Pajak Pertambahan Nilai alias PPN tidak jadi naik. Hal itu ditegaskan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melalui pernyataan di akun Instagramnya @smindrawati, Selasa (31/12/2024) malam.
“PPN tidak naik…!,” tulisnya, yang baru saja menghadiri rapat Tutup Kas APBN 2024 di Kementerian Keuangan yang dihadiri oleh Presiden Prabowo Subianto.
Lihat postingan ini di Instagram
Dia juga menegaskan, seluruh barang dan jasa yang selama ini tidak dikenai PPN akan tetap bebas dari pajak tersebut. Lalu barang dan jasa yang selama ini dikenakan PPN 11 persen juga tidak akan mengalami perubahan atau kenaikan menjadi 12 persen.
PPN tidak naik, tapi harga telanjur naik
Banyak netizen menyambut baik pernyataan Sri Mulyani. Hal tersebut terlihat dari kolom komentarnya yang mengaku bersyukur PPN tidak jadi naik.
Akan tetapi, fakta di lapangan justru memperlihatkan sebaliknya. Menurut pantauan reporter Mojok, beberapa harga barang-barang di minimarket, toko retail, bahkan warung Madura sudah naik harganya.
Misalnya, minuman kemasan mulai mengalami kenaikan sebesar Rp1.000-2.000 di minimarket. Beberapa merek minyak, yang semula Rp16.000, sudah naik menjadi Rp20.000.
Sementara di warung Madura, para penjual juga sudah mulai menaikan harga barang bahkan seminggu sebelum tahun baru. Produk makanan dan minuman ringan, sabun, hingga rokok, naik mulai Rp500-2.000.
“Soalnya dari supplier-nya juga sudah naik harganya, Mas. Jadi kami menjaga margin saja,” kata Jayadi, seorang penjaga warung Madura di kawasan Seturan, menjelaskan alasannya menaikan harga.
Selain harga beberapa barang yang telanjur naik, masyarakat juga dibikin belum bisa bernafas lega. Sebab, ada banyak pungutan negara dan kenaikan tarif yang kudu mereka sambut. Apa saja? Berikut Mojok merangkum beberapa di antaranya.
#1 Tapera
PPN tidak naik, tapi masih ada Tapera. Tabungan Perumahan Rakyat ini merupakan iuran wajib yang disetorkan buruh dengan gaji di atas UMR, untuk dimanfaatkan dalam pembiayaan rumah. Kebijakan ini ditandangani Jokowi pada 20 Mei 2024 dan akan mulai diimplementasikan tahun 2025.
Nantinya, para ASN, pekerja swasta, dan buruh freelance, wajib menyetor 3 persen dari upah untuk Tapera. Rinciannya 0,5 persen ditanggung oleh pemberi kerja, dan 2,5 persen oleh pekerja.
Sayangnya, menurut anggota Serikat Merdeka Sejahtera (SEMESTA) Jogja, Bagas Damarjati, Tapera ini sebenarnya cuma akal-akalan pemerintah. Kebijakan ini tak memberikan solusi apa-apa terkait polemik pekerja yang kesulitan dapat hunian.
Selain itu, bagi para buruh Jogja, secara hitung-hitungan Tapera tak akan “menghasilkan” rumah. Misalnya, jika seorang pekerja gaji UMR Jogja dipotong 3 persen per bulan selama lima tahun (periode keikutsertaan), maka hasilnya kurang dari Rp5 juta.
“Tetap nggak dapat rumah,” kata Bagas. “Makanya ini cuma akal-akalan. Masalahnya bukan kita bisa nabung atau tidak, tapi harga properti yang semakin tinggi.”
#2 Iuran BPJS Naik
Selain Tapera, ada juga kenaikan iuran BPJS. Isu ini bahkan sudah mencuat sebelum wacana kenaikan PPN menjadi bola panas. Makanya, ketika PPN tidak naik, masyarakat masih dibikin was-was.
Naiknya iuran BPJS Kesehatan pada 2025, terjadi karena defisit keuangan lembaga ini yang terus membengkak. Nilainya mencapai Rp20 triliun. Kalau dibiarin, lembaga ini nggak akan bisa membayar klaim rumah sakit yang telah merawat para peserta program JKN.
Kalau berpijak pada Perpres Nomor 59 Tahun 2024, sih, tenggat waktu kenaikan iuran bakal jatuh per 1 Juli 2025. Jadi, nantinya akan ada skema baru iuran BPJS Kesehatan–sejalan dengan diterapkannya sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang menggantikan sistem kelas 1, 2, dan 3.
Masih mau bersyukur PPN tidak naik?
#3 Tarif KRL
Awal 2025, warga Indonesia dibikin nano-nano: PPN tidak naik, tapi anggaran buat transportasi umum dipangkas. Alhasil, banyak bus pelayanan publik seperti TemanBus yang berhenti beroperasi. Tak sampai di situ, pemerintah juga berencana bakal menaikkan tarif Kereta Rel Listrik (KRL).
Selama ini, skema subsidi KRL adalah public service obligation (PSO). Ia merupakan bantuan keuangan yang diberikan pemerintah kepada PT Kereta Api Indonesia (KAI) untuk menjamin tarif KRL tetap terjangkau. Nah, skenario anyar yang disiapkan pemerintah: mengubah skema subsidi menjadi berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Jadi nantinya, pengguna yang masuk golongan miskin akan mendapatkan subsidi tarif dari pemerintah, sedangkan warga yang dianggap mampu, dikenakan tarif non-subsidi.
Banyak pengamat transportasi mengkritik skema ini. Selain bakal bikin harga makin tinggi, kebijakan tersebut kontraproduktif dengan visi mendorong masyarakat beralih ke transportasi publik.
#4 UKT naik serentak, sama ngerinya dengan PPN
Bagi banyak mahasiswa, PPN tidak naik cuma satu persoalan. Mereka memang bersyukur soal keputusan itu. Namun, ada hal lain yang bikin was-was: UKT naik.
Ferdi (20), mahasiswa salah satu PTN di Jogja, malah sudah mencium gelagat ini sejak tahun lalu. UKT di kampusnya sudah mulai naik di beberapa golongan. Bahkan, beberapa jurusan sudah menambah golongan baru dengan nominal UKT lebih mahal.
“Memang rakyat menang. PPN tidak naik. Tapi masih ada musuh lain, terutama mahasiswa, ya, UKT naik dong tentunya,” ujarnya.
Memang, Jokowi sempat membatalkan wacana kenaikan UKT pada Mei 2024 lalu. Namun, eks Presiden RI ini menyebut rencana kenaikan UKT akan dievaluasi dan kemungkinan baru diterapkan pada 2025 ini.
Fyi, nih, kenaikan UKT itu merupakan impak dari pemberlakuan Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi. Ya, karena PTN nggak lagi dapat bantuan pembiayaan dari pemerintah, mereka harus mencari pendanaan secara mandiri. Cara paling instan: menaikkan UKT hingga 100%.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Frugal Living Bukan Solusi Hadapi Kenaikan PPN, Kelas Menengah Tetap Mengkis-mengkis atau liputan Mojok lainnya di rubik Liputan