Seorang Kurir Ekspedisi di Antara Beban Kerja, Persoalan Pengirim, dan Keluhan Penerima

Kurir Ekspedisi di Antara Beban Kerja, Persoalan Pengirim, dan Keluhan Penerima

Kurir Ekspedisi di Antara Beban Kerja, Persoalan Pengirim, dan Keluhan Penerima

Kurir ekspedisi semakin sering bersinggungan dengan kehidupan kita sehari-hari. Sebuah konsekuensi dari perkembangan marketplace dan peningkatan daya beli yang sulit direm lagi. Di balik sekotak paket yang membawa kebahagiaan bagi tiap penerimanya, ada cerita yang tak banyak didengar.

***

Melalui pesan WhatsApp, saya membuat janji dengan Awan, seorang kurir muda yang usianya masih dua puluh dua. Ia mengajukan waktu berjumpa jam sembilan malam, di sebuah angkringan sekitar Alun-alun Utara Yogyakarta.

Kami akhirnya bersua, di antara remangnya lampu kuning tepian kota pada Rabu (2/6/2021). Awan terlambat sekitar 30 menit dari waktu yang dijanjikannya. “Maaf Mas, tadi harus nemenin teman saya yang sedang piket sendiri, petugas yang lain lagi izin semua,” katanya memohon pemakluman.

Ia lanjut bercerita bahwa baru benar-benar kelar kerja jam delapan malam. Setelah bekerja 12 jam, yang artinya sejak jam delapan pagi. Begitu siklus hidupnya hampir setiap hari. Penjelasan ini tentu membuat saya memaklumi keterlambatannya. Bahkan perlu saya syukuri, malam hari saya kira waktu yang tepat bagi Awan untuk rebahan, namun ia tetap meluangkan diri untuk saya temui.

“Tapi santai Mas, memang saya juga hampir setiap hari kudu nongkrong juga, biar lepas stressnya, besok semangat kerja lagi,” ujarnya ramah, cocok untuk pekerjaan di sektor jasa yang setiap hari berhadapan dengan ragam watak manusia.

Perawakan Awan kurus, wajahnya nampak kusam meski mengaku sempat pulang sebelum pertemuan ini. Rambutnya basah dan aroma badan yang sudah terbalut parfum. Saat pulang ia mengaku menyempatkan mandi dulu.

Menurut laporan BPS, pada 2017 sektor usaha transportasi dan pergudangan  menyumbang pembentukan PDB di Indonesia sebanyak 5,41 persen. Awan adalah satu dari jutaan orang yang terlibat di dalamnya. Satu cerita seorang ujung tombak jasa aktivitas pos dan kurir yang perlu didengar.

Beban kerja seorang kurir

Kini Awan bekerja dengan status pegawai tetap di perusahaan yang tergolong pemain baru di kancah jasa ekspedisi, sebut saja namanya Keong. Sebelum di Keong, ia pernah menjajal peruntungan sebagai kurir freelance di ekspedisi yang lebih terkenal.

Beban harian di dua tempatnya bekerja sebenarnya hampir sama, rata-rata mengantar 80 paket sehari. Tapi dulu, statusnya sebagai kurir freelance membuatnya harus menerima upah yang tak seberapa. “Yang dulu ga sampai setengahnya gaji di tempat sekarang Mas, beban kerja sama, malah beberapa kali lebih banyak yang sebelumnya,” curhatnya.

Kurir freelance di beberapa ekspedisi biasanya diforsir untuk menyiasati overload barang di gudang. Serta menggantikan kurir-kurir lain yang sedang izin kerja. Tak jarang pula, mereka harus bekerja ekstra dengan wilayah pengantaran barang yang luas.

Biasanya, setiap kurir memiliki area pengantaran yang tetap meliputi satu kecamatan tertentu. Awan misalnya, dengan motor Honda Astrea miliknya, ia bertanggung jawab pada area beberapa desa/kelurahan di Sleman bagian barat. Sedangkan kurir freelance bisa saja mengantar barang di banyak titik yang berjauhan.

