Anak Kuliah Enteng Minta Jatah UKT dan Kiriman Bulanan Tiap Saat, Bapak Hanya Bisa Sok Berduit padahal Tertekan

Saat anak jadi mahasiswa: riang menanti kiriman uang bulanan dan jatah UKT, sementara bapak tertekan MOJOK.CO

Ilustrasi - Saat anak jadi mahasiswa: riang menanti kiriman uang bulanan dan jatah UKT, sementara bapak tertekan. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Bagi mahasiswa, tanggal-tanggal menjelang kiriman uang bulanan adalah hari yang sangat dinanti. Ketika sejumlah uang masuk ke dalam rekening, hati lantas riang bukan main. Begitu juga jika orangtua bisa memberi uang untuk membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) tepat waktu.

Sebab, dengan membayar UKT tepat waktu, maka si mahasiswa bisa lebih cepat mengatur SKS mata kuliah yang akan diambil.

Namun, situasi berbeda dialami oleh seorang bapak. Tanggal-tanggal menjelang kiriman uang bulanan dan membayar UKT bisa menjadi hari paling menekan.

Di momen itu, seorang bapak tidak jarang memilih berbohong: Pura-pura punya uang padahal untuk makan di rumah saja tidak ada.

Tak bisa melarang anak yang ingin jadi mahasiswa

Turun dari bus di Kudus pada Minggu (22/6/2025) sore WIB, diiringi gerimis, saya berjalan menuju sebuah warung kopi pinggiran jalan. Ada sebuah truk terparkir di sana.

Di warung kopi itu, seorang sopir berumur 50-an tengah mengisap dalam-dalam sebatang rokoknya. Sementara kopi di hadapannya sebentar lagi tandas.

Saat saya mengajaknya berbincang, perbincangan kami awalnya tidak jauh-jauh dari demo ODOL yang viral belakangan. Kemudian saya tahu nama sopir itu adalah Sukardi, asal Purwodadi, Jawa Tengah.

Seiring waktu, obrolan kami lantas beralih soal perkuliahan. Karena Sukardi mengira saya adalah mahasiswa yang tengah pulang kampung karena tepat di hari Minggu.

Sukardi lantas bercerita tentang anak perempuannya yang saat ini masih menjadi mahasiswa aktif di sebuah kampus di Solo, Jawa Tengah.

“Baru kuliah 2023 lalu. Pas genduk (sebutan untuk anak perempuan) minta kuliah, itu mintanya ke ibunya. Nggak berani ke saya,” ungkap Sukardi.

Pasalnya, anak Sukardi tahu belaka kalau Sukardi pasti akan keberatan. Mengingat, dia hanya seorang sopir. Penghasilannya tidak menentu. Tidak besar juga.

“Tapi ibunya bilang, mbok didukung. Toh anak perempuan. Kasihan juga kalau harus kerja serabutan kayak kakaknya. Kakaknya (laki-laki) kan cuma sampai SMK setelah itu kerja di bengkel,” sambung Sukardi.

Sukardi tak kuasa menolak. Hati Sukardi selalu terenyuh jika menyoal anak perempuannya itu.

Kiriman uang bulanan dan UKT: ibarat injak gas tanpa bisa ngerem

Pada awalnya Sukardi berfikir semua akan berjalan mudah. Pembayaran UKT adalah setiap satu semester (enam bulan) sekali. Artinya, dia punya waktu cukup untuk menyisihkan sedikit demi sedikit untuk UKT sebesar Rp4 jutaan itu.

Akan tetapi, seiring waktu, uang yang ada di dompet Sukardi lebih sering habis untuk memberi kiriman uang bulanan, alih-alih bisa terkumpul untuk jaga-jaga UKT satu semester ke depan.

Pasalnya, sering kali sang anak sering kehabisan uang bahkan sebelum waktunya kiriman bulanan.

“Kalau ada uang, ya sudah kukirim langsung. Entah kiriman bulanan atau UKT. Nggak tega lah kalau anak harus nunggu-nunggu. Sisanya yang sedikit dibagi dua, buat pegangan saya di jalan sama buat belanja ibunya di rumah,” jelas Sukardi.

