Cerita Peruqyah di Jogja Sembuhkan Orang Katolik Kerasukan Pakai Doa Islam, Terbukti Ampuh tapi Ngeri Hadapi Iblis Terkuat

Pengalaman Peruqyah (Ahli Ruqyah) di Jogja Hadapi Baphomet di Tubuh Orang Katolik yang Kerasukan karena Tak Ada Eksorsis MOJOK.CO

Ilustrasi - Pengalaman peruqyah (ahli ruqyah) di Jogja hadapi orang Katolik yang kerasukan karena tak ada pakar eksorsis. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Seorang peruqyah (ahli ruqyah) di Jogja berbagi cerita tentang pengalamannya meruqyah orang Katolik yang kerasukan karena tidak adanya seorang eksorsis. Pengalaman yang membuatnya sempat “angkat tangan” lantaran berhadapan dengan sosok Baphomet: iblis berkepala kambing yang dipercaya sebagai salah satu iblis terkuat.

***

Belakangan saya memang tengah mencoba mencari tahu seorang eksorsis di Jogja. Yakni seorang rohaniawan Katolik yang dipercaya memiliki kekuatan khusus untuk melakukan eksorsisme (pengusiran kuasa gelap alias iblis). Kalau dalam agama yang saya anut (Islam), mirip seperti peran ustaz atau peruqyah lah.

Keinginan untuk mencari tahu tersebut muncul atas dorongan rasa penasaran, bagaimana praktik dan doa-doa yang para eksorsis rapalkan saat mengusir iblis. Pasalnya, selama ini saya hanya bisa melihat praktik eksorsisme melalui film-film Barat.

Itu pun akhirnya menimbulkan pertanyaan baru, kenapa ya dalam film-film tersebut praktik eksorsisme terlihat sangat berat dan sulit. Si eksorsis sampai harus berdarah-darah untuk mengusir setan atau iblis yang merasuki tubuh manusia.

Sangat berbeda ketika saya melihat praktik ruqyah yang dilakukan oleh ustaz peruqyah. Cenderung mudah. Cukup dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan doa-doa (sesuai ajaran Rasulullah Saw), maka entitas gelap yang merasuki tubuh seseorang akan kesakitan dan memilih keluar.

Apa karena setan atau iblis dalam versi Katolik punya levek kekuatan yang lebih kuat ya ketimbang setan atau iblis yang kerap merasuki orang Islam? Memang pertanyaan bodoh. Tapi saya merasa perlu mencari jawaban.

Sulit menemukan eksorsis di Jogja

Di Jogja, kebetulan saya memilik beberapa teman Katolik. Sayangnya, saat saya tanya perihal eksorsis di Jogja, mereka kompak menjawab “tidak menemukan”.

Misalnya Bowo. Pria menjelang 40-an pekerja media di Jogja itu mengaku ada saudaranya yang pernah kerasukan. Karena tidak ada seorang eksorsis, maka pilihannya bukanlah melakukan eksorsisme, melainkan ruqyah.

“Ya manggil ustaz yang terkenal ahli ruqyah di Jogja lah. Dibaca-bacain doa secara Islam. Setannya nyatanya bisa keluar,” ungkapnya saat kami berbincang pada akhir Juli 2024 lalu.

Bahkan untuk urusan meruwat rumah pun, saudara Bowo mengaku memilih menggunakan jasa peruqyah.

Teman Katolik lain, Prabu (30-an) juga mengungkapkan hal serupa. Sejauh pengetahuan dan pengalamannya, ia belum pernah menemukan eksorsis di Jogja.

“Bapakku ahli klenik, Kejawen. Jadi kalau menangani kasus kerasukan pakai cara Kejawen,” jelasnya saat kami bertemu di sekitar Taman Makam Pahlawan Jogja pada awal Agustus 2024 lalu.

Saya lantas bertanya pada teman Katolik lain, Andono. Pria 40-an tahun itu mengaku tak pernah bersinggungan dengan hal-hal mistis. Hanya saja ia punya beberapa kenalan yang pernah menggunakan jasa eksorsis.

“Wah tapi adanya di Solo, di Jogja nggak ada,” kata Andono.

“Punya kontaknya?” tanya saya pada Andono.

“Teman-temanku nggak ada yang punya, mereka cuma tahu lokasi persisnya di mana,” jawabnya.

Saya memang perlu menuju Solo. Tapi yang jelas, sejauh upaya saya menelusuri, ternyata sulit menemukan eksorsis di Jogja. Atau memang jangan-jangan memang tidak ada?

Pertemuan dengan peruqyah orang Katolik di Jogja

Penelusuran perihal eksorsis di Jogja—untuk sementara—saya hentikan. Sampai suatu malam, seorang kawan dari komunitas KBEA mengabari kalau ia baru saja berkenalan dengan peruqyah yang memiliki pengalaman ruqyah orang-orang Katolik.

Tanpa pikir panjang, janji bertemu langsung dibuat. Kami lalu bertemu pada Rabu (14/8/2024) pukul 21.00 WIB di sebuah kafe di Ngaglik, Sleman.

Namanya Rifki. Awalnya saya mengira ia pria 40-50 tahunan. Ternyata ia masih muda, umur 30-an. Gayanya pun khas anak muda. Label “ahli ruqyah” tak serta merta membuatnya berpakaian ala ustaz atau yang nyentrik-nyentrik.

Rifki datang dengan setelan jaket dan celana pendek. Tak lama setelah basa-basi singkat, pemuda alumni Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo itu langsung banyak bercerita. Sosok yang sangat ramah.

“Kalau kemampuan ruqyah turun dari keluarga. Sejak 2010 (saat masuk Gontor) sebenarnya sudah tahu dan sudah mulai memperdalam. Terus sekarang jadi jalan dakwah dan bantu orang,” ungkap Rifki.

