Sentra Pigura Sagan, Bingkai Kenangan di Tikungan Jalan yang Berharap Pada Ramadan

Sentra Pigura Sagan, Bingkai Kenangan di Tikungan Jalan yang Berharap Pada Ramadan

Sentra Pigura Sagan di kawasan Kampus UGM ternyata berdiri di atas bekas tanah pemakaman. Sejak tahun 1989, tempat ini jadi jujugan orang-orang memesan pigura. 

***

Siang itu (26/03/2022), udara terasa panas. Sengatnya membakar kulit. Namun, tidak sekalipun menghalangi semangat laki-laki muda yang sedang memotong kayu. Bunyi gergaji mesin terus mengalun. Sudah hampir empat jam ia bergulat menghabiskan waktu untuk membuat kerangka pigura kayu, di trotoar depan lapak milik bosnya.

Sesekali peluh menetes, namun ia seka dengan handuk kecil yang disimpan di kantong celana. Diki (37), namanya. Ini menjadi tahun keenam bekerja sebagai perajin pigura. Ia belajar membuat pigura selama satu minggu dari seorang teman yang lebih dahulu berkecimpung di usaha tersebut. “Ya, semua memang butuh proses, termasuk membuat pigura,” ungkapnya.

Bagi Diki, Jalan Colombo adalah persinggahan ketiganya. Meski setiap pagi harus menempuh perjalanan 20 menit untuk bekerja, namun ia sudah terlanjur jatuh cinta dengan seni membuat pigura. Menurutnya, tingkat kesulitannya tergantung dari permintaan pembeli. Pigura fiber jauh lebih mudah dibuat dibanding berbahan kayu. Pun dengan waktu pembuatannya, hanya memakan waktu 30 menit, sedangkan kayu berkisar 1-3 hari tergantung cuaca.

Sembari membereskan perkakas memotong kayu, Diki menjelaskan cara membuat pigura, mulai dari mengukur gambar, memotong, memaku, mewarna, dan memasang. “Kalau saya, lebih suka bahan fiber karena cepat dan mudah dibuat,” ungkapnya terkekeh dan berpamitan karena harus mengamplas pigura kayu di dalam lapak.

Sepeninggal Diki, saya mulai menyusuri deretan lapak pigura. Secara lokasi, lapak-lapak ini berada di Jalan Colombo, Sagan, Caturtunggal, Depok, Kabupaten Sleman. Tepatnya, berada di tikungan seberang SPBU Colombo yang sudah berhenti beroperasi. Jika dihitung, di pinggir trotoar ini terdapat 31 lapak yang semuanya tergabung dalam Paguyuban Sentra Pigura Sagan.

Berdiri di bekas tanah pemakaman Tionghoa

Bambang Ridwan (50), ketua Paguyuban Sentra Pigura Sagan, mengatakan lapak-lapak ini sudah ada sejak tahun 1989.

Dahulu, tanah ini merupakan kompleks pemakaman Tionghoa. Di bagian selatan, terdapat lahan kosong dan sungai tidak berfungsi. Daerah ini daerah hitam. Jarang ada yang berani lewat. Belum adanya penerangan jalan membuat jambret mudah beraksi.

Lahan kosong ini memiliki permukaan tanah rata. Akhirnya, oleh warga Desa Sagan dijadikan lapak-lapak tak beraturan. Ada yang besar, kecil, panjang, dan lebar. Sekatnya masih menggunakan kayu. Dari 12 lapak, hanya 2-3 lapak saja yang berjualan pigura. “Saat itu sedang tren foto pemain bola, foto artis,” ungkap Bambang, biasa ia dipanggil. Karena masih bermodalkan bahan seadanya, pigura yang dibuat pun hanya foto dibungkus plastik.

Keberadaan lapak di sepanjang Jalan Colombo kian ramai. Tidak ada lagi jambret yang beraksi. Selain berjualan pigura, ada pula yang menggunakan lapak untuk berjualan majalah, membuka bengkel, berjualan rak, warung gudeg, dan juga sebagai tempat mangkal bus. 

