Banyak dawet ayu dengan rasa enak yang bisa ditemui di Banjarnegara, tempat minuman ini berasal. Namun jika ingin mencipi yang tertua masih eksis, warung Dawet Ayu Hj Munarjo adalah tempat yang harus dikunjungi.
***
Dawet ayu ini telah dirawat oleh tiga generasi. Diawali dari pasangan Munarjo dan Marfungah, lalu diteruskan anak kedua mereka yakni Siti Hamdiyah, dan kini mulai dikelola anak dari Hamdiyah. Tiga generasi merawat minuman yang telah jadi identitas kota kecil di Jawa Tengah ini.
Saat tiba di depan kiosnya, nampak jelas tulisan “Dari 1945”, sebuah penegasan akan usia tua penanda tempat legendaris. Namun, perjalanan mengolah dawet dari pendiri warung ini dimulai beberapa tahun sebelum itu.
Masuk ke dalam warung saya disambut Muakhor (50), pegawai warung ini. Saya langsung memesan segelas dawet ayu toping durian seharga sepuluh ribu rupiah. Tak butuh waktu lama sampai pesanan saya datang, saya cicipi sembari mengamati sudut-sudut warung ini.
Tak berselang lama sebuah motor bebek merapat di parkiran. Dua orang turun dan memesan sepuluh porsi dawet ayu. Keduanya duduk di meja sebelah saya, berbincang, seorang diantaranya bertutur dengan logat yang tak terdengar seperti warga setempat. Tak ada dialek ngapak yang terdengar dari lidahnya.
Saya bertanya pada seorang di antara mereka berdua. Namanya Zaki (23), ia orang asli Banjarnegara yang sedang menemani saudaranya dari Bogor yang sedang berkunjung ke rumah. Zaki mengaku jarang menikmati dawet, namun jika ada sanak saudara yang datang dari luar kota, ia akan mengajaknya mencicipi minuman khas daerahnya ini.
“Setiap ada saudara datang, ya saya ajak ke sini. Kan memang dengar-dengar ini yang paling asli,” ujarnya merujuk pada dawet ayu Hj Munarjo.
Setelah pesanan siap, keduanya langsung cabut dari tempat ini. Tak terasa segelas dawet di hadapan saya juga sudah tandas menyisakan sedikit gula kelapa di dasarnya. Saya memesan segelas lagi, kali ini dawet original tanpa tambahan toping seharga tujuh ribu.
Sambil menyiapkan dawet pesanan saya, Muakhor bercerita bahwa banyak pelanggan yang datang ke tempat ini berasal dari luar kota. Mereka kerap penasaran dengan dawet yang disebut paling legendaris di Banjarnegara.
Dalam sehari, pria yang sudah sepuluh tahun bekerja menyiapkan dawet bagi para pelanggan ini rata-rata membuat seratus gelas pesanan. Itu di hari kerja, saat akhir pekan atau musim liburan jumlah yang ia buat tentu lebih banyak dari biasanya.
“Ya itu tadi mas, karena kalau lagi musim liburan dan banyak pendatang dari luar kota, pasti banyak yang ke sini,” ujarnya.
Tahun 2019 lalu, dawet ayu Hj Munarjo dijadikan peringkat pertama dari Top 10 Kuliner Banjarnegara versi Pesona Indonesia Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Selain karena aspek sejarahnya, hal penting yang membuat warung ini bertahan adalah bagaimana mereka terus berupaya mempertahankan kualitas.
Ada beberapa hal yang menurut Muakhor terus dilakukan demi menjaga konsistensi minuman bersantan ini dari masa ke masa. Mulai dari gulanya yang diambil langsung dari petani di desa, dawetnya yang dibuat dari pandan asli tanpa pewarna, hingga santannya yang tak pernah disimpan lama-lama.
“Untuk gula kelapanya kami ambil dari desa, namanya desa Kebutuh, Mas,” jelasnya.
Mengenai pewarna dawet, Muakhor berujar bahwa warna yang dihasilkan dari pandan asli memang tak seterang pewarna buatan. Namun hal itulah yang membuat rasanya terjaga sekaligus harum aromanya.
Santan yang jadi bahan penting dalam pembuatan dawet ayu juga jadi aspek yang harus dijaga. Jadi, tak pernah santan ditahan lama-lama. “Jika sudah empat lima jam, biasanya sudah nggak dipakai lagi. Makanya kita peras santannya sedikit demi sedikit,” tambahnya.
Sejarah panjang yang bermula sejak 1938
Upaya untuk menjaga warisan rasa yang sudah berpuluh tahun ini terus dirawat oleh anak dan keturunan pendirinya. Sepasang suami istri yang kini sudah meninggal dunia, namun namanya masih terus dikenang selama warung ini berdiri.
