Band Lorjhu’ yang kental dengan nuansa Madura berhasil memikat pendengar musik di Indonesia. Bagaimana proyek ini bermula, Badrus Zeman bercerita pada Mojok. Berikut ini kisahnya.
***
Meskipun kerap disebut sebagai orang yang tercerabut dari akar kedaerahan, saya nyatanya mudah terpikat dengan hal-hal berunsur lokal. Saya, misalnya, menyukai nasi padang bukan karena cita rasanya belaka, tapi karena storytelling dari seorang teman yang asli Minang.
Saya juga betah-betah saja mendengar cerita teman tentang betapa digdayanya kebudayaan Jawa. Dan baru-baru ini, saya terkesima ketika mendengar lagu berbahasa Madura.
Lagu-lagu berbahasa Madura yang saya dengarkan itu adalah gubahan Badrus Zeman yang terkenal dengan moniker Lorjhu’. Belakangan, Lorjhu’ berevolusi menjadi band dengan tiga personil: Badrus sebagai gitaris dan vokalis, Insan Negara sebagai basis, dan Gaharaiden Soetansyah sebagai penabuh drum.
Sejak pertama kali berkiprah pada 2020, Lorjhu’ kini memiliki satu album bertajuk Paseser dengan sembilan track yang bisa dinikmati di berbagai platform seperti Spotify dan YouTube.
Melalui YouTube, saya memulai penelusuran saya terhadap lagu-lagu Lorjhu’. “Nemor”, menjadi lagu pertama yang saya dengar dan menikmatinya begitu saja.
Selain “Nemor”, saya juga menyukai “Kembang Koning”. Kedua lagu itu memiliki nada yang relatif padat, cepat, dan catchy bagi pendengar yang tak muluk-muluk seperti telinga saya.
Ketika wawancara, saya belakangan tahu bahwa Lorjhu’ menimba referensinya dari musik populer lokal maupun mancanegara. Alhasil, musik Lorjhu’ bikin saya tak lagi peduli dengan liriknya yang tak saya mengerti.
Di samping itu, teman saya Farisi, desainer yang menyebut dirinya sebagai mantan penyair, berkata bahwa “Kembang Koning” memiliki lirik yang puitis.
Kembang koning
Gegger eanyo’ aing
Aing rajeh
Agulih bungkana tenjang
“Berima itu loh,” imbuh lelaki asal Madura itu setelah menyanyikan satu bait di atas, ketika saya temui Selasa (25/4/2023) malam di kediamannya, Sleman.
Saya tentu tidak percaya dengan klaim Farisi tentang kiprah kepenyairannya. Tapi saya setuju dengan pernyataannya setelah menyimak lirik Lorjhu’ beberapa kali.
Main musik sejak di madrasah
Lorjhu’ pertama kali lahir di tahun 2019 akhir. Saat itu Lorjhu’ belum berupa band, ia masih merupakan proyek musik pribadi Badrus Zeman, seorang filmmaker sekaligus pengajar di Institut Kesenian Jakarta. Kendati demikian, embrio musik dari Lorjhu’ nampaknya bisa dilacak lebih jauh sebelum itu.
Badrus Zeman, misalnya, pernah terlibat dalam salah satu pembuatan lagu La Ngetnik, band etnik eksperimental yang digawangi Rifan Khoridi. Belakangan. Rifan Khoridi juga membantu proses pembuatan lagu Lorjhu’, yaitu “Nemor” dan “Can Macanan”.
Badrus, ketika Mojok wawancara pada Kamis (27/4/2023), juga bercerita bahwa “main-main” musiknya sudah ia mulai sejak belia, ketika masih di Prenduan, Sumenep, Madura.
Ketika mengenyam pendidikan di madrasah tsanawiyah, Badrus menaja proyek musik pertamanya bersama seorang teman dengan nama Duo Gentong.
“Kayaknya itu proyek musik pertama deh, waktu kelas dua tsanawiyah. Kelas tiga terus belajar-belajar main keyboard. Sebelumnya udah pernah main, tapi pas kelas tiga itu belajar lagi,” tutur Badrus ketika saya wawancarai via telepon.
Ketika menginjak madrasah aliyah, Badrus kembali menjajal proyek musik. Kali ini adalah sebuah band pop punk dengan nama yang berganti-ganti: mulai dari Sponge Rock, Red Lizard, hingga Clurit.
“Setelah itu bubar, selain karena merantau kuliah, juga ternyata nama band Clurit sepertinya juga banyak. Mungkin dulu karena sosmed nggak semudah sekarang, di daerah jadi susah buat nyari tahu,” terang Badrus.
Di luar kegiatan bermusik, Badrus juga sempat aktif di Sanggar Rabet, sanggar seni yang berada di Prenduan. Pendek kata, vokalis Lorjhu’ ini punya riwayat karib dengan musik dan beragam bentuk kesenian lainnya sejak kecil. Itu juga yang membuatnya memilih jurusan film di IKJ ketika mendaftar kuliah pada 2009 lalu.
“Karena terpapar banyak bentuk kesenian sejak kecil, pas mau kuliah jadi banyak opsi. Akhirnya milih film karena saya pikir film multidisipliner, selain visual ada audionya juga,” jelas Badrus.
Musik Madura yang riang
Kami lantas berbincang banyak soal darimana kesenangan bermusik Badrus itu datang. Badrus sendiri tak tahu pasti. Namun, kala ia berbicara tentang latar belakang keluarganya, saya akhirnya tahu.
Pada tahun 1980an, keluarga dari pihak ayah Badrus pernah mendirikan grup seni pertunjukan albadar dengan nama Bunga Dahlia. Serupa ludruk, albadar merupakan seni pementasan drama tradisional yang diiringi musik orkes.
