rasa bahaginya.

Clutch player UNY yang jarang disorot

Sepanjang turnamen, Aulia mungkin bukan nama pertama yang disebut orang ketika membicarakan UNY. Ada Dwi Annisa Divaningrum, mesin gol dengan tujuh gol yang jadi top scorer. Ada juga sang kapten, Rinjani Manurung, yang oleh banyak penonton dianggap MVP karena permainan elegannya.

Namun, di antara dua nama besar itu, ada sosok yang diam-diam selalu hadir saat dibutuhkan. Aulia tak seproduktif Divaningrum atau semilitan Rinjani, tapi ia pemain yang tahu cara memberi dampak.

Ketika tim butuh gol, Aulia muncul. Ketika permainan buntu, ia memecahnya. Ketika UNY perlu menjaga ritme agar skor aman, ia jadi penyeimbang.

Di fase grup, ketika melawan UIN SATU Tulungagung, ia mencetak satu gol dalam kemenangan telak 9-1. Dalam semifinal melawan Universitas Tidar (Untidar) Magelang, ia mencetak dua gol untuk memastikan UNY melaju mulus ke semifinal

Aksi Aulia dalam pertandingan semifinal menghadapi Untidar Magelang. Di laga ini, ia mencetak dua gol. (dok. Campus League)

Empat gol sepanjang turnamen bukanlah angka mencolok, tapi setiap gol Aulia punya cerita dan waktu yang krusial. Ia bukan sekadar mencetak gol, melainkan memastikan momentum berpihak pada timnya.

Padahal, di turnamen sebelumnya–Champions League of Faculty (CLF) 2025 yang digelar di UGM–meski UNY hanya finis sebagai runner-up, Aulia justru terpilih sebagai pemain terbaik. Penghargaan itu semacam penegasan bahwa kontribusinya tak selalu diukur dari jumlah gol, tapi dari cara ia menjaga keseimbangan permainan tim.


Di lapangan, Aulia sendiri menempati posisi flank kanan. Ia sebenarnya pemain dominan kanan, tapi sering bermain di sisi kanan untuk melakukan cut inside dan menembak dengan kaki kiri—yang bukan kaki terkuatnya. Di sinilah keunikannya. Ia bukan pemain yang banyak bicara, tapi keputusan-keputusannya cepat dan presisi. Ia tahu kapan menahan bola, kapan menusuk, kapan menembak.

Saya memperhatikan gerakannya sepanjang laga. Tak ada gestur yang berlebihan, tak ada teriakan mencolok. Tapi setiap kali ia menerima bola, suasana berubah sedikit lebih tegang. Ada ekspektasi bahwa sesuatu bisa terjadi—entah peluang, entah gol.

Setelah pertandingan, saya sempat menghampirinya di pinggir lapangan. Rambutnya masih basah keringat, napasnya tersengal, tapi wajahnya tetap menyimpan senyum tipis.

“Senang banget, Mas. Soalnya UM ini lawan yang berat, kemarin di grup kami cuma main imbang, tapi sekarang bisa menang,” ungkapnya.

Dari Bukit Pinus di Bantul, sampai jadi pemain Arema FC

Aulia lahir di Bantul, 2 Januari 2005. Ia tumbuh di Desa Sendangsari, Terong, Dlingo, wilayah yang lebih dikenal karena perbukitan dan hutan pinus ketimbang sepak bolanya. Tapi sejak kecil, ia sudah akrab dengan bola.

“Dulu waktu kecil, sejak kelas 5 SD, aku udah main di lapangan desa,” katanya saat saya temui seusai laga.

Ia bercerita tentang masa kecilnya yang sering bermain bola dengan anak laki-laki di kampung. Lapangannya tanah, becek, tapi semangatnya tak pernah hilang.

Melihat minat itu, orang tuanya kemudian mendukung. Mereka memasukkannya ke sekolah sepak bola (SSB). Dari situ, Aulia bergabung ke klub Persopi Elti Piyungan, lalu berlanjut ke Putri Protaba Bantul. Di klub inilah ia mulai dikenal di level daerah dan membuka jalan ke dunia profesional.

Tahun 2022 menjadi titik balik besar. Ia mengikuti seleksi Arema FC Women di Malang. Dari sekitar 170 peserta, hanya 15 yang diterima. Salah satunya dia.

“Sebetulnya waktu itu aku ragu, Mas. Pesertanya banyak banget. Tapi begitu hasil seleksi keluar di IG, ada namaku,” ujarnya sambil tersenyum kecil, seolah masih tak percaya.

Aulia sempat ragu akan lolos seleksi tim Arema FC Woman karena peserta banyak. Namun, kini ia berhasil menjadi pemain tim tersebut. (dok. Campus League)

Di Arema, Aulia berkembang pesat. Ia belajar banyak tentang taktik, kedisiplinan, dan profesionalitas. Bersama klub tersebut, ia menjuarai Piala Pertiwi Jawa Timur dan meraih peringkat ketiga Piala Pertiwi Nasional di Bandung. Salah satu momen terbaiknya adalah hat-trick ke gawang Banyuwangi—tiga gol yang menegaskan naluri menyerangnya.

Sekarang, sembari menempuh studi di UNY, Aulia tetap aktif bermain futsal dan sepak bola. Jadwalnya padat, tapi kampus mendukung. “

Yang penting tanggung jawab dan jaga performa,” katanya singkat.

Ritual unik sebelum tanding: mendengarkan dangdut

Tidak seperti pemain lain yang punya ritual unik sebelum bertanding–ada yang selalu berdoa di pojok lapangan atau memakai sepatu kanan dulu–Aulia justru memilih cara sederhana: mendengarkan musik.

“Aku suka dengerin musik sebelum tanding, Mas,” katanya. Saat saya tanya lagu siapa, ia menyebut nama yang saya tak kenal. “Lany.” Kami sama-sama tertawa karena saya pikir yang ia maksud dangdut, tapi ternyata bukan.

Namun, selain lagu-lagu pop, dangdut justru jadi favoritnya sebelum main. “Dangdut bikin urat-uratnya nggak tegang,” ujarnya sambil tertawa.

Bagi Aulia, musik adalah cara untuk menenangkan diri. Irama dangdut yang ringan membuat ototnya rileks dan pikirannya tenang. Ia percaya, pemain yang tegang justru tak bisa tampil lepas. 

“Kalau sudah enjoy, kaki lebih ringan,” katanya.

Mungkin terdengar remeh, tapi bagi Aulia, itu bagian dari fokus. Ia tahu kapan harus santai dan kapan berubah jadi garang di lapangan.

***

Kemenangan UNY di Campus League 2025 bukan hanya soal banyaknya gol atau sorotan kamera. Ini tentang keseimbangan tim. Tentang pemain-pemain yang bekerja dalam diam tapi menentukan arah permainan.

Aulia adalah cerminan dari itu semua. Ia bukan pemain yang selalu jadi starter, bukan juga yang mencetak gol terbanyak, tapi selalu bisa diandalkan. Dalam istilah futsal, ia clutch player–pemain yang muncul di saat-saat penting dan memberi dampak besar tanpa banyak sorotan.

Kadang, pemain terbaik bukanlah yang paling sering disebut. Kadang, mereka adalah yang diam-diam membuat segalanya berjalan. Seperti Aulia, pemain yang tak perlu bersinar terang untuk menunjukkan betapa penting dirinya bagi tim.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: El Capitano dan Sepasang Decker yang Menjaga Irama Permainan Tim Futsal Putri UGM atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version