Ruangbaca, Pasangan Suami Istri yang Bernyanyi untuk Literasi

Pasangan Suami Istri yang Ruangbaca, Bernyanyi untuk Literasi

Bagi pasangan suami istri, Ale dan Viny, Ruangbaca bukan hanya grup musik. Namun adalah sebuah ruang untuk membaca diri sendiri, saling membaca satu sama lain, hingga membaca sistem yang lebih besar lagi. 

Sudah enam tahun ini, mereka Bernyanyi di Ruangbaca di beberapa penjuru Indonesia, khususnya Sulawesi Selatan. Dimulai dari Kota Makassar. Kelompok musik pasangan pustakawan dalam lirik-liriknya banyak menyinggung ihwal keluarga dan pustaka. Mereka mengampanyekan ruang perpustakaan sebagai ruang kolaborasi.

***

Fahim Ahimsa, laki-laki yang belum genap dua tahun. Anak pertama pasangan suami istri, Saleh Hariwibowo alias Ale dan Viny Mamonto alias Viny, para personel Ruangbaca. Fahim diboyong orang tuanya ketika bertemu dengan Mojok pertengahan Oktober 2021. Aim mungkin belum sadar, ia terlahir dari orang tua yang paripurna—menurut saya. Kelahiran Aim pada April tahun lalu, dirangkum dalam lagu berjudul “Seorang yang Kelak”

Di dalam tubuhmu

Seorang yang kelak kita beri nama

Dari kata-kata yang menjelma doa

Yang dipanjatkan setiap sapa

 

Di dalam dirimu 

Seorang yang kelak kita beri rasa

Dari pahit dan manisnya rencana

Yang diramu bersama-sama

 

Di dalam jiwamu

Seorang yang kelak kita beri makna

Dari cinta dan kearifan manusia

Yang diajarkan oleh masa

Ruangbaca – Seorang yang Kelak

Demikian sepenggal lirik lagu “Seorang yang Kelak” dari dua pop—folk Ruangbaca. Bagi, mereka anak bukanlah seseorang yang hanya akan selalu diberi, namun juga akan selalu memberi.

Mata bulat, Aim sedikit lelah. Kepalanya bertengger di bahu kanan ibunya, Viny. Rengekan khas balita mulai muncul. Ale mengambil putranya, lalu melenggang keluar dari kedai. 

“Sorry yah, Ale lagi yang jaga anak. Kami bergantian,” ucap Viny kepada Mojok saat berbincang di SIKU Ruang Jalan Bontotangnga, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Pasangan suami istri Ale dan Viny. Instagram @ruangbaca_

Viny dan Ale menikah pada April 2018. Menyempurnakan kisah mereka yang dimulai dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin (UNHAS). Ale kuliah di Jurusan Antropologi, sedang Viny, Ilmu Komunikasi. Sama-sama masuk tahun 2011.

Viny berjumpa di Himpunan Jurusan Ale. Ia, termasuk penggemar dari band yang digawangi Ale—Laburane. Wanita asal Kotamobagu, Sulawesi Utara itu kerap menonton pertunjukan Laburane di UNHAS, dimana Ale berposisi sebagai gitaris. 

Pertemuan berlanjut ketika keduanya aktif di Active Society Institute (AcSI) Makassar, lembaga nirlaba, independen dan nonpartisan yang berfokus pada pendampingan hukum pada masyarakat urban. “Waktu itu AcSI mendampingi pedagang Pasar Terong Makassar untuk mengadvokasi pembangunan dan relokasi mereka,” ungkap Viny.

AcSI adalah bagian dari payung komunitas Ininnawa yang juga menaungi organisasi lain seperti Penerbit Ininnawa, Sekolah Rakyat Petani (SRP) Payo-Payo, Tanete Institute (Tani). Organisasi yang berfokus pada sosial kemasyarakatan menggunakan pendekatan yang lebih soft dan mudah mengena kalangan muda, salah satunya dengan riset. 

Merasa riset-riset kurang begitu efektif untuk menggaet anak muda. Aktivis AcSI, lalu membuat program kerja dengan nama Katakerja yang diharapkan dapat menyalurkan hasil riset dan mengajak kalangan muda berpartisipasi, tertarik melakukan riset. Ini semacam gerakan literasi, mengenalkan membaca lewat medium sederhana.

Namun Viny percaya bahwa transformasi sosial ada yang memerlukan gerakan cepat dan lambat. “Dan literasi itu sebenarnya gerakan yang terbilang lambat, gerakan yang sulit diukur; bagaimana sih masyarakat terliterasi, bagaimana upaya-upaya literasi itu kemudian menjangkau orang-orang secara personal,” katanya.

“Karena kan ujung-ujung gerakan literasi itu adalah pemahaman. Dan pemahaman itu tidak bisa diukur, mungkin seperti cerdas cermat, akhirnya pemahaman muaranya adalah perilaku, pengambilan kebijakan dalam hidup dan itulah yang kami sadari sebagai ruang baca,” sambung wanita 28 tahun itu.