Perajin pigura di Sagan tengah mengerjakan pesanan. Sebagian besar pelapak adalah warga Sagan. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Salah satunya Tannas (34), lapak Ibunya dahulu merupakan toko kelontong yang menjual bensin. Namun, berhenti berjualan dan beralih menjajakan pigura setelah berdiri SPBU Colombo.

Tahun 1990, 12 lapak itu seluruhnya menjadi perajin pigura. Mereka berinovasi menggunakan kayu, fiber, dan kaca. Meski demikian, belum meratanya listrik membuat perkakas yang digunakan masih manual. Tannas ingat, alat yang pertama kali dibeli Ibunya adalah gergaji siku. Untuk mengukur sudutnya masih dibongkar pasang. Bahkan, ia ingat ketika ibunya mengamplas kayu menggunakan tangan dan mewarnai kayu menggunakan kompresor bensin.

Seiring berjalannya waktu, semakin banyak warga Desa Sagan yang ikut membuka lapak. Pada tahun 2005, dibuatlah Paguyuban Sentra Pigura Sagan yang berfungsi sebagai tempat bertukar informasi.

Selepas penertiban lapak

Berjalannya waktu, pemakaman Tionghoa di tempat itu dipindahkan ke Pemakaman Gunung Sempu. Sebenarnya, tanah ini merupakan Sultan Ground yang dikelola oleh Universitas Gadjah Mada. Pada 2016, seluruh lapak diratakan dengan tanah sebagai upaya penertiban. Terpaksa, mereka membawa stok pigura ke rumah. Beberapa nekat berjualan menggunakan tenda kecil di pinggir trotoar. Sisanya, pergi mencari tempat lain.

Kebetulan, rumah Tannas tidak cukup besar untuk menampung stok barang jualannya. Alhasil, dengan modal yang tersisa, Ibunya mengontrak ruko di Jalan Kaliurang KM. 8. Sayangnya, penjualan malah menurun. Akibatnya, sedikit keuntungan yang didapat. “Orang tahunya kalau sentra pigura itu ya di Jalan Colombo,” ujarnya.

Sementara itu, Jalan Colombo dilebarkan. Bekas lapak-lapak dimundurkan kemudian dibangun lagi dengan ukuran 3×5 meter persegi. Batas antar lapak dibuat dengan tembok setinggi satu meter. Seluruh anggota Paguyuban Sentra Pigura Sagan dipanggil dan diberi tawaran untuk kembali berjualan. Terbentuklah 31 lapak penjual pigura.

Pihak Universitas Gadjah Mada memberi peraturan. Bahwasanya lapak-lapak ini hanya boleh digunakan untuk berjualan pigura. Mereka yang berjualan pun harus warga Desa Sagan. Hampir semua pemilik lapak masih memiliki hubungan saudara. “Sebelah masih saudara saya, lalu yang di belokan itu adik kandung saya,” ungkap Tannas.

Saat ini, para perajin pigura di Jalan Colombo dikenakan biaya sewa sebesar Rp3,1 juta setiap tahunnya.

Ramai saat Ramadan hingga jelang Lebaran

Bambang, pemilik Ridwan Pigura, mengungkapkan dahulu ia seorang pekerja kantoran yang menitipkan lapak pada anak buahnya. Ia memilih resign lantaran ingin terjun di dunia pigura. “Kalau menjaga lapak seperti ini, capai ya tinggal pulang,” ujar Bambang tertawa.

Rupanya di Yogya tidak ada produsen kayu yang bisa digunakan untuk membuat pigura. Hanya ada beberapa tengkulak yang harganya jauh lebih mahal ketimbang membeli di luar kota. Kata Bambang, kayu yang dapat digunakan yaitu kayu jati belanda dan kayu sengon laut. Karena itu, Bambang mendatangkan kayu dan fiber dari Jawa Timur. Pun dengan lukisan-lukisan yang ia jual, juga didatangkan dari Bali. Sedangkan kaca, di Yogya masih tersedia.

“Sekali datang kayu dan fiber mencapai 10 boks,” ungkap Bambang. Kayu dan fiber yang berbentuk lonjoran itu lantas ia simpan di lapaknya. Jika ada pembeli, Bambang akan menawarkan dua pilihan, fiber atau kayu. Harga fiber tentu lebih murah dari kayu. Hanya dengan merogoh kocek Rp20 ribu, pembeli bisa mendapatkan pigura fiber ukuran 10R.

