Melihat Layar Kobar Kotabaru Heritage Film Festival (KHFF) Jogja, Geliat Seni dan Budaya yang Tak Ada di Surabaya

Ilustrasi geliat seni di Jogja (Mojok.co)

Di Jogja, saya mendapati geliat seni dan budaya yang tak pernah saya dapati selama kuliah di Surabaya. Melihat Layar Kobar Kotabaru Heritage Film Festival (KHFF) menyadarkan akan hal itu.

***

Selama kuliah di Surabaya, saya kerap mencoba mendatangi acara kesenian. Acara yang buat saya jadi kebutuhan. Ruang rehat dari segala hal yang memburu dalam hidup. Namun, di sana, agenda kesenian tidak “sehidup” di Jogja.

Pengamatan saya ini diamini oleh Garin Nugroho. Dalam salah satu mata acara Kotabaru Heritage Film Festival (KHFF) bertajuk Jogja Kota Sinema, ia menjelaskan bagaimana masyarakat Jogja punya indeks kebahagiaan yang tinggi meski penghasilan ekonominya tak memimpin dari daerah-daerah lain.

“Tetangga saya kerja ngojek, tiap sore sepedaan lihat teater, sore lain lihat orkestra, yang itu semua gratis, wah senang sekali dia,” ceritanya.

Kuliah umum Jogja Kota Sinema.MOJOK.CO
Kuliah umum “Jogja Kota Sinema” bersama Garin Nugroho dan Siska Raharja (Alya Putri/Mojok.co)

Jogja dan kebudayaan

Indeks kebahagiaan itu, tinggi sebab budaya hiburan yang hidup. Terus terang bila membandingkan dengan Surabaya, Jogja telah jauh memimpin perihal itu. Di Surabaya, tak pernah saya jumpai ekosistem seni yang hadir secara konsisten. Dan dalam acara-acara yang jarang adanya itu, tak pernah saya temui antusias sebesar masyarakat Jogja.

Garin kemudian membawa seisi ruang diskusi sore itu, untuk mewaspadai kencangnya ekosistem budaya Jogja ini sebagai suatu ancaman. Bila, acara-acara yang menjamur begitu banyak itu–teater, musik, film, pameran seni, event-event kebudayaan, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun kelompok sipil–hanya sekadar ada dan tak bervisi; itu mungkin malah menimbulkan persaingan yang saling mematikan antar satu sama lain. Oleh karenanya, integrasi antarsektor, juga pemetaan visi penting untuk dilakukan.

Mendengar “kekhawatiran” itu, saya malah takjub dan iri. Sebab, bila “level” Jogja sudah pada mengkhawatirkan, mengevaluasi, memetakan sistem seninya, Surabaya baru menumbuhkan, baru ancang-ancang. Dan dalam upaya penumbuhan itu, Surabaya sudah babak belur duluan menghadapi budaya kapitalis.

Seusai mengikuti public lecture bersama sutradara kawakan Garin Nugroho dan direktur penyelenggara KHFF, Siska Raharja, di Grha Padmanaba sore itu (Sabtu, 10/8/24), saya melipir sedikit ke lapangan SMAN 3 Yogyakarta untuk menyaksikan layar kobar.

Langit hendak gelap ketika saya menikmati sajian panggung; sebuah band membawakan lagu-lagu syahdu ceria–seperti inikah cinta, hai nurlela, hingga kapan-kapan–dengan iringan kentrung, menciptakan suasana damai dan nostalgic.

Kira-kira pukul tujuh kurang, perut saya keroncongan. Saya pun menitipkan tas dan barang bawaan saya–sebab saya bepergian sendiri– kepada bapak ibu batak yang duduk di belakang saya, dan mencari makan di pasar kobar yang telah disediakan.

Pasar kobar; kenang, kenyang, dan es goreng gratis

Pasar Kobar diisi oleh UMKM jogja yang diatur oleh Pasar Kangen. Jajaran Tenant di dalamnya diberi nama dengan judul-judul film yang mengambil Jogja sebagai latar belakangnya. Seperti misalkan, Cintaku di Kampus Biru (1977), AADC 2 (2016), Bumi Manusia (2019), Losmen Bu Broto (2021), dan banyak lagi. Sambil menawarkan jajanan lawas, Pasar Kobar  membuat pengunjung asik bernostalgia.

Sewaktu berjalan di antara tenant, saya mendengar suara familiar bagi saya, menawarkan es goreng kepada pembeli lewat microphone yang menggantung di kuping. Saya pun menyusur jejak suara itu. Benar sesuai dugaan, beliau adalah Pak Gatot, Ketua RW Jokpin yang tempo lalu saya ajak ngobrol ketika meliput.

Pasar Kobar managed by Pasar Kangen (Alya Putri/Mojok.co)

Saya pun menghampirinya. Tapi sial, saya lupa bawa dompet. Beruntung, Pak Gatot masih mengingat saya. “Ini mbak kemarin yang wawancara saya di acara untuk Pak Jokpin, ya. Ah, iya, saya ingat. Saya sudah baca itu, Mbak. Terima kasih,” ucapnya kepada saya–sambil masih memakai microphone!. Saya sedikit malu sebab obrolan itu turut tersiar di Pasar Kobar.

“Sebagai ucapan terima kasih, ini saya beri satu es goreng gratis!” ucapnya. Wah, saya amat senang, sebab sewaktu jumpa lalu, kami sudah membahasnya; ia bercerita, selain ketua RW ia juga berprofesi sebagai penjual es goreng, saya bertanya apa itu es goreng sebab keambiguan penyebutannya. Pak Gatot menjawabnya dengan, saya harus mencoba sendiri kapan-kapan.