Katakerja yang semula adalah program kerja dari AcSI, memisahkan diri. Menjadi perpustakaan berbasis komunitas. Tahun 2017 Katakerja berubah menjadi perpustakaan komunitas yang dikelola pegiat literasi yang juga aktif di AcSI. Lokasi pertamanya di BTN Wassabbe Blok C/64 Kecamatan Tamalanrea, Makassar. Kini pindah di Jalan Kajenjeng Dalam III No 8 Perumnas Antang, Kecamatan Manggala, Makassar.

Buku-buku di sana didapat dari para anggota Katakerja dan beberapa perpustakaan komunitas lain di Makassar. Salah satunya Biblioholic, perpustakaan milik penyair-penulis Aan Mansyur, Ia jugalah yang jadi salah satu tokoh dalam pembentukan komunitas Ininnawa sampai Katakerja.

“Katakerja itu sebenarnya ruang kreatif yang tarik banyak orang, pas orang datang kita menyisipkan isu-isu, hasil riset yang dikaji oleh AcSI. Karena saat itu dianggap dunia penelitian berat sekali untuk disukai banyak orang, kita pakai dunia kreatif. Dibuatlah Katakerja; ruang yang banyak buku-bukunya dan membuat kegiatan kreatif,” jelas Ale. 

Pada 2015 Ale dan Viny memulai proyek Ruangbaca. Mengusung misi mengajak orang-orang berkolaborasi di Katakerja, mendiskusikan tentang banyak hal dan membikin kegiatan sosial, khususnya literasi. Memanfaatkan riuh genderang sosial media untuk mempromosikan dua folk indie pustakawan Katakerja ini. 

“Kita mau mencoba sesuatu yang lain. Kita ingin ada ruang kolaborasi dengan spirit media sosial yang lagi gencar-gencarnya saat itu. Kami pikir ide-ide itu tersekat, karena tidak adanya ruang bertemu. Literasi kan tidak hanya soal baca tulis buku. Literasi lebih besar, lagi: ada literasi besar budaya, ekonomi, digital, dan itu yang selalu coba Ruangbaca gali,” ujar Viny.

“Jadi sebenarnya Ruangbaca adalah ruang membaca diri sendiri dan juga ruang kami saling membaca. Walaupun kami punya dampak ke orang lain.” 

Ruang kembangkan ide, inovasi, kreativitas dalam berkarya dan berkreasi

Hingga enam tahun Ruangbaca berkiprah. Sudah 12 lagu dan satu album tercipta. Semangat kampanye ruang kolaborasi yang diusung Viny dan Ale adalah salah satu upaya kecil untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih baik. Ruangbaca baca percaya segala karya paling penting membuat ruang manusia dan kemanusiaan. Ide-ide bermunculan pada interaksi insan.

Album perdana Ruangbaca bertajuk Belantara Kata yang dirilis Februari 2019 adalah pemaknaan kehidupan — alam raya. Lagu-lagu di dalam album tersebut lahir dari hasil bacaan, diskusi dan obrolan. Karya-karya Ale dan Viny bisa dinikmati di Soundcluod, Spotify, YouTube dan platform musik lainnya. Tema lagu mereka beragam mulai dari sosial, ekonomi, psikologi, budaya dan politik. 

Lagu pertama berjudul Di Balik Jendela tercipta hasil diskusi sebuah tulisan Aan Mansyur soal jendela. “Bahwa jendela itu bukan hanya sekadar interior. Tetapi jendela adalah gerbang untuk diri kita melihat keluar ke diri orang lain, dan sebaliknya orang bisa lihat diri kita. Jendela juga ruang kecil untuk kita melihat realitas,” kata Viny. 

Ruangbaca, menurut Viny dan Ale menjadi wadah untuk mengambil keputusan, musik dianggap jadi jembatan mutakhir guna merumuskan ide lalu membikin karya-karya. “Terkadang kami berdiskusi ingin membuat film. Kami tidak membatasi diri di satu medium, karena yang penting adalah apa yang ingin disampaikan,” tutur Viny. 

Ketika manggung keduanya merupakan vokalis. Ale diplot menjadi gitaris sedang Viny memainkan pianika. Ale punya kekhasan dengan Bucket Hat — topi ember dengan pinggiran lebar dan landai. Viny dengan jilbabnya. Saya mengikuti penampilan mereka di panggung-panggung lokal Makassar. Pertama kali melihatnya di acara Makassar International Writers Festival (MIWF) — ajang tahunan literasi, musik dan kebudayaan, yang kala itu dilaksanakan di Benteng Rotterdam. Saya takjub. 

Pasutri yang menginspirasi tapi tak percaya diri

Selama perjalanan karir Ruangbaca. Mereka mengaku tak percaya diri dengan gerakan yang dibuatnya. “Jangan sampai kita yang ajak orang ke perpustakaan, tapi ternyata kitanya yang jarang baca. Kami melangkah sambil tidak percaya diri, tapi jalani saja,” kata Viny. 