Bambang dan pekerjanya. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Biasanya, saat Ramadan dan menjelang Lebaran, lapak-lapak penjual ramai pembeli. Pasalnya, banyak yang ingin mengisi rumah dengan aneka lukisan masjid dan kaligrafi untuk menyambut tamu. Selain itu, saat pergantian presiden, beberapa instansi juga berdatangan dan memesan foto presiden sekaligus piguranya. Menurut Bambang, pigura yang ia buat dapat bertahan sampai 5 tahun.

Menjadi perajin pigura, Bambang merasakan duka ketika stoknya menumpuk, namun pembeli tak kunjung datang. Raut wajahnya tampak lesu mengingat masa Pandemi Covid-19 kemarin. Pasalnya, ia kehilangan omzet sampai 50%. “Kalau di sini yang paling banyak pesan itu kantor dan mahasiswa, kemarin kantor tutup, mahasiswa pulang kampung, jadi sepi,” ungkapnya.

Bambang bersyukur, keberadaan sentra pigura di Jalan Colombo ini didukung oleh pemerintah. Misalnya saja, beberapa kali dinas perindustrian memberikan pelatihan dan bantuan alat untuk meningkatkan kapasitas para perajin. Ia berharap ke depan, deretan lapak pigura ini bisa dijadikan wisata bagi yang singgah ke Yogya.

Harga jatuh karena paten-patenan rego

Di lain tempat, Tannas, pemilik Vidi Pigura, bercerita pengalamannya menghadapi wisatawan asing. “Pernah ada turis dan tour guide datang. Mereka saat itu membeli lukis wajah yang sudah di pigura. Tapi, karena kebetulan yang jaga lapak itu orang baru, tour guidenya nggak diberi tips, akhirnya marah-marah,” ungkapnya.

Tidak ada jalan lain, Tannas menawarkan agar turis itu mengembalikan barang yang dibeli. Pikirnya, tidak apa jika ia dan Si pemandu wisata sama-sama rugi. Namun, hal itu ditolak. Ia berharap ke depan pemandu wisata juga memberi tahu atau membuat kesepakatan sejak awal jika ingin meminta tips.

Berbicara soal pigura, Tannas mulai belajar membuat sejak tahun 2006, saat itu ia diajarkan oleh Ibunya membuat poster terlebih dahulu. Namun, alumni Akademi Seni Rupa Desain MSD ini baru fokus menekuni seni pigura di tahun 2015. Menurutnya, kesabaran adalah hal yang utama, terlebih jika bahan kayu. Salah-salah, cat yang harusnya mengkilap malah menjadi doff akibat dikerjakan dengan buru-buru.

Meski demikian, dibanding fiber, Tannas lebih suka membuat pigura kayu. “Ada tantangannya,” ungkapnya tertawa. Bahkan, baru beberapa bulan ini, ia menerapkan ilmu desain komunikasi visualnya dengan membuat papan nama huruf dari kayu dengan teknik pewarnaan ala Jepang, yaitu dengan dibakar.  Selain itu, ia juga baru memasarkan meja belajar untuk anak-anak melalui penjualan online.

Menjadi perajin pigura memang tidak selalu untung. Tannas pun pernah berulang kali mengalami kerugian akibat pesanan tidak diambil oleh pembeli. Misalnya saja, pigura dengan lukisan berwarna oranye di sudut lapak. Sudah hampir satu tahun namun tidak kunjung di ambil pembelinya. Beberapa malah sudah ia taruh di belakang dan dimasukkan di lemari-lemari kayu. “Kalau yang fiber, sekali lecet sudah tidak terpakai. Kalau yang kayu masih bisa diolah lagi,” ungkapnya.

Pengerjaan pigura berbahan kayu lebih memberikan tantangan daripada yang berbahan fiber. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Beberapa pigura terpaksa ia lepas gambarnya dan dijual pada orang lain. “Ada juga yang pesan cermin, sudah dua bulan tidak diambil, akhirnya ditaksir orang dan laku. Besok kalau pemesannya datang kesini, baru dibuatkan lagi,” ungkap Tannas sedikit dongkol. Pasalnya, beberapa pembeli tidak memberi uang muka.

