Simpang Lima Krian, Sidoarjo menjadi momok tersendiri bagi pengendara-pengendara di Jawa Timur. Khususnya yang dari atau hendak ke arah Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, dan Jombang.
Pasalnya, Simpang Lima Krian bisa dibilang menjadi titik lalu lintas paling semrawut di Sidoarjo. Lampu merah, ETLE, hingga polisi tak ada harga dirinya di sini.
Apalagi Pak Ogah (tukang penyeberang jalan). Alih-alih mendapat recehan, yang ada malah cuma dapat capeknya doang.
Simpang Lima Krian isinya orang buru-buru
2018 silam, sekira jam empat sorean, Chotim (26) memacu motornya dengan kecepatan tinggi dari arah Surabaya.
Ia baru selesai mengikuti mata kuliah di kampusnya, UINSA, pada jam setengah empat sore. Setelahnya, ia harus tancap gas agar segera sampai rumahnya di Jombang.
Sebab, setelah Isya ia harus sudah sampai rumah lantaran ada acara keluarga. Namun, petaka terjadi ketika ia memasuki Simpang Lima Krian.
Bukan hanya dirinya, ada sekian ratus pengendara yang juga tengah buru-buru untuk pulang ke rumah masing-masing. Para pengendara motor itu serobot sana, serobot sini, meski di celah paling sempit sekalipun.
Bunyi klakson—baik dari mobil maupun motor—juga bersahut-sahutan memekakkan telinga. Klakson yang kemudian direspon dengan umpatan dan teriakan-teriakan tak jelas dari pengendara lain.
“Ada yang dari arah Surabaya, ada yang dari arah Mojokerto Kota. Jam lima adalah jam pulang kerja mereka. Di kawasan sini kan banyak pabrik,” ujar Chotim menceritakan ulang pengalamannya menjadi korban di Simpang Lima Krian.
“Mereka semua buru-buru pulang,” sambungnya.
Rambu-rambu lalu lintas dari arah Surabaya untuk ke Mojokerto Kota dan Jombang menunjukkan warna hijau. Maka, ia pun lekas menancap gasnya lagi.
Hanya saja, sebagai mahasiswi baru, ia belum paham kalau percaya penuh pada rambu lalu lintas di Simpang Lima Krian adalah kesalahan besar.
Benar saja, sampai di tengah-tengah, tiba-tiba dari jalur arah Pacet, Mojokerto (arah kiri) seorang pengendara motor menyerebot dengan kecepatan tinggi menabrak motor yang Chotim kendarai.
“Aku terpelanting. Terus pingsan,” tutur Chotim.
Simpang Lima Krian sepi jadi berkah bagi Pak Ogah
Beruntungnya Chotim tak mengalami luka parah. Ia hanya mengalami luka ringan dan motornya sedikit ringsek.
Setelah itu ia benar-benar kapok. Sepanjang masa kuliah di UINSA, ia lebih sering naik kereta atau bus kalau mau pulang ke Jombang.
“Kalau sesekali harus lewat Simpang Lima Krian, biasanya aku buntut pengendara lain buat nyeberang simpang lima kematian itu. Karena di sini, lampu merah benar-benar nggak ada harga dirinya,” ungkapnya.
Pada Sabtu, (10/2/2024) lalu, saya sempat melintas di Simpang Lima Krian.
Setelah melakukan perjalanan bus dari Jogja ke Surabaya sehari sebelumnya, saya kemudian pergi ke Jombang pakai motor pacar.
Saya memang berniat untuk memotret betapa semrawutnya lalu lintas di sana. Lebih-lebih malam Minggu. Biasanya kepadatan di Simpang Lima Krian bakal berkali-kali lipat dari hari kerja biasa.
Karena malam Minggu adalah perpaduan antara orang-orang pulang kampung, muda-mudi malam Mingguan di Sidoarjo atau Surabaya, dan mereka yang hendak berlibur ke Pacet, Mojokerto.
Sayangnya, saya tiba di Simpang Lima Krian saat hari masih cerah. Sekira jam setengah empat sore. Jadi lalu lintas masih terpantau ramai lancar.
Tapi tak soal. Saya pun mencoba menepikan motor di warung kopi tak jauh dari Simpang Lima Krian.
Awalnya saya hendak mengajak ngobrol dengan salah satu Pak Ogah yang tengah mengatur lalu lintas. Namun, ia tak berkenan.
“Mumpung belum semrawut, Mas. Kalau semrawut nanti dia (Pak Ogah) nggak dapat duit. Orang-orang mesti was wes wos kalau sudah ramai nanti,” ujar Kijo (36), warga setempat yang berprofesi sebagai driver ojek online.
“Kalau ramai cuma dapet emosi dan capeknya doang,” sambungnya.
Baca halaman selanjutnya…
Lampu merah dan polisi putus asa