Kasus kekerasan di lembaga pendidikan Indonesia tingkat dasar dan menengah makin marak terjadi sepanjang 2024. Berdasarkan laporan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), sekolah di Jakarta menjadi tempat rawan terjadinya kekerasan, salah satunya bullying.
***
Pendaftaran anak ke sekolah menjadi momen yang dinanti oleh orang tua, sebab pendidikan menjadi modal penting untuk masa depan anak. Pendidikan membentuk karakter anak agar tahan banting di kehidupan sosialnya.
Sayangnya, sekolah tempat menuntut ilmu itu bisa berpotensi menjadi momok bagi seorang siswa. Jumat (27/12/2024) lalu, JPPI merilis data kasus kekerasan di lembaga pendidikan Indonesia tingkat pendidikan dasar dan menengah.
Data itu menunjukkan bahwa kasus kekerasan paling banyak terjadi di sekolah yakni mencapai 64 persen sepanjang tahun 2024. Kekerasan yang terjadi paling banyak adalah kekerasan seksual sebanyak 42 persen, diikuti perundungan sebanyak 31 persen, kekerasan fisik sebanyak 10 persen, kekerasan psikis sebanyak 11 persen, dan kebijakan diskriminatif sebanyak 6 persen.
Dalam kasus kekerasan di lembaga pendidikan, pelakunya cukup beragam. Paling banyak adalah tenaga pendidik alias guru yakni 43,9 persen dan peserta didik sebanyak 13,6 persen. Sementara itu, JPPI mencatat ada 30 kasus kekerasan di Jakarta yang terjadi sepanjang tahun 2024.
Benar saja, saya tak perlu jauh-jauh mencari contoh kasus yang terjadi. Sebab, apa yang saya temukan di salah satu posko penerimaan peserta didik baru (PPDB), Jakarta Selatan pada Rabu (12/6/2024) memberikan gambaran nyata atas data tersebut.
Di tengah keramaian pendaftar yang sedang menunggu di dalam ruangan, saya berjumpa dengan Benny (38) dan keluarganya yang tampak gusar di luar ruangan. Dia bilang hingga jadwal terakhir pendaftaran sekolah hari itu, anaknya belum juga mendapat kepastian akan sekolah di mana.
Kasus Benny memang cukup rumit, sebab anaknya yang masih berusia 7 tahun itu harus pindah sekolah karena bullying. Sekolah sebelumnya menawarkan Benny untuk mutasi, di mana anaknya harus menunggu bangku yang tersedia.
Korban bully sejak kelas 1 SD di sekolah Jakarta
Tahun 2023 lalu, anak Benny untuk pertama kalinya mengenyam pendidikan sekolah dasar (SD). Anak perempuannya itu semangat sekali mengenakan seragam, sepatu, dan menenteng tas baru. Setiap pagi, Benny akan mengantar anaknya yang sekolah di Jakarta menggunakan sepeda motor.
Dua bulan berselang, anak sulungnya itu tiba-tiba merengek tak mau pergi ke sekolah. Benny bingung. Dia pikir itu adalah reaksi yang wajar karena anaknya belum bisa beradaptasi. Namun, kondisi anak Benny tak kunjung membaik setelah beberapa hari.
“Dia waktu lihat gedung sekolah sampai teriak, kebawa mimpi, nangis tiap malam,” ujar Benny kepada Mojok, Rabu (12/6/2024).
Saat melihat respon anaknya yang tampak ketakutan, Benny tidak langsung marah. Dia mencoba menenangkan sembari mengajak ngobrol anaknya pelan-pelan. Saat itulah anak Benny akhirnya terbuka dan mau bercerita.
“Dia mengaku ke saya, sepatunya dilempar-lempar sama teman kelasnya, alat tulisnya dijadikan mainan yang nggak jelas. Anak saya sampai didorong-dorong, diganggu terus-terusan dan diejek dengan kata-kata yang merendahkan,” tutur Benny.
Belum selesai bercerita, Benny dipanggil oleh petugas PPDB. Dia pun meninggalkan anaknya bersama istrinya ke dalam ruangan. Saat sesi menunggu itu, istri Benny gantian bercerita kepada saya.
