Sudah lebih dari sepekan Program Makan Bergizi Gratis berlangsung di sekolah-sekolah Sleman, Jogja. Tim Mojok mendapat kesempatan untuk mengamati pelaksanaan program tersebut di salah satu sekolah. Hasilnya? Tentu jauh dari kata “sempurna”.
***
Waktu baru menunjukkan pukul 9 pagi. Tetapi, ratusan siswa SD Negeri Sinduadi Timur, Sleman, Jogja, telah berhamburan keluar dari kelasnya. Mereka keluar untuk antre mengambil tepak makan yang berada di depan kelas.
Setelah mengambil tepak makan satu persatu, para siswa kembali ke tempat duduknya dan meletakkan tepak makan itu di atas meja. Kemudian, mereka keluar lagi untuk mencuci tangan di keran depan sekolah. Selanjutnya, mereka mengeringkan tangannya dengan kain lap warna biru yang sudah tersedia dan kembali duduk di bangkunya masing-masing.
“Yang tertib ya,” ujar Sri Rejeki, salah satu guru yang mengawasi siswa-siswi kelas 2 tersebut.
Setelah semua siap, para siswa membuka tutup piring makan stainless di hadapannya. Ada yang ceria karena dapat menu tahu, telor, sayur, dan susu bantal–tak ada menu ayam. Ada pula yang terkejut dengan ukuran buah di dalamnya.
“Alamak, kecil sekali jeruknya,” ujar salah satu siswa, terkejut.
Kegiatan itu, menjadi rutinitas baru di sekolah tersebut setelah adanya Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan Presiden Prabowo. Sebelumnya, kami sudah minta izin kepada pihak sekolah untuk membuat konten. Sambutannya pun positif. Anak-anak juga tampak senang saat ditanya.
Untung bagi siswa SD di Sleman, Jogja
Nizam (8) memakan lahap menu Makan Bergizi Gratis yang diadakan pemerintah Prabowo-Gibran. Tak ada yang tersisa di piring makannya. Kecuali kuning telur yang sengaja ia sisakan untuk dimakan di akhir.
Setelah menghabiskan semuanya, dia langsung cuci tangan. Lalu meletakkan piring di atas meja yang sudah tersedia di depan kelas.
“Enak!” kata Nizam sambil menunjukkan susu bantal miliknya yang belum habis.
Nizam berujar selama ini tak pernah membawa bekal makan siang. Ia juga jarang sarapan. Biasanya kalau lapar dia lebih memilih beli di kantin sekolah atau membeli jajanan di depan sekolah. Biasanya, ia membeli mie instan, ice cream, atau sejenis snack untuk mengganjal perut.
“Dulu sanguku Rp10 ribu, sekarang jadi Rp7 ribu,” ujar Nizam yang tampak kecewa dengan pengurangan uang saku tersebut.
Begitu juga dengan Nevan (8), teman sekelas Nizam. Uang sakunya bahkan lebih kecil, yakni Rp4 ribu. Sama seperti Nizam, Nevan juga tak pernah membawa bekal.
“Ibu sibuk kerja,” ucap Nevan, salah satu siswa di SD Negeri Sinduadi Timur, Sleman, Jogja.
Tak hanya Nevan dan Nizam. Karena ada alasan tertentu yang melatarbelakanginya, Nindi juga mengaku tak pernah membawa bekal ke sekolah.
Jauh dari kata Makan “Bergizi” Gratis (MBG)
Nindi mengaku tak menghabiskan makanannya tadi siang, tapi Ibu Guru menyarankan para siswa untuk membawanya pulang. Makanan yang tidak habis bisa mereka simpan di dalam plastik yang sudah disediakan. Ada juga siswa yang sudah siap sedia membawa tepak makan kosong.
“Aku tadi nggak habis tapi telurnya enak. Kalau tahu dan sayurnya aku simpan dalam plastik buat dibawa pulang,” ucap Nindi.
Sementara itu, Dosen Gizi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair), Lailatul Muniroh mengatakan seharusnya program Makan Bergizi Gratis (MBG) punya menu yang beragam dan aman. Yang paling penting adalah seimbang, baik dari karbohidrat, protein, lemak, dan tercukupinya kebutuhan vitamin, mineral, serat, dan air.
Namun, saat melihat realisasinya, ia jadi ragu. Lailatul bercerita kalau beberapa minggu yang lalu ia mendapat kiriman contoh menu MBG dari salah satu sekolah di Sidoarjo, Jawa Timur. Ia lantas mengernyitkan dahi, karena sekilas, makanan itu belum sesuai dengan pedoman Isi Piringku yang dicanangkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI.
“Lauk, meski dengan protein hewani pun, secara kuantitas terlalu sedikit, begitupun buahnya. Secara kuantitas belum memenuhi 40 persen total kalori sehari, dan secara kualitas pun masih belum sesuai,” ujarnya dikutip dari laman resmi Unair, Selasa (21/1/2025).
Berdasarkan amatan Mojok di lapangan, apa yang Lailatul keluhkan juga ditemui di SD Negeri Sinduadi Timur, Sleman, Jogja. Protein hewani, misalnya, jumlahnya terlalu sedikit; hanya ada satu butir telur. Bahkan, salah satu siswa tak memperoleh telur di paket MBG-nya. Masih menjadi misteri mengapa telurnya hilang.
Sisanya, hanya ada sayur janten (jagung muda) dan kacang panjang, serta tahu goreng, jeruk, susu bantal sebagai pelengkapnya.
Siswa SD di Sleman, Jogja lebih pilih beli mainan ketimbang makanan
Selain menyarankan siswa untuk membawa pulang makanan yang tak habis, guru-guru tak melarang siswa untuk membeli makanan di kantin atau luar sekolah. Itu untuk menyiasati siswa yang masih lapar.
SD Negeri Sinduadi Timur, Jogja sendiri memberikan waktu bagi para siswa sekitar 15 menit untuk istirahat usai makan siang bersama. Mereka boleh berada di dalam ataupun luar kelas.
Tak jauh dari gerbang sekolah, saya sudah melihat Nindi sedang menikmati ice cream seharga Rp3 ribu. Dia bilang, sisa uangnya tinggal Rp7 ribu. Alih-alih menabung atau membeli jajanan lain, Nindi lebih ingin membeli mainan macam-macam.
“Wah dapat ikat rambut,” kata Nindi yang baru saja membuka mainan kotak hadiahnya di samping saya.
Sementara itu, Erik, pedagang cilok yang sudah mangkal di SD Negeri Sinduadi Timur, Sleman, Jogja itu mengaku sedih, karena jualannya tak ramai seperti biasa. Erik yang sudah berdagang sejak tahun 2007 tersebut berujar pendapatannya turun sekitar 50 persen gara-gara program MBG.
“Ya, semenjak ada program makan siang gratis itu lo, Mbak. Yang lain juga turun, di mana-mana pun saya dagang juga gitu,” kata dia.
Tak hanya Erik. Panipon yang juga sudah lama berdagang kue laba-laba di sana bilang, banyak anak yang uang sakunya dikurangi karena program makan bergizi gratis. Malahan, anak-anak lebih memprioritaskan beli mainan ketimbang makanan–sebagai contoh Nindi tadi.
Selain itu, tak jauh dari rombong Erik dan Panipon juga sudah terlihat anak-anak lebih banyak membeli ikan, burung, dan mainan lain yang menurut mereka lebih menarik. Sementara, Erik dan Panipon hanya bisa saling memandang.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Kedermawanan Ibu Kantin Sekolah, Penolong Siswa Sebelum Ada Program Makan Bergizi Gratis atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.