Cukai Rokok Tak Naik: Melawan Tekanan Antirokok, Menjaga Nafkah Jutaan Petani dan Buruh

cukai rokok, tembakau.MOJOK.CO

Ilustrasi - Cukai Rokok Tak Naik: Melawan Tekanan Antirokok, Menjaga Nafkah Jutaan Petani dan Buruh (Mojok.co/Ega Fansuri)

Di Dusun Srunggo II, Bantul, seorang lelaki tua bernama Nurwiyadi (74) memetik daun tembakau Siluk dari ladangnya. Usianya sudah lebih dari tujuh dekade, tetapi jemarinya masih sabar meraba daun yang disebut-sebut punya “pulung”, tanda keberkahan bagi petani.

“Kalau daun putihnya bagus, panen juga ikut bagus,” katanya lirih, ketika ditemui Mojok, Kamis (7/8/2025) lalu. 

Bagi Nurwiyadi, tembakau bukan sekadar tanaman: ia adalah bagian hidup yang menjaga dapur tetap mengepul.

Beberapa kilometer ke utara, di Mlati, Sleman, suasana lain memberi gambaran tentang hilir industri ini. Ratusan buruh perempuan keluar dari pabrik rokok setelah jam kerja. 

Gaji mereka, yang rata-rata di atas UMR Jogja, cukup untuk biaya sekolah anak, cicilan motor, bahkan menyokong keluarga.

“Syukur bisa buat bantu-bantu suami mencukupi kebutuhan sehari-hari. Paling penting bisa buat menyekolahkan anak. Sekarang anakku sudah kelas 3 SMP, sudah mau SMA,” kata Ani, salah seorang buruh pabrik yang Mojok temui.

Dua potret sederhana ini: dari ladang di Imogiri hingga pabrik di Sleman, menunjukkan denyut nyata Industri Hasil Tembakau (IHT). Denyut yang belakangan mendapat “angin segar” setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memastikan cukai rokok tidak akan naik pada 2026.

“Saya belum melihat program yang bisa menciptakan lapangan kerja sebesar industri hasil tembakau. Masyarakat butuh penghidupan, dan selama ini IHT yang mampu menyediakannya,” tegas Purbaya, Selasa (30/9/2025).

Pernyataan itu bukan klaim kosong. Kementerian Perindustrian mencatat, sekitar 6 juta orang hidup dari IHT—mulai dari petani tembakau dan cengkeh, buruh linting, hingga pedagang kecil. 

Sementara kontribusinya terhadap negara luar biasa besar: Rp218,6 triliun pada 2022 dan Rp213,5 triliun pada 2023 hanya dari cukai. Bandingkan dengan dividen seluruh BUMN ke negara: hanya Rp40 triliun (2022) dan Rp81,2 triliun (2023).

Kebijakan yang membela penghidupan

Keputusan Purbaya sontak jadi sorotan. Di halaman Kemenkeu, karangan bunga berjejer sehari setelahnya. Sebagian bernada protes sarkastis dari kelompok antirokok. 

Namun tak lama, karangan bunga lain berdatangan: ucapan terima kasih dari petani, buruh, dan serikat pekerja IHT.

Terpisah, Komunitas Kretek (Komtek) menyambut keputusan ini dengan gembira. Juru bicaran Komtek, Rizky Benang, menyebut langkah Purbaya sudah tepat. 

“IHT menopang hajat hidup negara dan rakyat kecil. Kebijakan ini memberi angin segar setelah bertahun-tahun dicekik cukai tinggi dan stigma jahat,” ujarnya, Rabu (1/10/2025).

Dukungan juga datang dari Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK). Ketua KNPK, Khoirul Atfifudin, menilai kebijakan tidak menaikkan cukai adalah bagian dari menjaga kedaulatan bangsa. 

Ia bahkan menyebut kampanye global pengendalian tembakau kerap ditunggangi industri farmasi asing. 

“Kalau narasi antirokok mengusung misi kesehatan, nyatanya ada motif perang dagang. Mereka ingin jualan produk nikotin sendiri,” katanya, merujuk buku Nicotine War karya Wanda Hamilton.

Bagi Atfi, tekanan internasional melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) adalah bentuk intervensi. Indonesia memang belum meratifikasi FCTC, tetapi banyak regulasi lokal sudah mengadopsi poin-poinnya: Kawasan Tanpa Rokok, pembatasan iklan, larangan jual di dekat sekolah, hingga bungkus rokok polos. 

“Kebijakan Purbaya adalah upaya menjaga ekosistem ekonomi nasional agar tidak dikuasai kepentingan asing,” tegasnya.

Cukai hasil tembakau hidupi banyak orang

Fakta di lapangan mendukung argumen ini. Pada 2025, data Kemenkeu menujukkan bahwa pemerintah mengalokasikan Rp6,39 triliun Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). 

