Perkara potong rambut di barbershop pada awalnya ternyata bukan hal sederhana bagi Fahril (28) dan Gandika (24). Keduanya berasal dari desa. Sejak kecil lebih akrab dengan pangkasan rambut dari tetangga dan tukang pangkas di lapak sederhana ketimbang dengan mesin-mesin di barbershop. Walhasil, ketika pertama kali mencobanya, ada kekonyolan yang kekesalan sekaligus.
Bertahun-tahun potong rambut ke tetangga
Kira-kira ketika memasuki kelas 2 SMP, Gandika baru tahu kalau ternyata potong rambut ada tukangnya. Membuka lapak di pusat kecamatan yang memang riuh rendah oleh manusia.
Bertahun-tahun sebelumnya, sejak kecil, jika rambut Gandika sudah dirasa panjang, maka sang ibu akan menyuruhnya untuk pergi ke rumah tetangga. Dengan bermodal gunting saja, si tetangga akan dengan cekatan memangkas helai demi helai rambutnya.
“Dulu prinsipnya kalau potong rambut yang penting kan pendek dan rapi. Dan tetanggaku itu nggak dikasih upah loh. Biasa, orang desa kan. Sambatan istilahnya (minta tolong),” jelas pemuda asal Rembang, Jawa Tengah itu, Senin (6/9/2025).
Tukang pangkas sudah paling mewah
Ketika memasuki SMP, karena SMP-nya ada di daerah yang lebih kota, Gandika baru dengar istilah “potong sasak” dari teman-temannya. Merujuk alat pangkas rambut berupa gunting bergerigi.
Rata-rata mereka potong rambut di lapak-lapak tukang pangkas. Pada saat itu, di Rembang, pangkas rambut memang sudah paling mewah. Istilah barbershop masih begitu asing bagi Gandika.
“Kulihat bagus juga hasilnya. Cuma aku masih belum berani ke tukang pangkas, takut mahal. Jadinya aku beli gunting sasak sendiri. Kalau minta pangkas ke tetangga ya pakai gunting itu hahaha,” ungkap Gandika dengan tawa tergelak.
Demi gaya rambut yang mempesona
Sampai akhirnya Gandika kerap jadi bahan ceng-cengan. Saat teman-temannya sudah mulai memiliki model rambut yang keren di masa itu, potongan Gandika malah terkesan sebagai bocah culun.
Dari situ dia kemudian mencoba potong rambut di tukang pangkas. “Hasilnya suka sih. Tapi awal-awal memang perlu pembiasaan. Dari awalnya potong gratis, eh harus keluar uang untuk sekadar memangkas rambut (Masa SMP masih Rp5 ribu. Sekarang sudah Rp10 ribu).
Tapi tak soal. Saat itu demi gaya. Maklum, remaja-remaja pubertas. Potong rambut akhirnya bukan semata untuk memendekkan dan merapikan rambut, tapi juga biar tampak mempesona dan memikat lawan jenis.
Potong rambut di tukang pangkas itu dia lakukan hingga SMA. Sekali lagi, kala itu barbershop masih asing di kalangan anak-anak desa di Rembang seperti Gandika.
Pertama kali potong rambut di barbershop jadi konyol gara-gara tak paham istilah Inggris
Singkat cerita. Preferensi potong rambut Gandika pada akhirnya bergeser setelah dia lulus SMA. Usai mencecap dunia perantauan (kerja ke berbagai daerah seperti Semarang hingga Surabaya), Gandika pun tahu kalau di atas tukang pangkas ternyata ada barbershop.
Hasilnya tentu jauh lebih bagus. Hanya saja, yang luput Gandika ketahui, dia mengira kalau barbershop sebenarnya sama saja dengan tukang pangkas di pasar kecamatan. Hanya lebih kekinian saja tempatnya.
“Pertama kali nyoba barbershop berarti di Surabaya. Penasaran kan. Pas masuk sih lebih nyaman. Kursi empuk, ruangan AC,” tutur Gandika.
Namun, kekonyolan terjadi ketika si barber menanyakan, “Mau pangkas model apa?” diikuti beberapa istilah berbahasa Inggris. Tak pelak Gandika langsung “Ah eh ah eh”. Wong selama ini kalau ke tukang pangkas dia cukup bilang misalnya, “Potong yang pinggir sama belakang aja.”
Gandika tak paham apa itu undercut, fade, crop, dan kroni-kroninya itu. Sampai sekarang pun dia tak paham.
“Dulu akhirnya ya aku bilang saja, penginnya pinggir yang dipangkas. Si barber sebenarnya oke-oke aja. Tapi orang di sebelahku yang sebelumnya datang sambil nyebut cut-cut itu agak tertawa geli,” begitu pengakuan Gandika.
Gaya-gayaan pakai istilah Inggris malah salah
Di lain waktu, Gandika lebih bersiap. Sebelum ke barbershop dia meriset dulu di internet perihal istilah-istilah gaya rambut ala barbershop. Suatu kali dia memang sedang ingin potong rambut dengan gaya undercut.
