Suasana Pedagang Kaki Lima (PKL) Srikana dulu dan kini tak lagi sama. Sebelum direvitalisasi, tempat itu menjadi penyelamat bagi mahasiswa Universitas Airlangga (Unair), Surabaya yang ingin berutang atau nggak ada duit buat nongkrong di kafe.
***
Pemerintah Kota Surabaya sudah merevitalisasi PKL Srikana menjadi Sentra Wisata Kuliner (SWK) Srikana pada 2024. Upaya revitalisasi itu sempat mendapat kecaman dari mahasiswa karena dianggap merugikan pedagang.
Sebagian mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) khususnya kampus B punya kenangan tersendiri saat nongkrong di sana. PKL Srikana menjadi rujukan bagi mahasiswa perantauan untuk bertahan hidup di Surabaya sembari menyelesaikan masa studinya.
Tempat nongkrong mahasiswa miskin Universitas Airlangga
Salah satu alumni mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Suhek (27) mengaku telah menjadi pelanggan tetap PKL Srikana. Sejak mahasiswa baru di Universitas Airlangga (Unair) dan pindah ke Surabaya, dia sering nongkrong hingga larut malam.
Sebagai mahasiswa perantauan, PKL Srikana membuat Suhek bisa berhemat. Harga makanan dan minuman di PKL Srikana memang terbilang murah untuk mahasiswa. Suhek bilang rata-rata harganya di bawah Rp15 ribu.
Meskipun PKL Srikana berada di tengah lingkungan yang menyediakan banyak kafe, tapi tempat itu tak pernah sepi dari pengunjung. Suhek mengatakan pembeli di PKL Srikana kebanyakan adalah mahasiswa menengah ke bawah, termasuk dirinya.
“Ya mohon maaf ya, saya terlahir dari bapak ibu yang kerjanya sebagai guru ngaji,” ucap Suhek pada Rabu (20/11/2024).
“Saya agak shock melihat mahasiswa yang hedon, kayak orang-orang itu gampang banget ngabisin duit mereka, dikit-dikit ke mall, ke Starbucks,” ujarnya.
Sementara Suhek harus bertahan hidup dengan kiriman uang dari keluarganya di kampung.
Penyelemat bagi mahasiswa KIP Kuliah
Bagi Suhek, PKL Srikana adalah rumah kedua. Tempat itu membuatnya bertahan dari kehidupan Surabaya yang keras. Meskipun banyak angkringan lain yang berdiri, Suhek merasa mendapatkan keluarga baru di PKL Srikana.
Suhek bahkan sering menginap di salah satu warung. Dia ingat betul pemilik warung itu bernama Cak Di yang juga menjadi ketua paguyuban di tahun 2017.
“Aku merasa jadi anak angkat, mungkin beliau sesayang itu sama aku,” kata Suhek.
Hal itu juga dirasakan Imam (22). Pemuda asal Kebumen itu merupakan mahasiswa Unair yang menerima kartu indonesia pintar (KIP) Kuliah. Dia sering nongkrong di PKL Srikana ketika dana beasiswa itu belum cair.
“Pernah cairnya bulan ke tiga sampai empat, itu masa-masa sulit bagiku. Tapi PKL Srikana adalah penyelamat bagi mahasiswa KIP sepertiku,” ucapnya.
Selain KIP Kuliah yang belum cair, orang tuanya juga kesulitan mengirimkan uang saat itu. Karena sering nongkrong di sana, Imam jadi akrab dengan salah satu pemilik warung. Dia bahkan pernah berutang hingga Rp75 ribu untuk membeli makan dan minum.
“Orangnya pun fine-fine saja. Bahkan ketika lama tidak ke sana, aku ditanyain kabarnya,” kata Imam.
Berbincang dengan tokoh inspiratif di PKL Srikana
Tak hanya menyediakan menu yang murah, PKL Srikana juga cocok dijadikan tempat untuk mengerjakan tugas. Apalagi warung-warung di sana buka 24 jam. Tiap warung juga menyediakan wifi dan stop kontak.
Fasilitasnya yang nyaman juga membuat mahasiswa menggunakannya sebagai tempat berdiskusi. Tak hanya mahasiswa, tapi juga masyarakat sekitar. Suhek bahkan pernah menjumpai tokoh-tokoh yang menurutnya inspiratif.
Suatu hari, dia pernah bertemu dengan pengendara sepeda pancal yang mampir sejenak di warung. Pengendara itu bercerita sedang mengelilingi kota-kota di Indonesia dengan sepedanya.
“Itu nggak bakal kutemukan di kafe atau di tempat-tempat yang penuh dengan nilai-nilai kapital yang tinggi, apalagi sampai ngobrol panjang lebar,” ucap Suhek.
Kegigihan orang itu membuat Suhek terkesan dan termotivasi untuk berkeliling Indonesia. Maka sejak tahun 2018, dia sudah mencoba berkeliling Sumatera sampai akhirnya ke Papua.
“Dari 2018 sampai 2022, aku sudah keliling ke 30 provinsi, 57 gunung, dan 800 kota,” kata dia.
PKL Srikana, riwayatmu kini…
Suasana PKL Srikana nampak berubah di tahun 2024. Namanya sudah berganti menjadi SWK Srikana. Warung-warungnya dibentuk seperti kontainer.
Menurut Imam, penataan itu adalah hal yang bagus sehingga PKL Srikana lebih tertata dan enak dipandang. Namun, dia merasa tidak bisa nongkrong seperti dulu karena fasilitas warung yang berkurang.
“Vibe untuk kita kenal banyak orang itu sudah berbeda. Dulu kita bisa ngobrol dengan prodi lain lama, tapi karena sekarang kursi dan mejanya terbatas jadi tidak mendukung kita untuk saling akrab. Harus gantian tempat juga karena antre,” ucapnya.
Selain itu, tidak banyak warung di sana yang kini buka 24 jam. Berdasarkan pengalamannya, warung-warung sudah tutup pukul 03.00 WIB. Pedagang juga tidak menyediakan wifi dan stop kontak, karena biaya sewa tempatnya sudah mahal.
Meski begitu, PKL Srikana tetap menjadi pilihan mahasiswa untuk mencari makanan murah, sebab harganya tidak jauh berbeda dengan yang dulu. Menunya bahkan lebih beragam seperti bubur, batagir, rawon, pecel, dan lain-lain.
“Kalau dibandingkan dengan kantin warna-warni, harganya memang edan. Terlebih transaski pembayarannya terbilang ribet karena harus memakai kupon. Harganya makanan itu 15 ribu ke atas,” ujar Imam.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News