Seorang Owner Kafe yang Malu Kalau Pekerjanya Nggak Bisa Beri Makan Keluarga

Seorang Owner Kafe yang Malu Kalau Pekerjanya Nggak Bisa Beri Makan Keluarganya

Karel Alexander (25) hilir mudik ketika saya temui pukul tiga sore. Katanya, ia sedang menyiapkan beberapa prodak kafe Dua Masa miliknya  untuk delivery kepada pelanggan setia. Ketika ditanya siapa yang akan mengantar, Karel mengatakan bahwa ia sendiri yang akan mengantar produk tersebut.

“Nggak malu memangnya, Mas Karel?” tanya saya.

Jawabannya membuat saya sedikit terhenyak hingga memutuskan untuk ikut mondar-mandir bersama dirinya mengantarkan makanan. “Lebih malu lagi kalau rekan-rekan pekerja saya nggak bisa beri makan keluarganya di rumah dan kalah melawan kebijakan PSBB.”

PSBB yang disebut Karel adalah Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar, sebutan yang dilekatkan sebelum kini berubah menjadi Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Mojok.co ngobrol seputar perkembangan kafe di area Jogja Selatan yang hingar-bingarnya kalah jauh ketimbang Jogja Utara, fluktuatif ketika PPKM, hingga kemauan owner kafe Dua Masa turun tangan dan menjadi pengantar delivery langsung kepada pelanggannya.  

Dari area Jogja Selatan, kami menuju area Pojok Beteng Wetan. Sekitar tiga pelanggan, Karel antar satu persatu. Sembari dibubuhi senyumnya dan ucapan terima kasih, lantas memberikan makanan yang ia pesan, motornya melesat dari satu tempat ke tempat lainnya.

Di dalam perjalanan terakhir menuju Umbulharjo menggunakan motor, kecepatan 60km/jam dan angin sembribit masuk helm, saya bertanya kepadanya apakah PSBB begitu signifikan menggerus bisnis kafenya.

 “Ha?” begitu jawab Karel, sekitar dua kali saya ulang, ia belum juga mendengar karena angin sore di Jogja begitu sembribit. Setelah saya ulang untuk yang ketiga, ia baru nyaut, PSBB memang menurunkan omset penjualan produknya di Dua Masa.

“Delivery menjadi pilihan karena aturan dari perangkat desa sudah jelas, jam delapan ke atas nggak boleh ada kegiatan. Sedang pengunjung kami, kebanyakan memanfaatkan tempat untuk nugas dan lainnya kan jam-jam malam,” katanya.

Kali ini gantian saya yang menjawab, “Ha?”

Akhirnya kami memutuskan untuk ngobrol di Dua Masa saja. selain berbahaya ngobrol di motor, faktor lainnya ya obrolan kami penuh dengan “Ha?” karena memang sulit ngobrol di motor. “Malah kesannya seperti orang pacaran yang sedang kerengan,” kata Karel guyon.

Kami duduk di area Joglo yang mengambil konsep tradisional. “Jadi depan itu konsepnya minimalis modern, sedang yang belakang itu joglo tradisional. Makanya namanya Dua Masa,” kata Karel.

Laki-laki yang sedang menempuh studi di Manajemen UMY ini berkata, “Sebenarnya ada tiga konsep. Yang ketika itu outdoor,” katanya menunjuk lorong penghubung area minimalis dan tradisional. Di sana banyak tanaman hias yang kebetulan juga menjadi salah satu program dari Dua Masa.

“Saya punya ide bahwa cup kopi yang dibuang, kami jadikan pot. Terus isi dengan tanah, ambil beberapa tanaman hias, lantas berikan kepada pengunjung kami yang suka tanaman hias secara free,” katanya. Usut punya usut, SMA Karel adalah sekolah Adiwiyata yang mengajarkan banyak hal seputar bercocok tanam dan mencintai lingkungan.

Dan pertanyaan saya pun masih sama, “Apakah ada perasaan malu ketika owner turun langsung—bahkan sampai delivery ke pelanggan Dua Masa dan kenapa nggak kru Dua Masa saja?”

Karel yang juga merupakan tim manager Dua Masa berkata bahwa ia berasal dari jalan, kenal banyak orang dari berbagai profesi. “Jadi owner dan manager bukan berarti saya jadi dewa di bisnis ini. Dan kenapa nggak rekan-rekan Dua Masa yang lain itu karena mereka sudah punya beban tugas yang sama beratnya.”

