Kalatidha bukan sekadar album. Ia seperti kumpulan syair pujangga lama yang di dalamnya penuh pesan moral, sosial, dan politik. Bedanya, Kalatidha dibawakan dalam kemasan cadas oleh Down For Life.
***
Band death-metal asal Solo, Down for Life, merilis album baru berjudul Kalatidha (2025). Album yang diproduksi oleh label rekaman Blackandje Records ini merupakan album penuh pertama mereka sejak 12 tahun lalu.
Terakhir kali Down For Life merilis album penuh pada 2013 lalu, bertajuk Himne Perang Akhir Pekan, yang dirilis enam tahun setelah Simponi Kebisingan Babi Neraka (2007). Sementara pada 2017 lalu, mereka merilis mini album (EP) bertajuk Menantang Langit yang diproduksi demajors Records.
Kalatidha sendiri secara harafiah memiliki arti “zaman edan” atau “zaman kegilaan”. Kata ini pertama kali muncul dalam Serat Kalatidha, karya sastra pujangga lawas Ranggawarsita yang ditulis pada 1860.
Oleh Ranggawarsita, Kalatidha berbentuk tembang macapat (lagu Jawa lawas). Berisi syair 12 bait yang seluruhnya ditulis dalam aksara Jawa.
Sementara oleh Down For Life, Kalatidha dibawakan secara cadas, sesuai karakter band ini, ke dalam 10 lagu. Antara lain “Buko Gunungan” (sebuah intro, oleh Ari Wvlv dan Gayam 16), “Kalatidha” (dibantu oleh Eko Warsito), “Mantra Bentala”, “Children of Eden, “Apokaliptika”, “The Betrayal” (dibantu oleh Bernice Nikki), “Prahara Jenggala”, “Sangkakala I”, “Sangkakala II”, dan “Sambernyawa” (dibantu oleh Ultras 1923).
Album yang sarat kritik sosial dan politik
Vokalis Down for Life, Stephanus Adjie, mengatakan album Kalatidha bagaikan perjalanan spiritual bagi mereka. Album ini, sekaligus menandai perjalanan bermusik mereka selama 25 tahun yang selalu konsisten membuat lagu-lagu penuh kritik sosial dan politik.
“Memaknai budaya dan spiritual Jawa tentang periode waktu kehidupan. Era di mana tatanan budi pekerti, etika, dan moral tidak lagi dianggap penting. Hal baik-buruk, benar-salah, semua dikesampingkan atas dasar nafsu keserakahan dan kekuasaan duniawi,” kata Adjie, mendeskripsikan makna albumnya, dalam keterangan tertulis kepada Mojok, Minggu (8/6/2025).
Sebagaimana ciri khas lagu-lagu Down for Life sebelumnya, di album Kalatidha ini pula, mereka masih bercerita tentang masalah sosial, politik, lingkungan, bahkan menyinggung soal sepak bola.
Misalnya, dalam lagu berjudul “Children of Eden”, Down For Life bercerita tentang anak-anak berkebutuhan khusus. Dalam beberapa kali konser, Adjie kerap menjelaskan bahwa lagu ini terinspirasi dari kisah orang terdekatnya.
Tak cuma itu, Down For Life juga menyinggung kerusakan alam yang dilakukan korporasi atas nama keuntungan ekonomi semata. Protes dilantunkan para personel dalam rilisan lagu berjudul “Prahara Jenggala”.
Sebelumnya, secara khusus Mojok pernah menuliskan ulasan tentang lagu ini dalam artikel “Prahara Jenggala”: Ikhtiar Down For Life Suarakan Perjuangan Masyarakat Dayak Melawan Penghancuran Hutan”. Lagu ini secara gamblang menampilkan perlawanan masyarakat adat di Kalimantan akibat tersingkir oleh proyek strategis dan eksploitasi alam.
Sementara dalam track “Sambernyawa”, begundal Kota Bengawan ini mendedikasikannya untuk suporter Persis Solo. Kata Adjie, “Sambernyawa” menjadi anthem penyemangat bagi klub sepak bola kebanggaan kota asal mereka.

Proses panjang selama 6 tahun, melibatkan produser yang menggarap album Lamb of God
Nyatanya, membutuhkan proses yang amat panjang sebelum Kalatidha bisa dinikmati pecinta musik Tanah Air. Adjie bercerita, proses penggarapan album ini tidak mudah. Sebab, ia digarap di tengah jadwal manggung yang padat dan kesibukan masing-masing personel.
“Ditambah saat proses rekaman, juga terjadi pandemi di Indonesia,” kata Adjie.
Menurut Adjie, diperlukan waktu hingga enam tahun untuk akhirnya berhasil mengemas 10 komposisi musik yang keras, berat, dan gelap ke dalam satu album.
Ia mengatakan, sebagian besar materi Kalatidha direkam di Studio Darktones, Jakarta Timur, di bawah arahan produser Adria Sarvianto, yang juga mengerjakan mixing di Studio Darling di Jakarta. Sementara sebagian lagi dikerjakan di Studio Kua Etnika Yogyakarta, Studio Krisna Siregar Music, dan Studio Nocturnal Blazze di Jakarta Selatan, dan Studio Winsome di Solo.
Adapun proses akhir atau mastering melibatkan produsen asal Amerika, Machine atau bernama asli Gene Freeman. Machine adalah produser yang juga menggarap album band metal/rock kenamaan dari Negeri Paman Sam seperti Lamb Of God, Clutch, hingga Suicide Silence.
Kalatidha sudah bisa dinikmati sejak akhir Mei 2025
Down for Life saat ini beranggotakan delapan personel yaitu Stephanus Adjie (vokal), Rio Baskara (gitar), Isa Mahendrajati (gitar), Ahmad Ashar “Jojo” Hanafi (bass), Mattheus Aditirtono (bass), Muhammad Abdul Latief (drum), Adria Sarvianto (sequencer) dan Muhammad Firman “Bolie” Prasetyo (sequencer).
Sedangkan di beberapa panggung sering juga dibantu drummer Alvin Eka Putra (Noxa, Bongabonga, Dead Pits) dan Rangga Yudhistira (Hands Upon Salvation).
Album Kalatidha sudah bisa dinikmati pecinta musik Tanah Air sejak Sabtu (31/5/2025) dalam bentuk CD dan vinyl.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Pengalamanku Bertemu Jemaah Blekmetaliyah di Rock In Solo 2023 atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.