“Hati orang tua mana yang tega mendengar cerita anaknya di-bully, bahkan ada yang ejek anak saya: anak setan,” ucap istri Benny sembari menahan tangis.
Sekolah di Jakarta marak pungutan
Sesudah mengurus berkas-berkas PPDB, Benny kembali bercerita jika anaknya sebetulnya sudah melaporkan kejadian itu kepada wali kelasnya, tapi tidak digubris. Benny pun datang ke sekolah untuk meminta pertanggungjawaban.
“Kata gurunya, itu tindakan anak-anak yang wajar. Cuman saya bilang, ‘Bu, wajar dari mana? Anak kecil sampai merusak sepatu, membuat anak menjadi trauma hingga tak mau sekolah,’” kata Benny kala itu.
Namun, sekolah tetap memberi alasan yang tak bisa Benny terima. Dia bahkan mengirim surat laporan langsung ke kepala sekolah. Berharap ada langkah yang tepat agar anaknya tidak takut lagi untuk sekolah.
Hasilnya? Sekali lagi, upaya Benny terasa sia-sia. Kepala sekolah malah mendatangi kontrakan Benny sembari memberikan surat pernyataan untuk perkara lain. Dia diminta mengisi surat pernyataan yang tidak lagi mempermasalahkan pungutan di salah satu sekolah Jakarta tersebut.
Alih-alih mengatasi permasalahan bully terhadap siswanya, kepala sekolah justru mempermasalahkan Benny yang tidak sepakat membayar pungutan tiap minggu. Jujur saja, Benny sangsi karena tujuan pungutan itu tidak jelas.
“Alasannya ada saja tiap minggu, misalnya untuk membeli alat kebersihan. Padahal, itu sekolah negeri yang seharusnya tidak ada pungutan,” ujarnya.
Merujuk pada Peraturan Menteri Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 44 tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar, pungutan pendidikan adalah penarikan uang oleh sekolah kepada peserta didik, orang tua/walinya yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan.
Lebih lanjut, Pasal 6 menjelaskan bahwa pungutan tidak dibolehkan untuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau daerah. Namun, bisa menerima sumbangan dari masyarakat yang sifatnya sukarela.
Akibat jadi korban bully harus pindah sekolah
Ketakutan anaknya yang tak kunjung reda mengharuskan Benny pergi ke psikolog. Benny berharap anaknya mau sekolah lagi dan mampu bersosialisasi dengan masyarakat. Sembari menunggu anaknya pulih, dia mengurus kepindahan sekolah anaknya di Jakarta.
Namun, persoalan administrasi itu tak berjalan mulus. Selain mengurus berkas-berkas di sekolah, Benny harus mengurus istrinya yang ada di rumah sakit karena mengalami pendarahan saat hamil anak ketiga mereka.
Dia pun meminta izin kepada sekolah untuk memberi kabar di lain hari. Namun, saat hendak mengabari lebih lanjut, nomor guru-guru tersebut sudah tidak aktif. Proses kepindahan anaknya pun jadi tertunda berbulan-bulan.
“Mumpung sekarang PPDB sudah buka, akhirnya saya daftarkan sekolah anak saya lagi,” ujarnya.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji mengatakan seharusnya setiap sekolah memiliki tim pencegahan dan penanganan kekerasan (TPPK). Namun, 83 persen orang tua dan masyarakat jarang mengetahui keberadaan satuan tugas tersebut.
Pada akhirnya, mayoritas masyarakat mengaku tidak puas terhadap penanganan kasus kekerasan di sekolah mereka. JPPI mengimbau agar sekolah-sekolah mengampanyekan anti kekerasan serta perlindungan saksi dan korban.
“Saat ini mereka (Satgas TPPK) kurang banyak berperan. Karena itu, capacity building harus ditingkatkan, sebagai dalam upaya optimalisasi peran pencegahan dan penanggulangan yang efektif dan berdampak pada terwujudnya sekolah yang aman dan ramah anak,” ujarnya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Mahasiswa UNY Dibully Gara-Gara Pemilu BEM Fakultas: Diancam Potong Telinga hingga Takut Beribadah atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan