Kisah Keluarga dari Jogja Merantau ke Magelang, 53 Tahun Tinggal di Tengah Hutan Terpencil di Perbukitan Borobudur

Ilustrasi rumah di pelosok (Mojok.co)

Tinggal di pelosok bukan jadi persoalan bagi beberapa orang. Seperti halnya keluarga yang dulunya meninggalkan Jogja untuk tinggal di atas bukit terpencil Magelang.

Banyak kisah orang yang memilih tinggal jauh dari keramaian. Di tengah hutan, di atas perbukitan, dengan akses yang cukup sulit. Namun, di tempat seperti itulah mereka menemukan kenyamanan hidup hingga bertahan puluhan tahun.

Salah satunya adalah Saryono (53). Orang tuanya dulu merupakan warga Jogja yang memilih merantau ke Magelang. Tepatnya di Desa Giripurno, Kecamatan Borobodur, Kabupaten Magelang.

Namun, tidak seperti permukiman di desa pada umumnya, letak rumah keluarga Saryono terpencil di atas bukit. Di tengah hutan yang hanya bisa diakses dengan berjalan kaki.

“Sejak saya lahir sudah tinggal di sini Mas. Orang tua saya asalnya dari Jogja, punya tanah di sini tapi di tengah hutan begini. Memutuskan pindah saat itu,” kenang Saryono.

Lelaki ini ingat, dulu saat kecil ia melihat bangunan rumahnya begitu sederhana. Mirip seperti gubuk, yang dibangun bukan dari bata dan semen melainkan kayu. Selain kondisi ekonomi, saat itu memang akses menuju lokasi sangat sulit untuk membawa bahan material berat.

Kisah tentang kehidupan Saryono saya dapati dari Ibra Muhammad Ijal, pemilik akun YouTube Jejak Bang Ibra pada Minggu (24/6/2024). Tahun lalu, kami memang sempat berbincang panjang seputar pengalamannya menjelajahi permukiman-permukiam terpencil di Pulau Jawa. Kebetulan, beberapa waktu silam ia mengunjungi rumah Pak Saryono di Magelang untuk ketiga kalinya.

Kehidupan di pelosok Magelang yang berbatasan dengan Jogja

Ibra berkunjung menjelang IdulAdha. Menaiki bukit sore menjelang petang. Ia memilih untuk melewati jalan yang sedikit lebih jauh namun treknya tidak terlalu curam.

Ada dua jalan menuju kediaman Saryono. Pertama melalui jalan dengan jarak lebih dekat namun sangat menanjak dan jalan kedua yang berjarak sekitar satu kilometer dari permukiman terdekat namun agak landai.

Setelah mendaki bukit, tibalah Ibra di kediaman Saryono. Pemilik rumah yang kebetulan sedang mengurus ternaknya lantas mempersilakan Ibra untuk beristirahat di ruang tamu. Lantas, mereka berbincang panjang tentang sejarah keluarga ini pindah dari Jogja ke Magelang.

sosok saryono penghuni bukit di magelang.MOJOK.CO
Sosok Saryono (Dok Jejak Bang Ibra)

Meski orang tuanya dari Jogja, Saryono lahir dan besar di rumah tersebut. Dulu, kondisinya rumah dan lingkungannya masih tergolong sangat sederhana. Jalan yang perlu dilalui jauh lebih sulit dari sekarang.

“Dulu kalau sekolah jalan kaki, sekitar tiga kilometer ke desa. Jalannya licin sekali. Cuma jalan setapak yang dilewati sepeda pun nggak bisa,” kata Saryono yang hanya sekolah sampai SD saja.

Baca halaman selanjutnya…

Alasan bertahan 53 tahun di hutan meski penuh perjuangan dan dekat kuburan misterius

Mengingat rumahnya berada di tengah hutan Magelang, yang dulu tak ada listrik, Saryono jarang berani keluar atau bermain ke desa saat hari sudah gelap. Belum lagi, beberapa ratus meter di dekat rumahnya juga ada pemakaman umum.

Salah satu hal menarik yang ia ingat adalah momen ketika rumahnya di daerah terpencil Magelang ini mulai dibangun permanen. Prosesnya tidak mudah. Material bisa dibawa menggunakan motor yang sudah diberi keranjang khusus. Namun, tidak bisa menjangkau rumahnya.

“Jadi nanti dari bawah masih dipikul lagi ke area rumah ini,” kenangnya.

Alasan bertahan 53 tahun di pelosok

Bahkan, sampai beberapa waktu belakangan saat musim kemarau panjang rumahnya di daerah perbatasan Jogja dan Jawa Tengah ini masih sering kesulitan akses air. Solusinya, Saryono akan membawa air dari bawah bukit. Dipikul ke atas.

Mengingat kini salah satu sumber mata pencahariannya adalah beternak, kebutuhan air ketika sedang terganggu juga ia ambil dari bawah. Untuk urusan ini ia dibantu oleh orang lain yang bayarannya akan diberikan saat ternaknya terjual.

Saat Ibra berkunjung, ada juga cucu Saryono yang masih berusia lima tahun. Namun, anak dan cucunya itu tidak tinggal di rumah tersebut. Melainkan di permukiman di bawah kampung.

Bagi sebagian orang, mungkin tidak terbayang untuk memilih tinggal di tempat terpencil yang jauh dari keramaian. Namun, jalan itulah yang dipilih oleh orang-orang seperti Saryono.

Sebelumnya, saya pernah mengunjungi langsung keluarga yang tinggal di pelosok Kulon Progo, Jogja. Sumiran (50) dan keluarganya menempati satu-satunya rumah yang ada di atas bukit. Jaraknya, sekitar dua kilometer dari permukiman terdekat.

Sumiran sejak kecil sudah menempati rumah tersebut. Kehidupannya juga sudah melekat dengan lingkungan di sekitarnya. Mulai dari bercocok tanam dan pekerjaannya sebagai pengrajin kayu juga bisa ia lakukan meski rumahnya terpencil. Sehingga, sudah nyaman untuk tinggal di sana.

Begitu pula dengan Saryono di Magelang, sejak lahir hidup di tempat terpencil membuatnya telah menyesuaikan diri. Sehingga, jauh dari keramaian bukan jadi persoalan.

Penulis: Hammam Izzuddin

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Mengungkap Alasan Keluarga Terakhir di Kampung Mati Kulon Progo Pindah Rumah

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version