Sebuah SD di Rembang, Jawa Tengah, selalu menjadi tempat teror mengerikan bagi warga sekitar. Terutama saat surup hingga malam hari.
Saya mendengarnya lewat desas-desus. Maka saya mencoba mendatangi SD di sebuah desa di Rembang, Jawa Tengah, tersebut pada suatu sore, Jumat (20/12/2024).
Cukup lama saya mondar-mandir di depan SD tersebut. Beberapa warga—yang baru pulang dari ladang di sekitar—menatap saya agak aneh. Mungkin mereka asing dengan wajah saya. Atau barangkali mereka menduga-duga: apa yang saya lakukan di SD tersebut.
SD Jawa Tengah yang sajikan suasana mencekam
Sepintas, bangunan SD di Rembang, Jawa Tengah, tersebut tidak mengesankan keanehan. Catnya tampak baru. Bangunanya pun bersih. Tidak ada corert-coret atau bagian dinding yang mengelupas. Hanya tulisan nama SD-nya saja yang tampak rusak di beberapa huruf.
Kalau dibandingkan dengan SD di desa saya—juga di Rembang—rasa-rasanya malah lebih menyeramkan SD desa saya (SDN Manggar II). Saya pernah berbagi cerita perihal betapa ngerinya SD saya di kanal YouTube Podcast Malam Paling Asli.
Memang, konon, masih banyak SD dengan nuansa menyeramkan di Rembang, Jawa Tengah. Tidak hanya SD desa saya. Namun, secara suasana, SD yang saya kunjungi itu saya akui suasananya lebih mencekam.
Gambarannya kira-kira seperti suasana SD di film Waktu Maghrib (2023): sebuah desa yang jauh dari keramaian dan dikelilingi perladagang. Hanya ada kesenyapan setiap menjelang azan Magrib.
Oh iya, untuk SD yang saya tulis ini, narasumber yang saya temui meminta agar saya tak menyebut nama desanya. Dia khawatir dianggap menyebarkan citra buruk atas SD di desanya tersebut.
Becerita di langgar tua
Jarak SD dengan permukiman warga memang cukup jauh. Bedanya dengan desa saya: jarak SD ke permukiman memang harus naik turun terlebih dulu. Sementara SD yang saya kunjungi itu jalurnya lebih landai. Hanya saja blusuk-blusuk.
Saya langsung menuju sebuah langgar tua: gaya arsitekturnya seperti gaya tempo dulu. Catnya pun sudah memudar. Saya lantas ikut salat Magrib berjemaah dengan warga sekitar. Mayoritas orang berumur. Anak-anak hanya hitungan jari saja.
“Kalau anak-anak muda di sini rata-rata merantau. Ke mana-mana. Surabaya, Kalimantan,” ucap Durasim (45), salah satu warga yang saya temui saat duduk-duduk di pelataran langgar.
Saya pun langsung melayangkan pertanyaan perihal desas-desus kengerian SD di desanya. Durasim langsung terkekeh. Dia bersedia bercerita. Tapi dengan syarat, nama desanya di Rembang, Jawa Tengah, itu tak perlu ditulis terang benderang.
“Cukup tulis SD asal Rembang saja,” katanya.
Teror sosok hitam di sebuah SD di Jawa Tengah
Baru beberapa minggu lalu, sebelum saya berkunjung, ramai cerita dari salah seorang warga yang jatuh hingga pingsan di depan SD di Rembang, Jawa Tengah itu.
Ceritanya, ada seorang warga (ibu-ibu) yang baru pulang dari luar desa. Dia melintasi SD pada jam-jam selepas Isya seorang diri dengan mengendarai motor.
“Katanya ada sosok hitam besar menghadang. Terus dia oleng, jatuh, pingsan. Ditolong pas ada warga lain yang melintas,” tutur Durasim.
Tidak semua warga di desanya mendapat gangguan tiap melintas di SD tersebut. Tapi memang sudah banyak yang mengaku mengalami hal mengerikan di sana.
“Lagi sial saja, Mas. Seperti aku ini ya sering kalau lagi kumpul-kumpul sama warga lain, ada saja cerita tentang SD itu. Tapi aku sendiri nggak pernah ngalami,” ungkapnya.
“Bahas apa e, Sim?” Di tengah-tengah obrolan kami, seorang sepuh berambut putih menegur Durasim.
“Nah, kalau Mbah Likur ini punya cerita banyak,” ucap Durasim sambil melambai ke arah sosok sepuh yang dipanggil Mbah Likur tadi. Mbah Likur lantas mendekat.
Genderuwo yang suka menghadang
Mbah Likur ternyata dikenal sebagai mbah-mbah pemberani di desa itu. Dia sudah khatam betul dengan teror-teror di SD tersebut.
“Bukan bekas kuburan. Cuma sejarahnya, dulu SD itu dibangun kan ada banyak pohon besar yang ditebang. Pohon besar kan sarangnya demit. Karena pohonnya nggak ada, ya demitnya pindah tinggal di SD,” jelas Mbah Likur dengan antusias.
“Memang genderuwo itu yang paling sering ngetok (menampakkan diri),” sambungnya.
Mbah Likur kelewat sering melintas di SD itu di jam-jam malam. Dia mengaku beberapa kali dihadang si genderuwo. Namun, karena dasarnya pemberani, gangguan genderuwo itu justru tidak mempan di Mbah Likur.
“Biasanya cuma saya bilang, mbok jangan ganggu. Terus ilang,” katanya. Itu sudah sering Mbah Likur alami sejak masih muda.
Tangis perempuan dan anak-anak
Munjib (17), seorang remaja yang ikut berjemaah di langgar lantas urun cerita.
Munjib sekolah di salah satu SMA di Rembang. Jaraknya 25 menitan dari desanya.
Sekolahnya biasanya sudah pulang jam dua siang. Namun, Munjib kerap menghabiskan waktu untuk main bersama teman-temannya terlebih dulu. Entak sekadar nongkrong di warung kopi atau main ke pantai.
“Karena sekali pulang, mau keluar lagi ya wegah. Jauh dari peradaban,” ungkapnya.
Maka, biasanya Munjib akan masuk desa pada jam-jam Magrib. Suasana di SD sudah cukup mencekam di jam-jam tersebut.
“Kalau aku seringnya dengar suara tangisan. Kadang perempuan, kadang anak kecil. Tapi aku nggak pernah tahu wujudnya. Kalau udah denger gitu, langsung ngebut (bawa motornya),” ucapnya.
“Dulu pas kamu sekolah di SD situ gimana, Jib?” tanya saya spontan.
“Wah dari dulu itu kami udah dengar banyak cerita horor dari orang-orang tua. Kalau ngalami sendiri itu, aku ingat, dulu di kelasku ada yang kesurupan gara-gara kencing di pojok belakang, dekat gudang. Orangnya masih hidup, bisa aku WA-kan,” panjang lebar Munjib menceritakan.
Asyik menyimak cerita-cerita mereka, tahu-tahu sudah azan Isya. Saya pun kembali ikut salat Isya berjemaah di langgar tua itu. Selepasnya, saya mulai kepikiran, apakah saya berani melintasi SD itu sendirian untuk pulang?
“Aku antar sampai dekat SD, seterusnya nanti sampean tancap gas saja yang kenceng,” saran Munjib. Saya mengiyakan, meski tetap saja deg-degan.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Desa Manggar di Rembang: Jejak Mistis yang Meneror Warga atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan