Suara Ibu di Telepon Selalu bikin Tenang usai Hadapi Hal-hal Buruk dan Menyakitkan di Perantauan

Suara ibu di telepon bikin hati lapang hadapi kerasnya perantauan MOJOK.CO

Ilustrasi - Suara ibu di telepon bikin hati lapang hadapi kerasnya perantauan. (Ega Fansuri/Mojok.co)

“Ingin kudekap dan menangis di pangkuanmu. Sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu.” Sepanjang hidup saya yang lebih banyak di perantauan, penggalan lirik lagu “Ibu” milik Iwan Fals itu jadi penghangat batin saat saya sedang dalam situasi “kalah”.

Ada masanya saya merasa gagal mengejar banyak hal. Dipatahkan nasib buruk berkali-kali. Perantauan seolah bertubi-tubi memberi saya rasa sakit, tanpa sejenak pun memberi saya kesempatan menjalani kehidupan yang “serba asyik”.

Jika sudah begitu, di dalam kamar kos yang pengap, saya akan meringkuk sembari memutar lagu “Ibu”-Iwan Fals. Lalu tepat di bagian lirik di atas, saya membayangkan seandainya saya bisa menjadi anak kecil lagi—yang tak gengsi menangis tersedu di pangkuan ibu.

Pangkuan ibu, rasanya menjadi hamparan lapang yang menerima rupa-rupa kekalahan dan kegagalan anak-anaknya.

Lagu Iwan Fals memang tidak lantas menghadirkan sosok ibu di kamar kos saya untuk saya rengkuh. Atau secara nyata, seperti pintu ajaib Doraemon, membawa saya pulang untuk peraduan. Namun, membayangkannya saja sudah cukup untuk membuat hati lebih teteg untuk menghadapi hari-hari panjang berikutnya.

Disclaimer: Cerita-cerita yang akan Anda baca setelah ini barang kali tidak relate untuk sebagian orang (yang relasinya dengan ibu tak terjalin baik). Jika konteks itu berpotensi membuat tidak nyaman, maka Anda bisa menyudahi membaca tulisan ini di sini saja. 

Di kantor kena makian, ke mana harus pulang?

Pada pukul 16.00 WIB, menjelang jam pulang kerja, Citra (26) dan satu teman divisinya dipanggil ke ruang manajer. Sesuai dugaan, dia dan temannya didamprat habis manajer karena ada beberapa pekerjaan yang tidak sesuai.

Di ruang itu, telinga Citra sebenarnya tebal belaka menerima luapan amarah dan makian si manajer. Namun, semua berubah ketika dia sudah membonceng ojek online—meninggalkan kantor, menyibak kemacetan Jakarta, untuk menuju indekos pada malam harinya.

Dadanya terasa sakit. Air mata luber di wajah, disertai isak tangis tertahan.

“Sampai abang ojolnya tanya aku kenapa. Aku bilang aja, nggak apa-apa,” ucap Citra berbagi cerita, Selasa (21/10/2025).

Tangisan Citra memang habis ditelan gedung-gedung tinggi Jakarta. Tapi rasa sakit masih menggelayuti batinnya. Di dalam kamar indekos, Citra hanya bisa terduduk diam.

Indekos memang menjadi “rumah” Citra di perantauan. Akan tetapi, di sana dia merasa tak benar-benar pulang.

Mendengar suara ibu di telepon, tenangkan pedih di perantauan

Hanya ada satu tempat yang bisa dia tuju: Nomor telepon bernama “IBU” (dengan kapital semua) yang di-pin paling atas.

Tak butuh waktu lama bagi Citra untuk menunggu tanda “berdering”. Sebagaimana biasa, ibunya selalu gercep kalau mengangkat telepon.

“Halo Mbak? Ada apa?”

“Halo, Buk. Nggak ada apa-apa, Buk. Pengen nelepon aja.”

“Oh Ibu kira ada apa.”

Suara Citra lalu tersendat. Tangisnya mendesak ingin pecah. Sejujurnya dia ingin bilang, “Aku lagi kenapa-kenapa, Buk.” Tapi kalimat itu terhenti di kerongkongan. Membuat Citra harus diam agak lama sampai sang Ibu mengulangi kata “Halo” berkali-kali.