Pak Munardjo telah tutup usia pada tahun 1991. Istrinya Marfungah, yang lebih dikenal dengan Hj Munarjo bersama anaknya melanjutkan apa yang telah dirintis suaminya sejak muda. Namun pada 14 Februari 2022, di usia 94 tahun ia tutup usia.
Untuk menggali cerita lebih dalam mengenai sejarah, saya menghubungi Reza (27) sebagai cucu pendiri yang kini mengelola operasional warung ini. Ia tak ada saat saya berkunjung menikmati dawet.
Setelah menjawab pesan saya, ia merekomendasikan untuk berkunjung langsung ke rumah dan berbincang dengan ibunya, Siti Hamdiyah (56). Munarjo dan Marfungah memiliki dua anak, Hamdiyah merupakan anak kedua yang dipasrahi untuk mengurus bisnis dawet ini.
Sedangkan kakaknya, Siti Hafshah (65) dulunya merupakan PNS sehingga tak bisa fokus membantu bisnis keluarga. Kakaknya memiki usaha sampingan bakso sederhana yang juga menyatu di ruko Dawet Ayu Hj Munarjo.
Di rumah yang terletak di Kelurahan Rejasa, Kecamatan Madukara, Banjarnegara, Hamdiyah menceritakan bahwa dawet ini dirintis sebelum tahun Indonesia merdeka. Tak seperti tulisan yang tertera di warungnya.
Tahun 1938, saat usianya masih 15 tahun, Munarjo muda sudah mulai berjualan dawet secara berkeliling dari desa ke desa. Di desa Rejasa, minuman dawet khas Banjarnegara berawal.
Salah satu ciri khas yang dibawakan Munarjo saat berkeliling menggunakan pikulan adalah suara tuktuktuk. Suara yang berasal dari gelas dipukul ke kayu. “Kayu itu biasa disebut dhulang atau penutup wadah dawet,” jelas Hamdiyah.
“Dari cerita yang saya dapat, dulu saat bapak awal berjualan sudah ada beberapa keluarga yang berjualan dawet di Rejasa. Jadi desa ini merupakan awal sejarah dawet di Banjarnegara,” lanjutnya.
Beberapa tahun berjualan, Munarjo muda merasakan dampak pendudukan Jepang di Indonesia. Ia yang awalnya tinggal di Rejasa yang tak jauh dari pusat kota Banjarnegara harus pindah sementara ke kecamatan Wanadadi.
Menurut catatan sejarah, pada masa itu memang banyak pemuda di kecamatan asal Munarjo dikirim Jepang untuk menjadi tenaga kerja kasar untuk keperluan pembangunan di daerah-daerah pendudukan. Tak hanya di Indonesia, tapi juga dikirim ke beberapa negara Asia Tenggara. Munarjo tak ingin ambil bagian dalam hal itu.
Namun karena mengungsi itu, Munarjo justru bertemu dengan wanita yang kelak menemaninya berjualan dawet selama puluhan tahun. “Saat di Wanadadi, bapak bertemu dengan Marfungah, yang jadi istrinya, ibu saya,” ucapnya.
Setelah masa pendudukan jepang mereda, Munarjo kembali berjualan dawet. Lima tahun kemudian, pada 1950, ia lantas mempersunting Marfungah.
Munarjo masih berjualan dawet secara berkiling setidaknya hingga tahun ‘70-an. Hingga akhirnya ia memilih mangkal di satu tempat pusat kota Banjarnegara. Namun, saat itu ia belum menyewa ruko seperti sekarang.
Sepuluh tahun setelah mangkal dengan gerobak pikulnya, Munarjo baru berani menyewa ruko. Sempat berpindah ruko beberapa kali hingga akhirnya menetap di tempat yang bertahan hingga saat ini.
“Ruko yang sekarang itu mulai disewa sejak tahun 1985. Sejak harga sewanya 250 ribu hingga sekarang 20 juta pertahun,” kenangnya.
Di ruko ini, Munarjo juga mulai lebih banyak menyerahkan urusan operasional warung kepada sang istri. Pria itu lebih banyak di rumah untuk mempersiapkan bahan-bahan untuk memasok persediaan dawet di warung.
Selain itu, sebutan dawet ayu mulai melekat beberapa saat setelah dawet legendaris ini menetap di satu tempat. Alkisah ada grup lawak Peang-Penjol yang berkunjung warung Munarjo. Secara spontan, mereka menamai warung ini sebagai “dawet ayu”. Alasannya sederhana, karena yang berjualan ibu-ibu, jadi disebut ayu.
“Itu yang saya dapat dari cerita orang tua. Banyak juga yang menyebut versi lain, bahkan tidak terima kalau warung ini disebut sebagai dawet ayu ‘asli’ atau yang pertama. Itu bebas saja,” ujar Hamdiyah.