Dia menuju ke barbershop dengan penuh percaya diri karena yakin tidak akan kebingungan saat ditanya. Memang dia tidak kebingungan. Saat si barber bertanya, dia dengan lancar menjawab, “Undercut.”
Persoalannya, dia membacanya harfiah belaka: dibaca (undercut), bukan dalam grammtika Inggris (anderkat). Si barber tampak menahan tawa. Tapi atas azas profesionalisme, si barber lantas membetulkan: Mungkin yang dimaksud adalah undercut (dengan cara baca anderkat).
“Maklum dulu pelajaran bahasa Inggris tidur. Tapi benar-benar dalam hidupku nggak terbayang urusan potong rambut bisa sekonyol itu,” tutur Gandika.
Gandika sebenarnya jarang-jarang ke barbershop. Gimana-gimana harganya mehong, Bos, untuk ukurannya. Rp35 ribu paling umum. Bagi orang seperti Gandika, uang segitu mending buat makan sehari. Sudah sekalian rokoknya itu.
Hanya memang kalau sesekali ke barbershop, dia tak mau berspekulasi lagi. Dia memilih mendeskripsikan secara detail saja model rambut seperti apa yang dia inginkan dari tangan si barber.
Pertama kali bayar di barbershop bikin “puasa” seharian
Sama halnya dengan Gandika, Fahril juga awalnya lebih akrab dengan tukang pangkas. Apalagi dia asli Madura: Banyak orang Madura berprofesi sebagai tukang pangkas.
Saat kuliah di Malang pun, di awal semester, dia juga masih kerap menggunakan jasa pangkas rambut Madura. Di sekitar kosnya di Malang sangat mudah menjumpai tukang pangkas orang Madura.
“Selain memang murah, paling Rp15 ribu, kalau orang Madura ketemu orang Madura di perantauan itu bisa langsung akrab. Karena kedekatan,” kata Fahril.
Hingga suatu ketika, Fahril mulai mengenal “cinta”. Maka dia merasa perlu mengubah style-nya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dari situ dia mulai tertarik mencoba pangkas rambut di barbershop.
Kesan pertama kali masuk jelas nyaman. Apalagi, setelah pangkas rambut, si barber memberi treatment berupa keramas dengan sedikit pijatan di pundak dan kepala. Enak sekali itu. Yang tidak enak adalah setelahnya…
“Rp35 ribu. Aku pulang dari situ langsung bersungut-sungut. Kesal dan menyesal,” kata Fahril.
Bagaimana tidak. Dia pangkas rambut di jam siang hari. Tentu belum ada nasi atau makanan yang masuk perutnya karena Gandika tidak terbiasa sarapan. Sehari dia makan dua kali (siang dan malam) untuk mode penghematan.
Alhasil, karena dia sudah menjatah sehari harus habis berapa, maka seharian itu dia memutuskan tidak makan. Hanya minam-minum air galon untuk mengganjal perut.
“Baru di malamnya aku makan, beli yang murah. Jancuk perkara potong rambut bisa semahal itu, mending buat makan kalau aku,” ujar Fahril.
Gaya mullet yang bikin kena label jamet
Setelahnya, bagi Fahril, persetan mau barbershop atau tidak. Kalau mau potong rambut ya sudah di pangkas Madura saja.
Tapi ada momen—pas pandemi Covid-19—ketika pangkas Madura di sekitar Fahril keranjingan gaya mullet. Jadi pelanggan request apapun, hasilnya tetap akan mullet. Fahril menjadi salah satu korban.
“Gara-gara gaya mullet, padahal aku nggak request itu, akhirnya kena cap jamet. Haduh, haduh, ribet sekali jadi manusia,” ucap Fahril.
Pada akhirnya, sesekali Fahril akan pangkas rambut ke barbershop. Sebab, setiap rentang berapa bulan (di tahun-tahun belakangan), dia kerap mendapati barbershop baru bermunculan. Kalau baru awal-awal buka, biasanya pasang harga murah: Rp20 ribu-Rp25 ribu.
“Hanya ngincar pas itu saja. Kalau sudah naik, ya sudah nggak ke sana lagi. Apalagi ke barbershop yang tempatku pertama. Itu sekarang sudah Rp40 ribu. Potong rambut cek yok opo iku sampek petang puluh ewu? (Potong rambut seperti apa itu kok sampai empat puluh ribu?),” bebr Fahril dengan campuran antara bahasa Jawa Malangan dan logat Madura.
Bagi Fahril di manapun potong rambut itu ya sama saja. Niatnya mengurangi kelebatan atau panjangnya rambut. Di barbshop pun begitu: biasa saja sebenarnya, tidak ada yang istimewa.
“Aku pilih hidup stoik,” tandasnya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Pembelaan Tukang Cukur yang Dituding Tak Paham Maksud ‘Potong Dikit’: Paham, tapi Sengaja Motong Kependekan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