Citra mengaku, tiap kali ada masalah di perantauan—entah di kantor atau lain-lain—dia pasti akan langsung menelepon sang Ibu. Ada kalanya Citra bercerita jujur. Tapi tak jarang dia memilih pura-pura baik-baik saja.

“Cukup denger suara ibu di telepon, walaupun awalnya nyesek, abis itu pelan-pelan jadi tenang,” ungkap Citra.

Perbincangan sederhana yang mengurai kecemasan

Melansir laman WISC, mendengar suara ibu—termasuk lewat telepon—disebut bisa memberi ketenangan tersendiri. Hal ini seperti termuat dalam studi peneliti pasca-doktoral, Leslie Seltzer, dan para peneliti lain University of Wisconsin–Madison pada 2012 silam.

Hasil studi itu menyebut, mendengar suara ibu secara alami bisa meningkatkan kadar oksitosin. Kadar itu membantu menenangkan saraf dan mengurangi kecemasan.

“Panggilan telepon sederhana dari ibu dapat menenangkan saraf yang tegang dengan memicu pelepasan hormon penghilang stres yang kuat,” tulis hasil studi tersebut.

Kala standard sukses makin jauh dari gapaian

Cerita lain datang dari Nofri (27). Sama seperti saya, Nofri kerap merasa menjadi anak dan manusia yang gagal. Bertahun-tahun di perantauan seperti tidak hasilnya. Karier mendek. Penghasilan ya segitu-segitu saja.

“Di saat teman-teman lain sudah menikah, aku di umur segini belum berani. Karena aku ngurus diri sendiri saja belum tuntas,” kata pemuda yang merantau di Surabaya, Jawa Timur itu.

“Teman lain pamer S2, hp baru, bahkan kendaraan baru. Aku masih begini-begini saja,” sambungnya penuh keluh.

Ditambah lagi, standard sukses ala media sosial makin tak masuk akal untuk dia gapai. Bayangkan, dalam sesi wawancara random seorang pembuat konten, beberapa perempuan memasang “harga” tinggi untuk dinikahi.

Para perempuan muda itu menegaskan hanya mau menikah dengan laki-laki yang gajinya sudah dua digit. Modyar ra? Di titik itu, Nofri hanya bisa merutuki nasib sendiri.

Meski diulang-ulang, pitutur ibu bantu lapangkan hati yang sumpek di perantauan

Jika sudah begitu, Nofri akan langsung menelepon ibunya untuk mengeluh. Keluhannya sebenarnya selalu sama, berulang-ulang.

Tapi, seingat Nofri, tak pernah sekali pun sang Ibu menggerutu dan capai atas keluhan Nofri. Beda misalnya jika Nofri mengeluh dengan temannya. “Itu lagi, itu lagi. Masalahmu selalu sama. Capek dengernya,” pasti itu respons yang akan Nofri terima.

Sementara sang Ibu, dengan tutur lembut mencoba melapangkan hati Nofri. Memintanya menyerahkan segala urusan pada Sang Maha Pengurus. Jika berserah, pasti segala bakal terasa mudah.

“Pitutur Ibu pun sebenarnya diulang-ulang. Aku hafal luar kepala. Tapi aku nggak pernah bosen buat nyimak. Karena entah kenapa, suara lembut dan tulusnya bikin hati jadi lebih lapang,” kata Nofri.

Apalagi, di mata Sang Ibu, Nofri bukan lah anak atau manusia gagal. Melainkan hamba yang meniti jalan hidup yang sudah digariskan. Jika digariskan tidak seperti standard kebanyakan, bukan berarti gagal.

“Aku paling ‘makjleb’ itu kalau Ibu sudah bilang, ‘Sukses bagi Ibu itu kalau anak-anak ibu bisa menerima segala yang digariskan padanya. Artinya dia sudah menghamba pada Gusti Allah secara sepenuhnya’,” tutur Nofri.

Saat menceritakan bagian terakhir ini, terdengar dari seberang telepon Nofri menarik ingus di hidungnya. Barangkali nun di Surabaya sana, tetiba saja rasa haru menyeruak di batinnya.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Sibuk Kejar Karier sampai Lupa Rumah dan Skip Nikah demi Ortu, Belum Sukses dan Hidup Mapan Ortu Keburu Meninggal atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

 

 

 

Exit mobile version