Skripsi Tak Hanya Sulit, Juga Mahal: Sudah Biaya Cetaknya Mahal, Berkali-kali pula, tapi Nggak Semua Dosen Mau Bimbingan Pakai Soft File

Mahasiswa UNESA Surabaya Berbagi Cerita tentang Skripsinya yang Lancar karena Dosen Pembimbing yang Suportif dan Tidak Antikritik skripsi sastra inggris uny dosen pembimbing

Mahasiswa UNESA Surabaya Berbagi Cerita tentang Skripsinya yang Lancar karena Dosen Pembimbing yang Suportif dan Tidak Antikritik (Mojok.co/Ega Fansuri)

Skripsi itu sulit, melelahkan, dan mahal.

Banyak orang tak menyadari bahwa yang menyebalkan dari skripsi itu, salah satunya adalah, butuh uang yang besar untuk mengerjakannya. Kita tidak sedang bicara biaya yang harus dikeluarkan untuk makan dan minum saat mengerjakannya, biaya kopi yang harus dikeluarkan. Kita sedang bicara biaya seperti penelitian dan mencetak skripsi itu.

Saya punya sedikit ingatan tentang ini. Sekitar 6 tahun lalu, saat saya mau ujian skripsi. Kalau tak salah, saya mengeluarkan uang hampir sekitar 200-300 ribu (saya lupa angka pastinya) hanya untuk mencetak skripsi yang diujikan. Uang sebesar itu hanya untuk mencetak barang yang sekali dipakai. Itu tidak menghitung uang-uang yang harus saya keluarkan untuk mencetak lembaran-lembaran tugas saya yang saya pakai untuk bimbingan, serta biaya lainnya.

Dito (22), mahasiswa Sosiologi UNESA Surabaya yang baru saja kelar ujian skripsi, juga mengalami hal yang mirip-mirip dengan saya. Dia keluar uang cukup banyak dalam mengerjakan skripsi. Jumlahnya, cukup bikin saya mengelus dada.

“Total aku habis buat skripsian sekitar Rp725 ribu, Mas. Jumlah ini lebih banyak keluar buat ngasih sangu informan, sekitar Rp500 ribu untuk 10 orang. Terus, sisanya Rp225 ribu buat cetak berkas sempro dan sidang. Ini belum ngitung biaya cetak skripsi final, ya, Mas. Soalnya di kampusku skripsi final wajib cetak hardcover 2-3 kali buat dibagi di jurusan, fakultas, dan universitas,” terang Dito.

Dito masih harus mengeluarkan uang lagi untuk setor buku ke perpustakaan, sebagai syarat. Estimasi total biaya yang harus dikeluarkan oleh Dito dari awal skripsi sampe lulus itu sekitar 1 juta rupiah. Itu masih belum menghitung biaya wisuda.

“Beruntungnya aku dapet duit dari nulis di Mojok wkwkwk. Jadi, seluruh biaya tadi dicover dari uang hasil nulis.”

Biaya skripsi dibantu KIPK

Lain lagi dengan Siti (23), mahasiswa Manajemen Pendidikan Unesa Lidah Wetan. dia mengeluarkan biaya yang lebih besar ketimbang Dito. Total uang yang harus dikeluarkan adalah 1.9 juta rupiah, tepatnya Rp1.981.000.

Jika Dito bisa menutupnya dengan uang dari hasil nulis, Siti kebetulan di-support oleh KIPK. 80 persen pengeluaran yang ada di-cover oleh KIPK, sisanya dia harus kerja untuk menutup biasa.

Siti tidak bermasalah dengan biaya yang harus dikeluarkan. Dia sudah memprediksi jauh-jauh hari kalau dia bakal mengeluarkan biaya besar. tapi, untuk biaya print, dia mengaku keberatan.

“Di awal iku aku belum menemukan tempat print yg murah, baru nemu pas setelah sidang, dan akhirnya bisa sedikit menghemat budget geden iki. Jadi teman-teman, pinter-pinter cari info tempat print murce. Buat kalian anak Unesa Liwet (Lidah Wetan), tak rekomendasi print ke gang 9, namanya Andika Fotocopy.”

Baca halaman selanjutnya

Biaya yang memberatkan

Biaya sebesar itu tentu akan memberatkan orang-orang yang ekonominya rata dengan tanah. Itu jika lancar, kalau harus molor, misal dosennya kerap revisi atau total halaman yang harus dicetak lebih banyak. Bagi jurusan yang skripsinya model kualitatif, mungkin masih bisa ditekan. Tapi jika metodenya kuantitatif, atau malah dua-duanya, mahasiswanya bakal boncos bayar biaya print.

Biaya print sebenarnya bisa ditekan andai dosen mau (dan bisa) bimbingan dengan soft file saja, tak perlu cetak. Siti mengaku, dia beruntung karena beberapa kali dosennya mau bimbingan dengan soft file alias pake laptop masing-masing. Dito, tak seberuntung Siti.

Tapi, yang jadi mengerikan adalah, jika bimbingan dengan soft file saja biayanya sebesar itu, bagaimana kalau tidak pake soft file?

Harus bentuk budayanya terlebih dahulu

Dito mengatakan, tak semudah itu berharap bimbingan bisa lepas dari skripsi cetak karena budayanya harus dibentuk dulu. Kalau tidak, percuma.

“Menurutku, biaya skripsi harusnya bisa nggak semahal itu. Tapi, kampus harus mendukung budaya kirim berkas online dulu. Selain hemat biaya, ini juga lebih ramah lingkungan. Apalagi, kampus-kampus juga udah menerapkan SDGs. Mosok masih mau boros kertas?”

Dengan fenomena UKT yang makin mahal ini, biaya skripsi yang mahal makin jadi momok. Terlebih untuk yang kekuatan ekonominya tak bagus-bagus amat. Bisa jadi memberatkan, dan ujung-ujungnya kesulitan untuk lulus. Ironinya, orang menganggap ini normal, jadi ketika mau menuntut, agak susah.

“Masalahnya, banyak orang yang terlanjur menganggap skripsian mahal itu normal. Jadi, ya, mereka manut-manut aja mau habis berapa.”

Reporter: Rizky Prasetya
Editor: Hammam Izzudin

BACA JUGA 3 Tradisi Sidang Skripsi Paling Enggak Guna, Sederhana Tapi Bikin Mahasiswa 14 Semester Marah

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

Exit mobile version