Awan bersyukur di tempatnya sekarang  bisa mengantongi uang hingga dua kali UMR Yogya perbulan. Rinciannya meliputi gaji pokok setara UMR, uang bensin dan pulsa, serta bonus-bonus ketika mencapai target dan kinerja baik. Namun, bekerja di sektor jasa membuat hari liburnya tak menentu, tak berpatokan pada akhir pekan.

Umumnya ia bekerja dengan sistem 5:1, artinya libur satu hari setiap lima hari kerja. Tapi kadang kala ia harus bekerja ekstra dan menunda liburnya, terutama saat ada promo besar-besaran belanja online di marketplace. Di saat Anda berburu promo, saat itulah Awan bekerja sampai loyo.

“Wah, kalau lagi ada promo itu saya ngurus paket sehari bisa seratus lebih, bahkan sampai 150 Mas,” keluhnya yang disusul menyeruput kopi dan menyalakan sebatang rokok baru.

Dengan 12 jam kerja sehari, Awan harus pintar-pintar mengelola pengiriman agar masih bisa meluangkan waktu untuk istirahat. Idealnya, ia bisa mengambil jeda antara jam 2 hingga jam 4. Untuk sekadar rebahan atau merokok santai sambil berlindung dari teriknya siang.

Strategi yang ia lakukan adalah secepatnya mengirim barang (delivery) ke penerima paket sejak pagi hingga jam 12 atau paling lambat jam 2. Kemudian beristirahat sejenak dan kembali lagi menjemput paket (pick up) yang hendak dikirim hingga malam. Inilah beban tersendiri yang ia rasakan di tempatnya bekerja sekarang, delivery dan pick up masih ditanggung oleh kurir yang sama. Alhasil, ia harus siap menghadapi keluhan pembeli sekaligus berbagai dinamika yang sering terjadi dengan penjual.

Menerima keluhan dengan lapang hati

Banyak dinamika yang Awan sebagai kurir ekspedisi, terutama ketika mengantarkan paket ke alamat penerima. Diawali dari persoalan yang nampak sederhana tapi menyusahkan kurir, kelengkapan alamat. Awan menyebutnya dengan alamat fiktif. Misalnya hanya dengan menyertakan kelurahan dan kecamatan, tanpa detail rumahnya. “Ini masih sering terjadi, saya juga heran, kok lolos,” ujarnya kesal. Jika sudah begitu, ia harus menanyakan ke warga setempat.

Memang sih, kini jasa ekspedisi, terutama tempat Awan bekerja sudah menyertakan maps titik lokasi yang bisa dipindai dengan aplikasi di setiap paket yang terkirim. Tapi sayangnya, itu masih sering jauh dari akurat.

“Lha pernah itu mapsnya ngacau, titiknya di Sinduadi, tapi ternyata alamatnya di Jalan Magelang, sering itu Mas,” tambahnya. Ditambah lagi, ketika nomor penerima dihubungi tidak aktif, baik WhatsApp maupun lewat SMS dan telepon.

Jika berhadapan dengan situasi demikian dan warga setempat tak ada yang mengetahui, Awan perlu menghubungi pihak pengirim, kadang pengirimnya adalah teman penerima, yang tahu kontak lain yang bisa dihubungi. Pilihan paling akhir, ya mengembalikan paket tersebut ke kantor, untuk nanti ditindaklanjuti.

Kurir ekspedisi mengambil barang dari penjual. Foto oleh Hammam Izzuddin/Mojok.co

Kadang juga, sudah beritikad baik untuk menghubungi nomor penerima, malah yang bersangkutan membalasnya dengan jengkel. “Kan sudah ada alamatnya di paket, kok nanya lagi sih Mas,” ujarnya menirukan respons yang kadang muncul. “Padahal, niat saya kan baik, untuk meminimalisir risiko,” tandasnya.