“Terima kasih, Pak. Akhirnya saya nyobain es goreng!,” sambut saya. Sungguh, saya tak berhenti berterima kasih, sebab senang juga sungkan. Ternyata, disebut es goreng sebab sisi luar es itu bertekstur krispi. Sebelum disajikan pada pembeli, es dicelupkan dulu oleh Pak Gatot ke dalam coklat. Dan entah bagaimana, begitu saja coklat itu segera mengeras.

Setelahnya, saya membeli nasi bakar tongkol seharga Rp8 Ribu, sate usus Rp4 Ribu, dan kue cubit Rp10 ribu. Saya menyantap itu sambil kembali menikmati sajian panggung.

Melihat layar kobar KHFF bekerja

Tak beberapa lama setelah saya kembali duduk, pemutaran film di Layar Kobar dimulai. Hari itu film yang ditayangkan berjudul Hantu Vandal, sebuah film pendek yang disutradarai oleh Imam Syafi’I, mahasiswa S-2 Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Produksi film ini berlangsung di bawah tanggung jawab Pemerintah Kota Yogyakarta.

Menurut hemat saya, tokoh utama dihantui rasa bersalah selepas melakukan vandalisme di sebuah bangunan warisan budaya. Ini memberi amanat kepada penonton untuk tidak melakukan vandalisme. Film pendek itu dikemas secara tegang sebagaimana film horor, membuat keramaian yang menyaksikannya bergidik.

Kurang lebih 15 menit film usai. Selepasnya, terdapat penampilan Sinema Berdansa bertajuk “Pengabdi Setan”. Penampilan ini mengadopsi film legendaris Pengabdi Setan yang muncul pertama kali pada tahun 1980 ke dalam tampilan teater musikal. Memang, malam itu Layar Kobar membawa tema horor. Sudah sedari mula saya bertemu “setan”, dari yang berkeliaran hingga yang jaga tenant.

Dibuka dengan apik, sekelompok penampil Sinema Berdansa membawa kerangka mayat dari arah penonton. Itu membuat penonton sedikit kaos di awal, dan semua berangsur maju untuk dapat menyaksikan pementasan lebih dekat, termasuk saya.

Tampilan teater dikemas dengan sarat komedi. Dialog-dialog yang dilemparkan pemeran mengundang gelak tawa. Saya juga melihat pocong nge-dance dan berlari sambil men-cincing bawahannya. Penonton tertawa meski mereka berdandan seram.

Pemeran-pemeran nonhantu memakai busana lama khas 80-an. Ide konflik yang dibawa, yakni pesugihan, juga mencerminkan situasi masyarakat kala itu dimana mistisisme masih berkelindan kuat di kepercayaan masyarakat.

Inilah yang disebut, bahwa film adalah media perekam warisan budaya (heritage). Warisan budaya tidak boleh disempitkan menjadi hanya warisan benda, namun juga yang tak benda, seperti perilaku masyarakat dan sistem sosial. Film adalah media ideal yang mendokumentasi sekaligus mengawetkan suatu periode kebudayaan dalam masyarakat secara utuh dan telanjang.

Perayaan bersama

Di akhir, selepas lajur cerita pementasan usai, seluruh penampil–berjumlah puluhan–maju ke depan panggung dan menarikan tarian penutup. Tarian yang penuh seronok.

Ketika tengah terhanyut dalam sorak ceria itu, tiba-tiba seorang penampil menghampiri saya, mengulurkan tangannya mengajak saya turut menari meramaikan panggung. Dengan senang hati, saya menerima tangan itu. Saya ikut menari di antara penampil.

Tari penutupan Sinema Berdansa. Shafa berbaju merah muda (Alya/Mojok.co)

Setelahnya, saya ketahui penampil cantik itu bernama Shafa. Ia adalah siswa kelas 1 Sekolah Menengah Kejuruan. Tergabung dalam Rintisan Kelurahan Budaya (RKB) Pandeyan, membuatnya terlibat dalam pementasan ini bersama sepuluh temannya yang lain. Pertunjukan Sinema Berdansa adalah hasil kolaborasi remaja RKB dari 30 wilayah kelurahan Jogja.

Ini bukan kali pertama Shafa terlibat dalam pementasan kota. “Kami persiapan untuk pentas kali ini satu minggu saja, Kak,” ucapnya. Saya takjub bagaimana pemerintah kota, juga anak-anak hebat ini, dapat mempersiapkan pementasan sebegitu sukses dan meriah hanya dalam tempo singkat.

Untuk itu, pasti besar pengaruh kemahiran yang dijahit dari pengalaman demi pengalaman merancang dan melakoni pentas. Hal yang sepertinya, tengah “dididik” dan “dibudayakan” kepada anak-anak Jogja.

Dengan pengalaman ini, juga pengalaman-pengalaman sebelumnya dan yang akan datang dalam mencecap budaya Jogja, saya tahu bahwa mencintai kota ini bukan perihal yang sulit.

Penulis: Alya Putri Agustina

Editor: Hammam Izzuddin

Liputan ini diproduksi oleh mahasiswa Program Kompetisi Kampus Merdeka-Merdeka Belajar Kampus Merdeka (PKKM-MBKM) Unair Surabaya di Mojok periode Juli-September 2024.

BACA JUGA Jogja Jadi Kota Sinema, Upaya Mendidik Selera Penonton di Tengah Gempuran Film Horor dan Perselingkuhan yang Kosong Nilai

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version