Sebutan dawet ayu juga menjadi populer karena kehadiran lagu daerah tentangnya. Lagu itu juga dipopulerkan oleh grup lawak Peang-Penjol dari Banyumas yang disebut memberi julukan pada dawet milik Munarjo tadi.
Lagu yang hampir pasti diajarkan di setiap sekolah dasar di Banjarnegara. Saya ingat betul lirik yang dihafalkan saat masih usia belia. “Dawet ayu, dawete Banjarnegara,” begitulah salah satu penggalan liriknya.
Menolak hak paten demi membuka pintu rezeki orang banyak
Kepopuleran itu lantas membuat warung dawet milik Munarjo terkenal. Banyak yang memberi saran agar pemiliknya segera mematenkan nama dawet ayu. Termasuk dari saudara-suadaranya. Cara agar nama besar itu lebih eksklusif melekat pada dagangan milik Munarjo.
Namun saat itu, Pak Munarjo tak memiliki pandangan serupa dengan orang-orang yang memberikan saran padanya dan keluarga. Ia menolak keras usulan untuk mematenkan nama dawet ayu.
“Bapak bilang kalau semua orang butuh rezeki, kalau nama dawet ayu dipantenkan jadi nutup peluang usaha banyak orang kecil,” ujar Hamdiyah, mengingat pesan mendiang Pak Munarjo.
Jika nama itu dipatenkan, nama dawet ayu tak bisa tersemat di gerobak-gerobak pedagang asal Banjarnegara yang bisa ditemui hampir di seluruh daerah Indonesia. “Paling nanti bisanya pakai nama ‘dawet’ begitu saja Mas,” tambah Hamdiyah.
Membagi resep, malah membuat usaha awet
Dikenal sebagai pelopor dawet ayu juga membuat rumah Munarjo kerap didatangi orang yang hendak memulai usaha minuman ini. Sang pemilik pun terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar membuat dawet. Bahkan memberikan contoh resep dan proses pembuatan yang sama persis seperti standar dawet ayu milik mereka.
“Nggak ada rahasia-rahasia Mas. Ilmu memang harus dibagikan, begitu pesan orang tua saya,” tegas wanita yang sempat bekerja sebagai pegawai bank ini.
Bagi Hamdiyah, mungkin dengan cara berbagi inilah, usaha turun temurun dari orang tuanya dapat bertahan hingga sekarang. Meski belakangan, sudah banyak penjual dawet lain yang berkembang dan menjadi lebih besar dari milik mereka.
Sejak dahulu, keluarga ini juga berprinsip tak ingin membuka cabang. Selain urusan tenaga, mereka juga sudah merasa cukup dengan satu warung yang bisa menjadi sumber penghidupan ini.
Pasang surut telah dilalui oleh usaha milik keluarga Munarjo ini. Sebelum terhantam pandemi, sudah ada satu momen yang cukup menurunkan omzet jualan Dawet Ayu Hj Munarjo.
Hal itu terjadi sepuluhan tahun lalu. Saat terminal induk Banjarnegara dipindahkan dari lokasi sebelumnya yang terletak di Jalan Dipayuda yang hanya berjarak tak sampai seratus meter dari lokasi warung ini berdiri.
Dawet ayu yang jadi ikon Banjarnegara membuat hilir mudik manusia di terminal kerap singgah di warung Munarjo. Kepindahannya lantas membuat warung ini tak seramai sebelumnya.
“Dulu sehari kalau ramai itu bisa ngantongi 5-6 juta. Kalau lagi biasa ya uang segitu bisa didapat dalam tiga empat hari,” kenangnya.
Namun setelah itu, omzet rata-ratanya menurun hingga setengahnya. Jika dulu saat ramai atau hari libur warung ini butuh enam orang karyawan untuk melayani ramai pelanggan, kini jika ramai pun sudah cukup dengan tiga orang saja.
Apalagi setelah pandemi melanda, Hamdiyah mengaku pernah sehari hanya dapat lima puluh ribu saja. Namun hal itu tak jadi penyurut niatnya untuk terus mempertahankan warung ini dan mewariskan ke anak serta keturunannya.
“Orang sini (Banjarnegara) itu mikirnya dawet sudah biasa, padahal jarang minum juga. Masnya juga gitu kan,” ujarnya, tertawa pada saya.
Dawet ayu milik keluarga Munarjo terus mempertahankan cita rasa sejak awal pendiriannya. Kuliner kebanggaan kota gilar-gilar Banjarnegara yang tahun 2020 lalu dinobatkan sebagai minuman tradisional paling paling populer di Indonesia.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono