Menjadi Jihadis Jengkol di Republik Jengkol

Presiden Republik Jengkol berpose di daerah kekuasaannya. Andrey Gromico/TIRTO

Bertahun-tahun nanti, saat ia dikepung berpiring-piring makanan kesukaannya di Republik Jengkol, Ahmad Makki akan teringat siang yang samar ketika ia pergi ke warteg selepas jam kuliah. Pada masa itu kampusnya di Ciputat belum semegah sekarang. Masih kayak kandang ayam, katanya, dan sebagian besar mahasiswa masih menjadikan diskusi situasi nasional dan macam-macam ideologi sebagai hobi.

Warteg itu cukup ramai, mahasiswa-mahasiswa kelaparan. Gambaran di kepalanya tentang apa yang akan segera disantap membuatnya kurang awas.

“Pakai apa, Bang?” tanya si tukang warteg.

“Karena waktu itu ‘pakai Al-Maidah 51’ belum seterkenal sekarang, dan saya kelewat bersemangat, saya jawab, ‘jengkol!'” kenangnya.

Keriangan inosens itu berakibat fatal dan memberinya pemahaman baru mengenai semesta jengkol. Mendengar pesanannya, semua mata di warteg langsung tertuju ke arahnya. Ia merasa seperti digerayangi polisi pamong praja di bulan puasa, tapi sedikit pun ia tidak keki, “tetap kalem dan jauh dari salting.” Namun tak urung pengalaman itu mengusik pikirannya.

Sambil menyuap dan mengunyah sendok demi sendok nasi dan potongan jengkol, ia menyusun cara-cara agar jengkol tak lagi dipandang rendahan, demi menjaga martabat jengkol, menjauhkan jengkol dari penistaan, supaya orang-orang tahu keluhuran jengkol sebagaimana yang diketahuinya sejak kanak-kanak. Sejak saat itu, ia menasbihkan dirinya sendiri sebagai seorang jihadis. Jihadis jengkol.

Namun, berbeda dengan para ekstremis garis keras yang memilih jalan leher tegang atau bahkan kekerasan, Ahmad memilih jalan humor dan woles.

Ahmad Makki sedang menikmati jengkolnya. Andrey Gromico/TIRTO

Suatu hari di warteg yang sama ia mendapati seorang gadis berkerudung di depannya sedang memesan nasi bungkus. Gadis itu tengok kanan tengok kiri sebelum menyadari kedatangannya, sementara penjaga warteg telah siap dengan nasi di tangan.

“Pakai apa, Neng?”

“Ini, Bang,” jawab si gadis malu-malu sambil menunjuk semur jengkol yang diinginkannya.

Ahmad tersenyum penuh arti.

“Kalau sudah begitu, saya kan harus membesarkan hati cewek itu,” kata Ahmad. “Waktu dia bayar, saya sengaja pesan dengan suara cukup kencang, ‘pakai jengkol juga, Bang!'”

Lain waktu, Ahmad ke warteg itu ramai-ramai bersama teman-teman sekelasnya. Dengan bangga ia memesan jengkol dan membuat beberapa teman perempuannya bergidik dan tak mau dekat-dekat dengannya dan seorang sohibnya tak henti-henti mengolok-oloknya. Ahmad cuek-bebek. Setelah cewek-cewek pergi, si sohib yang tadinya mengolok-olok itu memesan jengkol juga.

Ahmad merasa menang tanpa harus mengalahkan. Sekali lagi ia tersenyum penuh arti.

“Rekor saya makan jengkol: tujuh porsi. Kakak saya sampai mengomel, ‘Itu bukan perutmu lagi—mustahil perutmu. Itu sudah perut setan,'” katanya, terkekeh-kekeh.

Di tengah obrolan kami, Presiden Republik Jengkol datang menyapa. Namanya Fatoni, usia 46, mendirikan warung makan ini sejak 27 Maret 2012. “Tadinya di Komodor, Halim. Dua tahun. Terus pindah ke mari,” katanya.

