Permukiman lebih dari satu abad di dalam kompleks Candi Ratu Boko
Dulunya, area di dalam kompleks Candi Ratu Boko merupakan permukiman warga. Seingat Dawud, ada lebih dari 30 KK yang menempati rumah-rumah di dalam.
Rumah berdiri berdampingan dengan bebatuan candi. Candi Ratu Boko yang disebut juga Kraton Ratu Boko diperkirakan merupakan situs yang dibangun pada abad ke-8 oleh Wangsa Syailendra yang beragama Budha. Setelah itu, diambil alih oleh raja-raja Mataram Hindu.
Berabad-abad kemudian, ketika kerajaan-kerajaan itu runtuh, di area candi mulai banyak permukiman warga. Seperti rumah milik keluarga Dawud ini yang sudah ditinggali beberapa generasi.
“Sudah lama sekali keluarga saya tinggal di sini. Dari simbah buyut saya. Berarti sudah lebih dari 100 tahun,” tuturnya.
Bapaknya, selain menjadi petani juga dulu dikenal sebagai tukang gali sumur tradisional. Beberapa sumur warga di sekitar candi menurutnya digali oleh bapaknya. Ilmu itu juga diturunkan kepada Dawud. Namun, ia memutuskan untuk tidak menggeluti profesi sebagai penggali sumur tradisional.
Dulu, ternak-ternak milik warga diumbar di padang rumput area perbukitan yang luas ini. Membayangkannya saja seperti syahdu sekali. Kami semakin intens mengobrol sehingga Dawud memilih mematikan radionya yang sedari tadi menyala. Lalu mengisahkan tentang awal mula kepindahan warga dari dalam area candi.
Menolak direlokasi sejak 1985, sampai dicap komunis
Meski di area depan candi, ramai pengunjung, sekitar warung ini, yang berada di ujung timur kompleks sedari tadi sepi. Ada satu dua orang yang melintas namun tidak menghampirinya.
Meski tidak tinggal di bangunan ini lagi, selain untuk menjaga warung, ikatan Dawud dengan tanah milik orang tuanya begitu mandalam. Ia ingat, saat kompleks candi hendak dipugar dan ditata pada 1985, bapaknya memilih mempertahankan tanah dan tidak mau pindah.
Dari puluhan KK, hanya lima rumah yang memilih bertahan, salah satunya milik keluarga Dawud. Ia ingat pesan bapak, bahwa tanah ini harus dijaga karena uang bisa cepat habis namun tempat ini bisa turun temurun lintas generasi.
“Dulu ya cukup ditekan supaya menjual rumah. Zaman Pak Harto kan keras to Mas. Kami sampai minta bantuan LBH yang dulu kantornya di dekat Pasar Beringharjo,” kenangnya.
“Bahkan dulu karena kekeuh nggak mau jual rumah, kami dibilang komunis. Padahal nggih mboten onten komunis-komunisan keluarga niki,” sambungnya tertawa.
Tanpa bantuan LBH, Dawud yakin tanah ini sulit bertahan. Beruntungnya, masa berat itu telah terlalui.
Sepeninggal bapaknya, sempat ada tawaran kembali untuk menjual tanah dengan luas sekitar 800 meter persegi milik keluarganya. Namun, hal itu dinegosiasikan pihak pemerintah ke kakaknya.
“Ya kalau saya ngikut saja soal itu. Urusan kakak saya. Tapi kalau ingat dulu pesan bapak nggih tanah ini perlu dijaga terus,” tuturnya.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah lima, wisata Candi Ratu Boko Jogja tutup pukul lima. Warung milik Dawud pun tutupnya menyesuaikan dengan jam tersebut.
Beruntungnya, tiba-tiba rombongan puluhan orang yang lelah berkeliling mampir di warung tersebut. Dagangan Dawud yang daritadi sepi jadi berubah menjadi ramai. Raut bahagia terlihat di wajahnya.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Bu Lasiyem, Warung Makan yang Nyempil Sendirian di Halaman Hotel Hyatt Jogja
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News