“Waktu itu yang mendirikan Mbah. Bapak sama beberapa keluarga yang lain juga ikut,” kata Badrus.
Badrus juga memiliki paman yang merupakan seorang musisi dangdut, bernama Mahmud Yunus. Mahmud Yunus sendiri cukup terkenal di belantika dangdut Madura. Beberapa lagunya dapat ditemukan di YouTube. Salah satunya, “Salanduten” yang ditonton 33 ribu kali di YouTube.
Badrus barangkali tak pernah melihat langsung pentas Bunga Dahlia atau konser pamannya. Namun, cerita perihal keluarganya berikut pergulatannya dengan musik masih mengendap baik di kalangan keluarga Badrus.
Secara umum, musik Madura juga memiliki khazanah musik yang kaya. Yang umum publik ketahui, Madura erat kaitannya dengan musik dangdut, gambus, dan India.
Di luar ketiga genre itu juga ada genre lain seperti rock Madura. Salah satunya, yang juga Badrus gemari, adalah Saltis—sebuah band rock asal Sumenep.
Kendati demikian, Lorjhu’ tak begitu saja mengikuti arus. Badrus, Iden dan Insan nampaknya ingin membuat pola musik sendiri. Dalam obrolan kami, Badrus mengaku banyak terinspirasi dari musik-musik populer mancanegara seperti musik Afrika, Timur Tengah, dan lain sebagainya.
Para personil Lorjhu’ itu juga sama-sama memiliki kegemaran dengan musik metal.
Alhasil, referensi musik mancanegara tersebut lantas berpadu dengan “warna dasar” musik Madura. Warna dasar tersebut, menurut Badrus, adalah penggunaan tangga nada major atau slendro yang dominan, cenderung riang dan padat.
“Sepengetahuan saya musik Madura riang, jarang ada yang sedih. Kalaupun sedih, dia tetap cepat,” terang Badrus.
Lirik yang relate
Meskipun menciptakan pola baru dalam belantika musik Madura, Lorjhu’ tetap mendapatkan simpati dari pendengar sedaerahnya. Salah satunya Farisi.
Tak lama setelah Lorjhu’ mengorbitkan Special Live Session di YouTube pada Jumat (28/4/2023) lalu, Farisi langsung mengirimkan tautan videonya ke saya melalui pesan WhatsApp. Farisi begitu antusias mendengarkan Lorjhu’ yang kini hadir sebagai format band.
Dalam live session itu, para personil Lorjhu’ dengan kostum sarung dan songkok secara enerjik memainkan tiga lagu dari album Paseser. Di tengah, mereka menyelipkan satu lagu baru berjudul “Jhajhan No’mano’an”.
No’manu’an sendiri, menurut penuturan Farisi, merupakan jajanan khas anak-anak di Madura. Seiring perkembangannya, ia menjadi serupa sampiran dalam pantun. Ia kerap dilantunkan dalam kejung dengan variasi isi yang beragam.
“Basicnya itu lantunan anak-anak kecil kalau main,” jelas Badrus secara terpisah melalui pesan WhatsApp.
Tak hanya “Jhajhan No’mano’an”, Farisi juga merasa bernostalgia ketika mendengar lagu-lagu Lorjhu’ yang lain. Misalnya saja, lagu “Nemor”. Lagu tersebut menceritakan bagaimana musim kemarau menjadi keberkahan buat banyak orang di Madura, nelayan, peternak, petani tembakau, dan garam.
Ketika saya wawancara, Badrus mengatakan lagu tersebut berdasarkan pengalamannya di Prenduan, tak mewakili Madura sepenuhnya. Badrus pun menyatakan itu berulang-ulang di wawancara lainnya.
Namun nyatanya, Farisi yang berasal Desa Jadung, 50 kilometer di timur Prenduan, merasa relate dengan pengalaman Badrus. Farisi menuturkan, “Nemor” juga menjadi berkah bagi daerahnya yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan, petani garam, dan beberapa petani tembakau.
Ada pula lagu “Can Macanan”, yang mengilustrasikan barong macan yang karib dengan masyarakat Madura. Buat Farisi, can-macanan merupakan kenangan masa kecil. Diiringi tong-tong—jenis musik Sumenep yang dimainkan dengan berbagai alat tetabuhan berbahan bambu—barong macan selalu hadir menjelang sahur.
“Aku sebagai pelaku juga dulu, musisi tong-tong. Itu biasa buat bangunin sahur. Ditambah, karena di rumah minim hiburan, akhirnya itu kami jadikan hiburan,” kenang Farisi.
Memikat pendengar
Demikianlah Lorjhu’. Dengan lirik berbahasa Madura dan kostum khasnya berupa songkok dan sarung, mereka mengikat pendengarnya yang berasal dari Madura. Di sisi lain pendengar non-Madura menikmati aransemennya yang terinspirasi oleh berbagai kultur musik.
Lorjhu’ barangkali akan mengejutkan pendengarnya (lagi) ke depan, salah satunya dengan perilisan album barunya Parenduan.
“Karena sekarang Lorjhu’ sudah jadi band, jadi banyak yang terlibat dalam prosesnya. Iden dan Insan juga ikut eksplorasi dan memberi warna,” tutur Badrus. “Penyusunan tracknya juga sudah terkonsep, konsepnya seperti apa belum bisa saya bocorkan.”
Intensitas manggung Lorjhu’ pun nampaknya akan meningkat dalam waktu dekat. Salah satu yang terdekat, Lorjhu’ akan bermain di Cherrypop Festival pada Agustus 2023.
Penulis: Sidratul Muntaha
Editor: Purnawan Setyo Adi