Aturannya jelas: 50 persen untuk kesejahteraan masyarakat, 25 persen untuk kesehatan, 25 persen untuk penegakan hukum 

Di Jawa Timur, misalnya, alokasi DBHCHT 2023 mencapai Rp3,07 triliun. Dana ini dipakai untuk subsidi pupuk petani, BLT bagi buruh tembakau, hingga pembangunan Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT). 

Bahkan di Jember, BLT DBHCHT 2024 mencapai Rp29 miliar, termasuk kepada 6.258 buruh pabrik rokok dan ribuan petani. Skema serupa juga berlangsung di Bondowoso, Madiun, dan daerah lain.

Atau, kalau di Temanggung, pemerintah kabupaten menyalurkan bantuan pupuk senilai Rp8 miliar kepada 10.000 petani tembakau yang tergabung dalam 366 gapoktan. Pada 2024 tercatat total 385,5 ton pupuk diberikan untuk 257 kelompok tani.

Meski sering dikritik karena distribusi belum merata, jelas tanpa keberlangsungan IHT, dana semacam ini tak akan ada.

Tembakau sebagai identitas dan warisan

Namun, cerita tembakau tak berhenti di angka-angka tersebut. Buku Hitam Putih Tembakau (2011) yang ditulis Andi Rahman Alamsyah mengingatkan: kebijakan cukai tidak bisa dilihat semata-mata dari sisi fiskal. Tembakau, terutama kretek, nyatanya punya akar budaya yang panjang. 

Sejarah mencatat, kretek lahir di Kudus pada akhir abad ke-19, ketika Haji Djamhari meracik tembakau dengan cengkeh sebagai obat sesak napasnya. Dari situlah lintingan beraroma khas ini menyebar, membentuk identitas sosial sekaligus ekonomi baru di Nusantara.

Bagi sebagian orang, kretek lebih dari sekadar rokok. Ia adalah simbol perlawanan kultural terhadap dominasi produk tembakau asing yang dulu masuk lewat kolonial Belanda. 

“Jika rokok putih dianggap barang impor, maka kretek adalah ‘cita rasa Indonesia’ yang lahir dari kreativitas rakyat kecil,” tulis Andi.

Inilah alasan mengapa sebagian kalangan menyebut kretek sebagai warisan budaya nonbendawi yang layak dilindungi. Sejajar dengan batik atau wayang.

Tradisi yang masih hidup di berbagai daerah

Tradisi itu masih hidup di banyak daerah. Di Kudus, misalnya, buruh linting bekerja dengan gerakan tangan yang cepat dan presisi, mirip ritual turun-temurun. 

Atau, di Temanggung, para petani tembakau percaya bahwa musim tanam adalah bagian dari siklus hidup yang tak kalah sakral dengan panen padi. 

Sementara di pabrik-pabrik kecil lain di Jawa Tengah dan Jogja, generasi perempuan masih melanjutkan keterampilan melinting yang diwariskan ibu dan nenek mereka. 

“Setiap batang kretek yang lahir dari tangan mereka bukan sekadar komoditas, melainkan buah kerja yang sarat makna kultural.”

Paradoks muncul ketika warisan ini kerap diperlakukan sekadar sebagai “barang haram” dalam wacana kesehatan publik. Buku Hitam Putih Tembakau menunjukkan bagaimana framing antirokok sering mengabaikan dimensi budaya dan sosial. 

Kretek direduksi hanya pada nikotin dan tar, seakan-akan tak ada sejarah, tradisi, dan penghidupan yang menopang keberadaannya. Padahal, di balik sebatang kretek, ada rantai panjang ekonomi rakyat kecil: petani, buruh linting, pedagang asongan, hingga warung-warung di kampung.

Inilah yang membuat kebijakan Purbaya relevan. Dengan tidak menaikkan cukai, negara seakan memberi pengakuan bahwa kretek bukan sekadar objek fiskal, melainkan bagian dari identitas bangsa. 

Keputusan itu menjadi ruang bernapas. Bukan hanya untuk jutaan pekerja, tetapi juga untuk menjaga warisan kultural yang tak ternilai. 

Sebab, sebagaimana mengutip Hitam Putih Tembakau, jika kretek hancur hanya karena regulasi yang menyalin mentah agenda global, maka yang hilang bukan sekadar industri, melainkan sepotong sejarah dan jati diri Indonesia.

Oleh karena itu, komunitas advokasi IHT semacam Komtek dan KNPK menilai keputusan Purbaya untuk tidak menaikkan cukai rokok pada 2026 adalah sebuah langkah politik-ekonomi yang berpihak pada rakyat. 

Ia bukan berarti menolak isu kesehatan, melainkan menempatkan kesejahteraan jutaan orang sebagai prioritas nyata. 

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Buruh Perempuan di Pabrik Rokok Mlati Sleman, Hidupi Keluarga berkat Upah di Atas UMR Jogja atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version