Laki-laki yang bersikap sok jago itu pada dasarnya cuma insecure. Mereka mengalami maskulinitas rapuh dan cuma butuh pengakuan soal “kejantanannya”.
***
Akhir-akhir ini saya sedang menikmati UFC, olahraga yang memadukan berbagai seni bela diri dan strategi bertarung. Semakin sering menonton, semakin saya menyadari bahwa bertarung itu jauh lebih kompleks daripada sekadar adu pukul. Di atas oktagon, ada teknik, stamina, mental, kecepatan berpikir, hingga seberapa kuat dagu seseorang menahan pukulan.
Apalagi jika membahas pertarungan jalanan, risiko bisa jauh lebih tinggi—sekali salah langkah, nyawa bisa jadi taruhannya.
Seperti penonton sepak bola yang kadang merasa lebih pintar daripada pelatih, saya pun tak jarang ikut menjadi komentator dadakan. Ketika melihat petarung yang tampak “payah”, lidah saya gatal untuk berkomentar: “Ah, gitu aja nggak bisa?” Bahkan ada secuil bagian dalam diri saya yang yakin bisa lebih baik dari mereka.
Ternyata, perasaan sok jago ini bukan milik saya seorang. Banyak laki-laki memiliki dorongan serupa—percaya diri berlebihan soal kemampuan bertarung, meski kenyataannya jauh dari apa yang dibayangkan.
Fenomena ini memiliki akar psikologis dan sosial yang cukup kompleks, dan bisa menjelaskan mengapa banyak Laki-laki merasa perlu membuktikan diri dalam berbagai situasi, dari olahraga hingga interaksi sehari-hari.
Penyebab laki-laki merasa “sok jago”
Pernahkah Anda melihat teman laki-laki percaya diri bisa mengalahkan siapa pun dalam pertarungan, mulai dari kucing hingga beruang grizzly? Fenomena ini bukan sekadar anekdot.
Survei tahun 2021 menunjukkan hal yang hampir mustahil: mayoritas responden laki-laki yakin bisa menang melawan hewan-hewan yang nyatanya jauh lebih kuat dari mereka.
Angkanya cukup mencengangkan: 72% yakin bisa mengalahkan tikus tangan kosong, 69% percaya sanggup menghadapi kucing rumahan, 61% yakin bisa menundukkan angsa, 8% merasa mampu melawan gorila atau singa, dan 6% percaya bisa menghadapi beruang grizzly.
Data ini menimbulkan pertanyaan: mengapa banyak laki-laki memiliki persepsi diri yang jauh melampaui kemampuan nyata mereka?
Jawabannya, menurut penelitian Dominic D.P. Johnson dan koleganya dalam “Overconfidence in wargames: experimental evidence on expectations, aggression, gender and testosterone” (2006), adalah kombinasi evolusi dan psikologi sosial. Laki-laki cenderung memiliki “ilusi keunggulan” dalam konteks fisik, strategi aman untuk menakut-nakuti lawan tanpa benar-benar bertarung. Peneliti menyebut bias optimisme ini sebagai positive illusions.
Eksperimen “wargame” itu menunjukkan bahwa orang menilai peluang sukses mereka lebih tinggi daripada kenyataannya. Semakin tinggi rasa percaya diri (alias si “sok jago” tadi), semakin besar kemungkinan mereka mengambil tindakan agresif.
Hormon testosteron memang berperan, tetapi konteks sosial juga penting. Overconfidence bukan sekadar soal kekuatan fisik, tetapi soal bagaimana laki-laki menilai diri mereka di lingkaran sosial, di mana maskulinitas diukur dari keberanian, ketegasan, dan kemampuan menghadapi tantangan—baik nyata maupun imajiner.
Seorang laki-laki bisa merasa “lebih maskulin” hanya karena berhasil menakut-nakuti lawan atau menunjukkan sikap percaya diri, meskipun tindakan itu tidak selalu mencerminkan kemampuan sebenarnya.
Sikap sok jago menunjukkan maskulinitas yang rapuh
Dari perspektif sosiologi, sok jago sering berakar pada konsep “Precarious Manhood”, yang dikemukakan Joseph Vandello dan Bosson dalam studi mereka di Journal of Personality and Social Psychology (2008). Maskulinitas bukan status otomatis yang melekat, melainkan rapuh dan harus terus dibuktikan.
“Dua benang merah muncul dari berbagai perspektif ini: Pertama, maskulinitas dipandang sebagai sesuatu yang rapuh dan mudah hilang. Kedua, maskulinitas membutuhkan pembuktian sosial. Dengan kata lain, ‘lelaki sejati’ itu dibentuk, bukan dilahirkan,” tulis Vandello.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa laki-laki merasa kejantanan mereka sangat bergantung pada pengakuan lingkungan. Ketika maskulinitas dipertanyakan, banyak lelaki merasa terancam, dan ancaman itu bisa memicu agresi.