Viny sudah empat periode mengurus perpustakaan Katakerja, kerap kali jika ada pengunjung yang datang selalu mengaku tahu perpustakaan itu dari kampanye Ruangbaca. 

Tapi di beberapa kegiatan yang mengundang mereka, diakui Viny belum ada yang benar-benar mengajaknya berkolaborasi mengampanyekan literasi. “Sebenarnya sejauh ini belum ada panitia yang benar-benar bilang ‘eh ayo kampanyekan literasi di event kami’. Secara ini, sebenarnya Ruangbaca dilihat sebagai performan yang mengisi waktu di kegiatan itu,” tuturnya. 

Tetapi Viny bilang beberapa komunitas meminta Ruangbaca terlibat diskusi konsep acara dan jadi panitia. “Nanti sekalian tampil juga di sana,” ujarnya.

“Tetapi yang ketika datang adalah brand dan sebagainya. Ruangbaca itu benar-benar dilihat sebagai proyek musik suami-istri atau pasangan. Jadi kampanye literasinya itu adalah poin ketika kami tampil dan ajak orang untuk ke perpustakaan. Jadi bukan alasan (kampanye literasi) untuk panitia ajak kami.”

Pengalaman tampil di MIWF kata Viny jadi pengalaman yang tak bisa dilupakan. Kala itu hubungan ia dan Ale tengah diterpa badai. “Buat saya ini yang langsung menandakan hubungan personal dan personel (Ruangbaca) itu kuat. Sebelum tampil di sana, kami berantem, kan pacaran. Kayak ada masalah saat itu, tapi lima menit kami harus tampil. Tapi pas di atas panggung tidak terjadi apa-apa. Turun baku diam-diam lagi,” paparnya.

Bagi Ale, Viny bukan hanya istri, tapi rekan kerja, kawan, teman diskusi dan ibu untuk anak-anaknya. “Kalau mau dibilang hubunganku dengan Viny itu berlapis. Kami sama-sama di AcSI, Katakerja, kami suami-istri, kami juga personel di Ruangbaca, kami juga punya hubungan di Kapal Udara, dia manajerku. Sama-sama menyiar juga jadi teman kerjaku,” tutur Ale. 

Viny dan Ale juga jadi penyiar di salah satu Radio ternama di Makassar, I-Radio. 

Memahami dunia dan negara lewat literasi

Viny dan Ale masih belum mau dianggap pejuang literasi. Kata Ale, Ruangbaca adalah followers, untuk komunitas yang ingin mengkampanyekan gerakan sosial-literasi. Selain itu mereka selalu mendukung komunitas dengan isu-isu lainnya seperti aktivis lingkungan, dan Hak Asasi Manusia.

Menurut Ale, gerakan literasi bukan hanya tulisan dan buku. “Tapi bagaimana memahami dunia, melihat dunia dengan runut dengan cari sebab akibatnya. Musik juga masuk di wilayah literasi itu.”

Ruangbaca tengah merampungkan album kedua dengan tema lebih keluarga. Setelah berkeluarga Ale dan Viny pada saat berkeluarga bisa membincangkan hal-hal baru. “Sehingga apa yang kita baca tidak hanya tinggal di kepala tapi bisa jadi perbuatan, dan pertimbangan dalam mengambil keputusan, jadi rencana,” ucapnya wanita beralis tipis ini.

Ale dan Viny bercerita kepiawaian bermusik didapatkan secara otodidak. Mereka bilang ketika hendak jadi musisi, sebaiknya ikut sekolah musik. “Jangan kayak kita, tidak tahu bikin partitur, kita tidak tahu ini nada apa, begitu memang kalau otodidak. Makanya penting itu sekolah musik.”

Program for International Student Assessment (PISA) menempatkan Indonesia di 62 dari 70 negara dengan literasi rendah pada 2019. Peran negara menurut Viny belum maksimal. Bahkan kata dia, negara jadi sumber masalah. “Tapi saya pun tidak bisa membayangkan ketika tidak ada negara, terlalu kompleks (masalahnya),” ungkapnya.

Viny mengatakan negara harus membuka akses sumber kehidupan, pangan sandang dan papan. “Pendidikan, kesehatan,” katanya. “Akses-akses yang dapat dijangkau segala lini masyarakat itu yang kami Itu yang kami bayangkan.”

Menyerahkan peningkatan minat baca pada negara yang kebijakannya tidak berpihak pada keadilan distribusi sumber pengetahuan, rasanya sulit, kata Viny. Di sinilah warga butuh banyak bersiasat membangun ruang yang bisa digunakan untuk mempertukarkan ide dan berkolaborasi. “Dengan begitu kita bisa menciptakan kesadaran dan saling memberi dampak.”

BACA JUGA Sate Kambing Pak Syamsuri dan Honda Jazz yang Membuatnya Makin Laris dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version