Ia memberikan contoh beban tugas seorang barista yang mematok sepuluh jam kerja. Katanya, “Jika setelah jam kerjanya tim barista harus anter-anter pesanan, itu namanya memperbudak. Sedang tugas saya kan ngurus keuangan ketika malam, kalau sore selo ya saya gunakan untuk membantu yang saya bisa.”

Bagian outdoor kafe Dua Masa
                                                                                 Bagian outdoor Kafe Dua Masa. Foto oleh Gusti Aditya/Mojok.co.

Delivery paling jauh, yang pernah Karel antar sampai area Prambanan mendekati Klaten. “Kebetulan mereka habiskan uang sampai 250 ribu, jadi kami menggratiskan ongkos kirim.”

Karel berkata bahwa ia nggak pernah mematok tarif untuk antar dengan pasti. “Biasanya nyebrang ring road itu bisa didiskusikan ongkosnya. Tapi kebanyakan dari pembeli itu saya gratiskan dengan syarat posting produk yang ia beli di Instastory mereka. Win-win solution, saya kira.”

Ada kisah haru, yakni ketika mengantar pesanan bagi pasien Covid-19, setelah menaruh makanan di pagar, lantas ia hubungan via WhatsApp. “Rasanya senang bukan main. Setidaknya saya bisa membantu keperluan yang sedang swakarantina untuk menunjang kebutuhan pangan mereka.”

Kisah lucu ketika delivery pun tentu ada, mulai dari ban bocor, salah antar pesanan, sampai tersesat pun mewarnai hari-hari owner Dua Masa ini ketika PPKM. “Biar macak sibuk kayak pemerintah,” kata Karel.

Konsep delivery ini, bagi Karel, juga saat yang tepat untuk kru Dua Masa mencari tambahan uang. “Jadi akun resmi Dua Masa ini nggak share delivery itu. justru kru dan kawan-kawan yang share, lantas saat kru dapat pelanggan, mereka menghubungi saya dan dapat persenan. Lumayan untuk tambah-tambah kebutuhan sehari-hari. Cukuplah untuk bayar listrik,” katanya.

Inovasi pergerakan kafe di area Jogja Selatan

Konsep Dua Masa ini adalah konsep baru yang Karel dan juga investor godog. Sebelumnya, di tempat yang sama, Karel membuka semacam warkop dengan nama Kumendan. “Bedanya, Kumendan ini untuk nongkrong, ketawa-ketawa, bermain musik, dan lainnya. Pandemi datang, di mana keceriaan tercerabut, mau nggak mau kami mengubah konsep.”

Peralihan dari Kumendan ke Dua Masa bukan hanya masalah target pelanggan, namun juga melihat peluang. “Di Jogja Selatan, khususnya dekat-dekat Dua Masa dan Kampus Pusat UAD, belum ada co-working place yang memudahkan akses mahasiswa, pekerja, start-up di area Selatan.”

Kiat-kiat ini dijalani lantaran di masa pandemi, tentu manusia bergelut dengan jenuh. “Dua Masa hadir untuk menciptakan cita rasa yang berbeda. Makanan dan kopi yang dijamin kelas wahid nggak cukup, kami memberikan ruang yang nyaman untuk bekerja, bertugas, atau bahkan rapat daring. Tentunya, sesuai protokol kesehatan.”

Karel menyebutkan bahwa di area Selatan, ia masih bersaing dengan warkop dan warung makan. “Warkop itu untuk nongkrong, warung makan ya untuk makan, sedang Dua Masa bisa melibatkan semua agenda. Dua Masa memberikan ruang untuk nugas, rapat, kerja, dan lainnya. Jadi jika ditandingkan di area selatan—sekitaran Kampus Pusat UAD—rasanya nggak apple to apple karena beberapa tempat di Selatan punya spesifikasi masing-masing.”

Karel melihat riuhnya area Jogja Utara yang penuh sesak akan tempat-tempat serupa dengan Dua Masa. Baginya, kawan-kawan di Jogja Selatan sudah pasti ingin merasakan atsmosfer yang serupa dengan kawasan Utara.

“Karena melihat peluang bisnis dari pola konsumsi dari pelanggan area Selatan maupun Jogja. Cukup gambling, tapi saya yakin bahwa pelanggan area selatan banyak yang butuh co-working place,” kata Karel.

Menurut laki-laki yang juga sedang merintis bisnis thrifting dan tanaman hias itu banyak penerbit buku di area Jogja Selatan. “Jogja tempatnya tumbuh penulis-penulis berbakat, buku tiap tahun banyak lahir, dan kebanyakan itu ada di area Selatan. Kami pede, bisa jadi tempat rujukan mereka untuk rapat atau sekadar ngobrol membahas literasi.”