Dengan kata lain, Sukardi dan istrinya harus rela hidup sehemat mungkin. Mereka boleh kekurangan. Tapi anaknya yang tengah meniti jalan menjadi mahasiswa jangan sampai merasakan hal yang sama.

Jika situasinya Sukardi sedang tidak pegang uang banyak, maka solusinya adalah meminta sang istri untuk utang ke saudara.

“Saya nggak mau libatkan kakaknya (anak laki-laki Sukardi) juga. Biarkan uangnya buat hidup dia sendiri,” kata Sukardi.

Tak ada sesal meski uang habis untuk kiriman bulanan dan UKT anak

Kendati sedang dalam situasi sulit, pantang bagi Sukardi dan istrinya untuk berterus terang pada sang anak. Misalnya dengan bilang, “Nduk, bapak lagi seret. Kamu berhemat ya,” atau “Nduk, bapak lagi belum ada uang, kirimannya agak telat ya.”

Tidak pernah kalimat-kalimat itu keluar dari mulut Sukardi dan istri. Yang ada adalah, lanjut Sukardi, meminta anaknya agar jangan terlalu menahan diri.

“Saya bilang ke genduk, kalau pengin apa ya beli. Kalau pengin maem apa yang kamu suka ya beli. Jangan nahan-nahan. Jangan sampai makannya kurang. Uang bisa dicari,” ucap Sukardi dengan mata yang tiba-tiba berkaca-kaca.

Bersamaan dengan itu, bulu kuduk saya seketika meremang. Saya merinding mendengarnya. Karena itu jugalah yang bapak saya ucapkan dulu di masa-masa awal saya kuliah, sebelum coba-coba mencari uang jajan sendiri.

“Pokoknya yang lapar biar orangtua saja. Yang merasa kekurangan biar orangtuanya saja. Anak jangan sampai. Dia nggak bisa milih lahir dari bapak kaya atau miskin. Maka ketika dia lahir di tengah-tengah keluarga dengan ekonomi kurang baik seperti saya, tugas saya adalah jangan sampai dia merasa salah dilahirkan dari seorang bapak seperti saya,” beber Sukardi. Lagi-lagi, saya merinding.

Bahkan setelah Sukardi beranjak pergipun, saya masih merinding. Ada perasaan sesak yang aneh di dada saya yang sulit saya pahami. Ah, barangkali baru bisa saya pahami kelak jika saya memasuki fase menjadi seorang bapak seperti Sukardi.

Pura-pura sanggung: upaya orangtua bahagiakan anak

Pada Mei 2025 lalu, saya menerima cerita dari Giri (25), seorang pemuda asal Pekalongan, Jawa Tengah.

Saat akhirnya kuliah di sebuah kampus top di Semarang pada 2018, Giri girang bukan main karena orangtuanya tak masalah. Bahkan, sang bapak yang hanya seorang penjual pakaian, menyatakan sanggup membayar UKT Giri sebesar Rp5 juta sekaligus jatah kiriman uang bulanannya.

“Itupun dulu kadang jatah bulananku sering habis sebelum waktunya. Kalau sudah begitu, minta kiriman lagi ke bapak. Bapak nggak ngeluh, pasti dikirim lagi,” kata Giri.

Setelah lulus pada 2022, Giri akhirnya tahu dari sang ibu, bahwa selama Giri menjadi mahasiswa, sang bapak hanya pura-pura sanggup menanggung biaya kuliah Giri.

Kapanpun Giri meminta kiriman, pasti akan langsung dikirim oleh bapaknya. Itu bukan karena bapak Giri memang punya uang banyak. Tapi karena lebih sering utang.

“Itulah kenapa ibu berpesan betul agar aku jangan lupakan jasa bapak. Harus hormat padanya, harus ikhlas mengurusnya,” Tutur Giri, yang cerita lengkapnya bisa dibaca di tulisan, “Saat Anak Lolos SNBP dan Tak Sabar Jadi Mahasiswa, Seorang Bapak Hanya Bisa Pura-pura Ikut Gembira padahal Batinnya Nelangsa”.

enulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Tinggalkan Skripsi Gara-gara Urusan Asmara, Berujung DO dan Sakiti Ibu hingga Susah Cari Kerja atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version