Kemampuan ruqyah yang Rifki miliki memang ia gunakan sebagai medium dakwah. Sebab, saat menyembuhkan orang, ia selalu menekankan aspek tauhid. Mengajak pasiennya agar punya kesadaran untuk kembali taat pada Allah Swt.

Hal itu pun tercermin dari cara bicara Rifki. Sepanjang obrolan—hingga tengah malam—berulang kali ia memulai dan mengakhiri ucapannya dengan ucapan “Qadarullah (atas kehendak Allah)”. Setiap jawaban yang ia berikan atas pertanyaan saya, pasti selalu mengarah pada pengingat agar manusia selalu memasukkan unsur “Allah” dalam laku hidupnya sehari-hari.

Sembuhkan orang Katolik yang kerasukan dengan doa Islam

Sejak dikenal sebagai peruqyah di Jogja, pasien Rifki mayoritas tentu dari kalangan umat Islam. Namun, lambat laun, beberapa orang Katolik juga minta penyembuhan pada Rifki.

Sudah beberapa kasus orang Katolik kerasukan pernah ia tangani. Ya mungkin karena itu faktor yang sudah saya singgung sebelumnya, mau melakukan eksorsisme tapi kesulitan menemukan eksorsis di Jogja.

“Saya minta saja temen-temen (Katolik) itu baca doa-doa versi Katolik. Saya bantu doa dengan cara Islam,” ucap Rifki membeberkan metodenya.

Ada juga kasus di mana hanya Rifki yang membacakan doa-doa dalam versi agama Islam. Hasilnya, jin atau setan atau iblis yang merasuki seorang Katolik tersebut ternyata bisa keluar. Penjelasannya agak sufistik.

“Jadi kalau jin atau iblis itu kan tahu kalau di atas mereka ada kuasa yang lebih kuat, yaitu Tuhan. Kalau di Islam Allah, kalau di Katolik Yesus. Hanya beda penyebutan, tapi hakikatnya kan merujuk pada Tuhan yang Tunggal,” papar Rifki.

Konsep yang Rifki sampaikan kalau dalam Tasawuf-nya Mansur al-Hallaj dikenal dengan konsep “Wahdatu al-adyan”: kebersatuan agama-agama. Yakni keyakinan bahwa meski punya cara ibadah dan istilah yang berbeda, tapi muara agama-agama di dunia sejatinya sama: hakikat Tuhan yang Esa.

“Nah, mau nyebut Allah, mau nyebut Yesus, energi asma-nya kan sama. Energi itulah yang mengusir si setan atau iblis yang merasuki tubuh manusia,” jelas Rifki antusias.

Peruqyah di Jogja “angkat tangan” hadapi Baphomet

Ada satu pengalaman yang sangat membekas bagi Rifki saat menangani kasus kerasukan orang Katolik. Yakni ketika ia harus berhadapan dengan Baphomet.

Suatu kali ia didatangi oleh seorang Katolik berjuluk “Mata Merah”. Julukan itu bukan tanpa alasan. Sebab, dalam momen tertentu, mata si pasien Rifki tersebut bisa berubah menjadi merah menyala.

“Usut punya usut, ternyata pasienku ini sudah bersekutu dengan Baphomet. Kalau matanya berubah merah, itu sudah bukan dirinya lagi, itu sudah Baphomet yang ambil alih,” ungkap Rifki.

“Itu bener-bener terlihat, Mas. (Setidaknya dalam penglihatan Rifki selaku ahli ruqyah di Jogja). Jadi kepala kambing menyeramkan di balik wajah pasienku,” sambung Rifki menggambarkan sosok yang ia lihat waktu itu.

Rifki memilih “angkat tangan”. Saat itu ia merasa ilmunya masih kurang. Sehingga kalau harus beradu dengan Baphomet—sebagai salah satu iblis terkuat—besar kemungkinan ia kalah.

Pertukaran jiawa lebih ekstrem ketimbang kerasukan

Saat itu ia hanya bisa melakukan upaya sesuai batas kemampuannya. Ia meminta si pasien membaca doa-doa versi Katolik. Sementara Rifki mengupayakan sesuai syariat Islam. Hasilnya, si pasien sampai muntah darah hebat.

“Kasusnya sudah pertukaran jiwa atau persekutuan. Jadi bukan kerasukan. Kalau begitu akan lebih sulit karena memang sudah terikat janji antara pasien dan iblis. Keduanya sudah terikat pula secara jasad maupun jiwa. Mangkanya sering si Baphomet muncul menguasai diri si pasienku itu,” ungkap ahli ruqyah muda di Jogja tersebut.

Kerasukan lebih mudah karena biasanya entitas gelap “iseng” memasuki tubuh manusia. Kasus seperti ini masih sangat bisa diusir. Sementara persekutuan lebih sulit karena sudah terjadi kesepakatan antara manusia dengan iblis yang akan menguasai dirinya.

Sudah lama Rifki tak mendengar kabar pasien Katolik-nya tersebut. Namun, ia berharap agar si pasien itu benar-benar bisa membebaskan jiwanya dari penguasaan Baphomet.

Makin larut malam, cerita dari Rifki makin menarik dan seru. Berbatang-batang rokok ludes. Segelas minuman dan sebotol air mineral di atas meja juga tandas menemani obrolan hingga larut malam itu. Tapi banyak dari cerita tersebut yang tidak bisa ikut saya tulis di sini. Ada batasan yang harus saya patuhi.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin

BACA JUGA: Bertahun-tahun Tinggal di Desa Sarang Tuyul, Cuma Bisa Waswas Uang Hilang Setiap Saat karena Tak Punya Banyak Pilihan

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

 

Exit mobile version