Ketika saya mengangguk-anggukan kepala dan nyeruput kopi buatannya, Karel menambahkan, “Ya, seperti kita, kan, ngobrolin hal-hal literasi dengan suasana yang nggak bikin pusing kepala.”

  Barista di Kafe Dua Masa. Foto oleh Gusti Aditya/Mojok.co

Penurunan omset besar-besaran selama PPKM

Karel membagikan grafik omset Dua Masa dari awal peluncuran—atau perubahan tema dari Kumendan—sampai saat ia diwawancarai (23/07/2021). September sampai Januari, ada peningkatan yang signifikan.

Di bulan-bulan itu, setali dengan melonggarnya aturan pemerintah karena saat itu mengadakan “pesta di tengah pandemi” bernama Pilkada serempak, Desember 2020. Padahal, pada bulan September sampai Oktober 2020, pemerintah mematok nama PSBB: Ketat. Saat kontestasi pemilu berlangsung, aturannya jadi longgar.

Juga aturan-aturan membingungkan Pemerintah Kota Jogja saat tahun baru, di mana masyarakat suruh di rumah, namun pariwisata tetap dibuka. Dilansir dari Tempo wisatawan diminta datang ke Yogyakarta, sementara warga Yogya di rumah saja. Begitu kata Sekretaris Daerah Provinsi DIY, Kadarmanta Baskara Aji pada Desember silam ketika dimintai keterangan Yogya mempersiapkan liburan akhir tahun 2020.

Januari ke Februari, Pemerintah Pusat mulai memperkenalkan istilah baru, yakni PPKM. Mulai dari mikro hingga makro, menurunkan Satpol PP dan satuan gabungan yang lain menurunkan omset para pedagang di segala lini, tak terkecuali Dua Masa.

Puncaknya adalah PPKM Darurat, istilah baru yang diperkenalkan oleh pemerintah, berlangsung pada 1-20 Juli 2021. Lantas ada lagi istilah PPKM Level 3 dan 4 berlangsung dari 21-25 Juli 2021 dan tentu saja ini adalah puncak penurunan omset Dua Masa.

“Saya yakin nggak hanya kafe Dua Masa, tetapi semua lapisan pekerja di bidang serupa di area Jogja Selatan. Apalagi kampus mati suri, mahasiswa daring, kami banyak bergantung kepada aktivitas mahasiswa UAD. Di kampus baru di Ring Road Selatan, tentu harapan besar bergantung kepada mereka, namun apa boleh bikin, PPKM terus berubah namanya,” kata Karel.

Karel punya pandangan sendiri, baginya PSBB itu seperti manga Hunter x Hunter. “Sejak awal PSBB, saya sendiri sudah dapat dua juta rupiah (dalam hal delivery, red). Nggak jarang ada yang kasih tips. PSBB ini seperti Hunter X Hunter rasanya. Bertahan hidup atau hidup kelaparan. Dua Masa memilih jalan lain, yakni bergerak untuk tetap hidup,”

PPKM di area Selatan Jogja memang dirasa nggak seketat area Utara. “Satpol PP beberapa kali datang ketika jam setengah sembilan malam. Mereka berkata bahwa sudah waktunya tutup dan kebetulan kami memang sedang kukutan,” jawabnya.

“Nggak ada yang marah-marah atau menjarah seperti yang diperlihatkan oleh video yang menyebar di media sosial?” Karel menjawab dengan senyum tipis dan gelengan kepala. Baginya, Satpol PP di area Jogja Selatan hanya menjalankan tugas dan mereka cukup sopan dalam mengingatkan.

Hilal berhentinya pandemi memang belum terlihat. Bahkan jauh dari kata dekat. Melihat inovasi dalam menerobos kondisi, owner Dua Masa menutup dengan statemen yang kurang lebihnya menarik untuk dikaji dan dicermati oleh para pengusaha dalam bidang serupa.

Karel berkata, “Menunggu pandemi usai boleh-boleh aja, tapi kalau menunggu rezeki sepertinya sudah nggak relevan. Di masa pandemi, rezeki itu bukan dinanti, tapi dicari. Yah, semoga pemerintah menemukan jalan tengah agar kondisi stabil, namun para pekerja seperti kami nggak mati berdiri.”

BACA JUGA Warung Kopi Tanpa WiFi dan Seorang Pakde yang Mau Mendengar Ceritamu liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL. 

Exit mobile version