Presiden Republik Jengkol sedang memasak. Andrey Gromico/TIRTO

Fatoni asli Sleman, Yogyakarta. Ia ke Jakarta pada 1991 untuk bekerja di agensi periklanan setamatnya dari Sekolah Menengah Seni Rupa. Bosan berkecimpung di advertensi, pada 2009 ia banting setir dan coba-coba membangun usaha sendiri, menjajal beberapa bisnis makanan tapi kebanyakan rugi. Bersama jengkol, ia perlahan-lahan mencicipi keberhasilan.

“Kepikiran buka ini karena istri saya hobi makan jengkol. Tapi bau jengkol kan mengganggu, kurang bagus buat bisnis. Ini jadi tantangan buat saya, bagaimana caranya biar baunya hilang,” kisahnya. “Terus saya coba-cobalah, sampai ketemu caranya: saya kupas bersih, rendam semalaman, terus saya presto, di atasnya saya kasih lengkuas, sirih, daun salam, daun jeruk. Dipresto satu jam.”

“Berapa lama itu percobaannya, Pak Presiden?” tanya saya.

“Dua-tiga bulan adalah.”

“Bisa begitu, ya,” kata Ahmad.

“Ya bisa. Saya coba-coba sampai baunya benar-benar hilang. Seandainya masih bau, waktu saya goreng tadi pasti sudah keluar baunya. Nah, ini kan enggak.”

“Kalau buang air bagaimana, Pak?”

“Seandainya masih ada bau, disiram juga bakal hilang kok. Enggak ada bekas. Kan biasanya disiram saja susah, ini enggak.”

Sebagaimana pedagang pada umumnya, Fatoni fasih sekali mempromosikan warung dan barang dagangannya. Ia menyebut beberapa nama selebriti, Meriam Bellina, Jenita Janet, Najwa Shihab, dan kantor-kantor pemerintahan yang jadi pelanggan setianya. Pengalamannya di dunia periklanan tampaknya cukup membantu. Dan ia tak pernah menyewa orang untuk menggarap materi publikasi. Membikin logo, baner, poster, lukisan di dinding, semua ia kerjakan sendiri.

“Jam makan siang, orang-orang dari Sudirman banyak yang ke sini. Mobil-mobil bagus parkir di depan,” katanya, menunjuk halaman parkir Masjid At Tarbiyah, Jalan Kerja Bakti, Kramat Jati. “Orang-orang pada bingung, itu cantik-cantik kok pada makan jengkol.”

“Itulah. Jengkol itu yang makan banyak, tapi yang mengaku sedikit,” sahut Ahmad.

“Apa saja kesulitan yang Anda temui, Pak Presiden?” tanya saya.

“Enggak ada sih. Paling-paling kalau harga jengkol melambung tinggi.”

“Anda ikut menaikkan harga?”

“Enggak. Saya akali, saya kurangi porsi. Waktu di Halim, pernah harga jengkol Rp100 ribu sekilo, per porsi saya tetap jual Rp15 ribuan.”

“Per hari habis berapa kilo?”

“Sabtu-Minggu kisaran 30-an kilo sehari. Hari-hari biasa, 21 kilo mentok dah.”

Suasana Republik Jengkol di Cililitan, Jakarta Timur. Andrey Gromico/TIRTO

Pesanan kami datang, semua menu yang tersedia malam itu: tongseng jengkol, jengkol lada hitam, jengkol balado, rendang jengkol, dan semur jengkol. Fotografer Tirto, Andrey Gromico, yang sebelumnya sibuk mengambil gambar orang-orang yang makan dan kegiatan di dapur, bergabung ke meja kami.

Andrey mengaku tak suka jengkol, tapi ia menghabiskan sepiring tongseng jengkol.

“Bagaimana, Andrey, sudah siap jadi penggemar jengkol?” tanya saya setelah meja kami bersih.

“Belum,” jawab Andrey.

“Apa guna hidupmu kalau tak bisa menikmati jengkol?”

“Woh, Anda layak diacungi kuwuont…eh, Anda layak diacungi jengkol!”

*Artikel ini kali pertama tayang di Tirto.id

Exit mobile version