Selanjutnya, adalah ketika ia harus berhadapan dengan pembeli yang tak mau menerima barang. Pertama karena kemasan paket yang sudah agak rusak. Entah itu karena pengirim mengemasnya dengan kurang aman atau karena kelalaian yang terjadi di pihak gudang. Yang jelas, Awan yang menjadi rantai distribusi paling ujung sering menerima amarah.

“Suatu kali pernah saya mengantar barang, memang packing-nya sudah agak rusak, dan ibu-ibu penerimanya marah, malah menuduh, ‘Ini barangnya udah Mas buka ya?’ Padahal saya gak tahu isi detailnya apa dan saat dibuka masih utuh dan tidak rusak barangnya. Cuma packing-nya rusak,” jelasnya.

Berhadapan dengan situasi itu, Awan mengaku hanya bisa menjelaskan bahwa kalau sudah dibuka dan ia niat mengganti kardusnya, pasti segel dan keterangan marketplace sudah hilang. Karena pembeli tetap menolak menerima barang, Awan hanya bisa pasrah. Ia membawanya kembali ke kantor dan memberi keterangan ditolak karena kemasannya rusak.

Satu persoalan yang paling bikin Awan kelabakan sebagai kurir ekspedisi adalah ketika bermasalah dengan barang mahal. Ia pernah mengalaminya sekali, dan tak pernah melupakan detailnya.

Kisaran akhir 2020 lalu ia mengantar barang ke sebuah kantor di pinggir Jalan Magelang, sebuah kotak kecil, ukurannya sebungkus rokok. Seperti biasa, saat mengirim ke kantor ia akan menitipkan pada satpam, mengambil foto, dan mengunggahnya di aplikasi, selesai.

Namun dua hari setelahnya, tiba-tiba ia disidak oleh atasan. “Ini kok barangnya belum diterima, statusnya masih diterima kurir? Kamu tahu gak itu barang isinya apa?” Awan bingung dan panik, ia menjelaskan kalau sudah mengantarkan paket sebagaimana mestinya. Atasannya lalu menyuruh untuk menghubungi kontak penerima. Selang beberapa saat, balasan Awan terima, sebuah foto emas Antam sepuluh gram dan pesan singkat, “Sudah sampai Mas.”

“Walah Mas, saya ya gak tau itu paket kecil kok isinya emas, tak kira cuma barang remeh temeh,” ungkapnya sambil menggaruk kepala. Usut punya usut, ternyata pada waktu Awan mengirim barang, aplikasi ekspedisi sedang eror. Beberapa waktu setelahnya, pihak ekspedisi membuat kebijakan baru untuk menyertakan deskripsi detail barang yang ada di paket. “Kalau tahu barang mahal kan kurir pasti lebih hati-hati Mas,” tambahnya.

Menjembatani persoalan penjual dan pembeli

Tuntutan kerja untuk menjemput paket yang hendak dikirim (pick up), membuat Awan juga harus berdinamika dengan para seller marketplace. Dan hal itu seringkali sama memusingkannya dengan mengantar barang ke pembeli.

Pernah suatu hari Awan menerima permintaan pick up dari seller langganan ekspedisinya di hari Minggu. “Padahal biasanya gak pernah request Minggu, tapi yasudah saya jemput saja, karena lagi kerja hari itu,” jelasnya.

Tak ada yang aneh saat ia menjemput barang, kecuali saat itu dilayani sang anak penjual, sebab biasanya orang tua yang melayani. Baru beberapa hari kemudian saat barang sampai di tujuan, keluhan datang ke kantor, ternyata barang yang dikirimkan tak ada isinya. Cuma kardus berisi buntalan bubble wrap.

Sebagai kurir yang mengambil barang, ia tak luput dari cecaran pertanyaan atasan. Kenapa bisa begini? Tak punya pilihan lain, Awan berangkat ke penjual untuk menanyakan persoalan ini. Setelah diskusi panjang, akhirnya ketahuan kalau itu adalah kelalaian anak sang penjual makanan.