Berbeda dengan perempuan, yang status biologisnya dipandang lebih stabil. Maskulinitas dipersepsikan sebagai pencapaian sosial yang mudah hilang.
Vandello dan Bosson menekankan bahwa maskulinitas diukur dari perilaku sosial: keberanian, ketegasan, agresi, dan kemampuan menghadapi tantangan. Ketika seorang lelaki mendapat umpan balik bahwa ia gagal memenuhi standar maskulin, respons psikologis yang muncul sering berupa kecemasan dan peningkatan agresi fisik atau verbal.
Konsep ini menjelaskan mengapa banyak tindakan “sok jago” laki-laki sebenarnya lahir dari rasa insecure dan kebutuhan membuktikan diri.
Precarious Manhood jadi hal lumrah di kalangan laki-laki
Kalau mau tarik korelasinya, fenomena precarious manhood ini terlihat jelas di media sosial, khususnya TikTok hari ini. Banyak video menampilkan orang percaya diri bisa mengalahkan hewan atau petarung tertentu, meski kenyataannya tidak realistis.
Video yang membongkar “ilusi jagoan” justru viral, meraih jutaan penonton, dan mengundang komentar beragam—dari yang geli hingga kritik tajam.
Pengalaman pribadi saya pun mencerminkan hal ini. Saat SD, di kelas hanya ada enam murid laki-laki. Selalu ada satu “pemimpin” yang menghasut kami untuk berkelahi.
Suatu hari, saya benar-benar memukul teman hingga berdarah. Saat itu kami masih anak-anak dan mudah terprovokasi. Namun, pengalaman itu mengajarkan satu hal: laki-laki sering merasa perlu membuktikan maskulinitas lewat tindakan fisik, kadang dengan cara yang destruktif.
Tren TikTok dan pengalaman masa kecil ini menunjukkan bahwa sok jago bukan hanya soal fisik. Ini soal persepsi, tekanan sosial, dan rasa perlu diakui sebagai “lelaki sejati”. Tekanan itu bisa muncul dalam berbagai situasi: di sekolah, di tempat kerja, bahkan di grup olahraga atau komunitas sosial.
Bersikap sok jago berdampak buruk bagi psikis
Lebih lanjut, Vandello juga meneliti keyakinan precarious manhood di 62 negara. Hasilnya: level tertinggi ada di Albania, Iran, Kosovo, Nigeria, dan Ukraina; terendah ada di Finlandia, Spanyol, Jerman, Swedia, dan Swiss.
Negara dengan kepercayaan tinggi terhadap konsep ini mencatat perilaku laki-laki yang lebih berisiko. Antara lain merokok, minum alkohol, hingga menghadapi dampak kesehatan serius, dari kecelakaan transportasi hingga infeksi COVID-19.
Selain itu, tekanan sosial untuk selalu terlihat kuat membuat banyak laki-laki enggan menunjukkan kerentanan. James R. Mahalik dalam “Men, masculinity, and the contexts of help seeking” (2003) mencatat banyak laki-laki menolak mencari dukungan profesional atau berbagi masalah dengan orang terdekat. Akibatnya, mereka terjebak dalam isolasi dan masalah psikologis yang lebih serius, termasuk depresi dan PTSD.
Menariknya, budaya precarious manhood juga memengaruhi bagaimana lelaki menilai risiko dalam kehidupan sehari-hari. Dalam banyak kasus, laki-laki mengambil keputusan berisiko, dari olahraga ekstrem hingga perilaku konsumtif, sebagai cara membuktikan keberanian mereka. Tekanan sosial untuk tampil kuat dan “tidak boleh kalah” sering kali mendorong perilaku yang lebih berbahaya daripada yang dibayangkan.
Dari oktagon UFC, video TikTok, hingga pengalaman masa kecil, jelas terlihat bahwa sok jago bukan sekadar soal kemampuan fisik. Agresi dan overconfidence sering berakar pada kecemasan sosial untuk terus membuktikan diri sebagai “lelaki sejati”. Tekanan itu menciptakan lingkaran berisiko, di mana laki-laki harus tampil kuat, tapi menghadapi konsekuensi kesehatan dan psikologis nyata.
Penulis: Khatibul Azizy Alfairuz
Editor: Ahmad Effendi
Tulisan ini diproduksi oleh mahasiswa program Sekolah Vokasi Mojok periode Juli-September 2025.
BACA JUGA: Main Serong di Sinema Indonesia: Mengapa Kamu Menyukai Film Bertema Perselingkuhan? atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