Bagi Tannas, menjadi perajin memberi kepuasan ketika karyanya dipajang. Misalnya saja, saat ia melayani pesanan pigura dari Dinas Kesehatan DIY. Saat itu ia mendapat pesanan untuk 3.000 poster dan dipasang di puskesmas seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta. Begitu pun dengan cermin. Ia merasa bangga ketika cermin buatannya dipajang di distro-distro sepanjang Jalan Demangan.

Perkara harga, menurut Tannas setiap tahun selalu ada penurunan. Berbanding terbalik dengan bahannya yang malah bertambah mahal. Misalnya saja pigura dengan lukisan, jika 2 tahun yang lalu dihargai 200 ribu, sekarang hanya Rp150 ribu. Menurutnya, penurunan harga dipengaruhi oleh banyaknya perajin pigura yang mematok harga lebih rendah dari perajin lainnya. Padahal, jika di Sentra Pigura Sagan, pengurus paguyuban memberikan patokan harga. “Itulah, di lapangan harga jadi berbeda, istilahnya paten-patenan rego, ” ungkapnya.

Suatu ketika, Tannas pernah melukis untuk pajangan dinding rumahnya. Saat itu, ia melukis burung dan ornamen lain. Ternyata, lukisan yang ia pigura itu malah ditaksir oleh seorang ibu yang berkunjung ke lapaknya. Akhirnya lukisan itu dilepas dengan harga 750 ribu. Menurutnya, harga itu jelek. Pasalnya, tidak balik modal dengan biaya untuk membeli kanvas dan cat. 

Karena itu, Tannas selalu menolak ketika Ibunya membujuk untuk membuka jasa lukis wajah. “Mungkin maksud Ibu biar tidak pakai pelukis dari luar,” ungkapnya. Namun, setelah dihitung, harga pasaran untuk lukis wajah hitam putih di Sentra Pigura Sagan, Rp150 ribu, tidak sebanding dengan komplain tidak wajar, misalnya saja wajah dianggap kurang mirip.

Saya pun lantas bertanya, apa yang membedakan Sentra Pigura Jalan Colombo dengan perajin pigura pinggir jalan lainnya? “Kalau di sini bareng-bareng, jadi disebut sentra. Kalau yang di luar namanya ndeweni,” jawab Tannas tertawa.

Selain pigura, lapak juga menjual jasa lukisan. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Rupanya, tidak ada perbedaan. Namun, beberapa perajin pigura pinggir jalan lainnya ada yang mengambil pigura jadi dari lapak Sentra Pigura Sagan. Menurut Tannas, pigura kayu setiap lapak mempunyai ciri khas yang berbeda. Hal itu terlihat dari sambungannya dan cara dempulnya. Ada beberapa perajin yang menggunakan sambungan paku dalam, ada pula yang paku samping. Namun, apabila sudah di cat, maka sulit dibedakan.

Dalam sebulan, Tannas mampu menjual sampai 300 pigura. Ia berharap, ke depan, Sentra Pigura Sagan ini semakin ramai pembeli. “Tentunya supaya tidak digusur dan uang sewa tidak naik,” ungkapnya tertawa dan berpamitan untuk melayani pembeli.

Saya pun beranjak akan pulang. Tidak lupa sedikit berbincang dengan pembeli. Septi (27) namanya, kebetulan lewat saat sedang mengunjungi mertua di Yogya. Berasal dari Surabaya, ia mencari pigura untuk memajang foto pernikahannya. Menurutnya, harga di Sentra Pigura Jalan Colombo ini lebih murah dibanding pusat perbelanjaan. Untuk 12R bahan fiber, ia hanya perlu merogoh kocek Rp45 ribu saja.

Sentra Pigura Sagan ini buka setiap hari mulai dari pukul 08.00 WIB dan akan tutup pada pukul 21.00 WIB.

Reporter: Brigitta Adelia
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Berkunjung ke Pura Jala Siddhi Amertha, Melihat Sekolah Hindu di Sidoarjo dan liputan menarik lainnya di Susul.

 

Exit mobile version