Tak henti di situ, kerap juga Awan harus menghadapi seller yang tidak bertanggung jawab atas barang yang harusnya sudah siap. Sudah meminta penjadwalan jemput paket, tapi saat dihampiri barangnya belum siap. Bahkan bisa tertunda sampai beberapa hari, padahal resi pengiriman sudah disiapkan.

Hal ini, selain bikin Awan harus bolak-balik, juga membuat ekspedisinya yang kena marah pembeli. “Barang kalau sudah request pick up, itu kan dikira pembelinya sudah jadi tanggung jawab ekspedisi. Tapi ya pihak penjual juga kadang begini, yang kena marah kan jadi ekspedisinya, lalu turun lagi ke kurirnya,” sesalnya.

Di balik segala dinamika yang ia alami dalam menjalankan tugas perkuriran duniawi, ia masih bersyukur karena tidak berurusan dengan sistem cash on delivery (cod). “Menurut saya cod itu suatu kemunduran Mas, lah sekarang bayar apa-apa udah bisa lewat HP kok masih gitu, apalagi pembeli banyak yg belum paham posisi kurir dalam sistem cod itu,” tegasnya.

Sebelum akhirnya obrolan kami dihentikan Satpol-PP yang menertibkan keramaian di sekitar alun-alun karena sudah lewat tengah malam, Awan sempat menunjukkan seluk beluk aplikasi. Mulai dari detail cara kerja aplikasi, hingga berbagai chat dari penerima paket yang ia ceritakan tadi. Nampak jelas foto gadis manis berkerudung di layar depan hp Awan. Gadis yang barangkali jadi salah satu alasannya terus berjuang menghadapi kerasnya pekerjaan ini.

“Kurir memang keras Mas kerjanya, dua bulan terakhir saja, sudah ada delapan orang yang mundur di tempat kerja saya,” pungkasnya.

***

Beberapa hari selepas pertemuan dengan Awan, saya sempat berbincang singkat dengan kurir ekspedisi yang mengantarkan paket pesanan ke kos. Saat saya tanya, ia mengaku berstatus freelance di perusahaan ekspedisi Si Tangkas*. Sayangnya ia tak mau bicara banyak, “Nanti tanya sama yang sudah senior saja Mas, saya ga berani bicara banyak,” kata laki-laki bernama Anto yang nampak usianya masih awal dua puluhan tahun ini. Paket itu diantar menjelang petang, sedangkan keranjang barang di motornya masih penuh. Banyak pekerjaan yang nampak harus ia teruskan hingga malam.

Persoalan di dunia ekspedisi belakangan banyak jadi sorotan. Urusan upah, beban kerja, hingga risiko pekerjaan saat berhadapan dengan berbagai macam karakter penerima pesanan. Di sisi lain, tren belanja online memang sedang melonjak. Bank Indonesia mencatat, transaksi yang terjadi di e-commerce sepanjang tahun 2020 mencapai Rp 253 triliun dan diperkirakan akan naik menjadi Rp 330,7 triliun pada tahun ini.

Menurut Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Tanjungpura, Djunita Permata Indah, efisiensi operasional merupakan resolusi yang diidam-idamkan seluruh pelaku bisnis dalam menjalankan usaha. Namun di balik efisiensi yang diharapkan, ada pekerja-pekerja yang menanggung beban.

Djunita menambahkan, dengan masifnya iklan di televisi hingga media sosial tentang promo gratis ongkir, cash backflash sale membuat bisnis ekonomi digital terlihat sangat berkilau. Hal itu memang nampak menggiurkan bagi konsumen. Namun kerap mengaburkan bentuk “eksploitasi” terhadap orang-orang yang terlibat dalam rantai distribusi.

“Kita kan pasti pengen bisa dapat harga yang paling murah ya, tapi sewajarnya saya yakin setiap ekspedisi punya rate harga masing-masing yang sudah dipertimbangkan. Ketika masyarakat sudah tahu bahwa ya memang segitu ratenya mungkin tidak perlu terlalu silau dengan promo gratis ongkir,” tutupnya.

BACA JUGA Keliling Jualan dengan Sepeda ala Pak Jo dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

 

 

Exit mobile version