Gerry Utama (31) tak pernah menyangka bisa menginjakkan kakinya di belahan Bumi selatan: Antartika. Benua terdingin dan paling sedikit penduduknya di dunia. Pemuda lulusan UGM itu menjadi orang Indonesia sekaligus orang ASEAN pertama yang membawa “misi khusus” dari Pemerintah Rusia.
Dari UGM ke Rusia hingga Benua Antartika
Gerry merupakan alumnus Jurusan Geografi dan Ilmu Lingkungan, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia mulai kuliah pada tahun 2011 dan lulus di tahun 2017. Setelah lulus, ia tidak serta merta melanjutkan kuliah.
Laki-laki asal Palembang itu memilih menghabiskan waktunya untuk berkarier sebagai praktisi dengan latar belakang yang sesuai dengan kualifikasi dan kompetensinya sebagai sarjana. Barulah pada tahun 2022, Gerry memutuskan untuk melanjutkan studi S2 di bidang Quaternary Paleogeography di Institute of Earth Sciences Saint Petersburg State University dengan dukungan dari Pemerintah Rusia.
“Bagi saya menempuh pendidikan sangat penting untuk melengkapi keilmuan saya yang masih kurang,” kata alumnus UGM tersebut.

Selain itu, ia ingin memperluas spektrum kesempatannya untuk membangun peradaban yang lebih baik. Tak hanya itu, dengan menempuh pendidikan tinggi, Gerry dapat membangun relasinya serta membentuk karakter, cara pandang, serta inspirasi untuk melangkah ke depan.
Tentu saja perbedaan bahasa membuat ia kebingungan pada mulanya. Walaupun bidang studi yang ia ambil tidak jauh berbeda dengan materi yang ia terima saat kuliah S1, tapi banyak istilah kebumian yang kurang ia pahami dengan Bahasa Rusia.
“Itu menjadi hal terberat, tapi bisa saya lalui dengan tuntas,” ujar Gerry.
Salah satu motivasi yang ia pegang sampai sekarang adalah kutipan dari penulis Andrea Hirata: Jika bisa hidup di Rusia, maka bisa hidup di mana pun di belahan dunia.
“Namun dalam versi saya, ‘apabila bisa berprestasi di Rusia, maka bisa menguasai dunia,’” ujar alumnus UGM tersebut.
Kini, Gerry sedang menjalani pendidikan S3-nya di Rusia. Dari sanalah Gerry mendapatkan kesempatan untuk menginjakkan kaki di Antartika. Ia terpilih menjadi salah satu peneliti yang mengikuti program Russian Antarctica Expedition (RAE) ke-69. Pengalaman tersebut membawa namanya dikenal sebagai peneliti Indonesia termuda.
“Saya termuda dalam sejarah misi Antartika yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, bukan termuda dalam sejarah dunia ya,” tegasnya.
Bertahan di luar negeri dengan suhu ekstrem
Sebelum tiba di Antartika, Gerry harus mengikuti pelatihan intensif yakni, cara menggunakan peralatan salju, pelatihan bertahan hidup di kondisi darurat, mendirikan tenda, cara memasak, buang air, bahkan tata cara berpakaian. Di sana, ia harus menggunakan pakaian khusus yang desainnya tahan dengan temperatur ekstrem.
Tak bisa dipungkiri, Antartika berbeda dengan kondisi Bumi biasanya. Gerry harus menahan suhu ekstrem Antartika yang dinginnya bisa mencapai minus 40 derajat celcius. Belum lagi terpaan angin yang sangat keras, harus membuatnya was-was.

“Ini pengalaman pertama saya sebagai orang yang tinggal di wilayah tropis. Saya tak pernah membayangkan harus bekerja dengan kondisi temperatur yang sangat dingin,” ujar alumnus UGM tersebut.
Selain itu, Gerry mengaku kesulitaan terhadap perbedaan waktu. Sebagai seorang muslim, ia harus teliti betul mengecek waktu ibadah. Biasanya, dia akan menyesuaikan waktu salat dengan mengamati matahari terbit dan terbenam dengan melihat langit.
Pada Februari 2024, Gerry bersama tim RAE akhirnya berlayar dari Kota Saint Petersburg, Rusia ke Antartika selama tiga minggu dengan satu kali transit di Cape Town, Afrika Selatan. Mereka menempuh perjalanan sekitar satu bulan menggunakan kapal riset Akademik Turoshnikov milik Rusia.
Ahli pembaca radar dari UGM
Gerry sendiri mangkal di Stasiun Mirny, salah satu stasiun pemantauan tertua di Antartika. Sebagai ahli di bidang geomorfologi–ilmu yang mempelajari bentuk permukaan Bumi, Gerry punya kemampuan bagus membaca radar.
Oleh karena itu, alasan utamanya menginjakkan kaki di Antartika adalah untuk menyusun atlas Pulau King George, sebuah pintu gerbang bagi peneliti yang tiba di Antartika. Konon, peta geomorfologi yang menggambarkan area Pulau King George tersebut belum pernah dipetakan oleh peneliti manapun.
“Profesor saya pernah berkata jika peta geomorfologi ini baru. Belum ada yang mendetailkan atau membuat informasinya,” kata Gerry.

Dari ekspedisinya bersama para peneliti Rusia tersebut, Gerry berhasil menemukan fosil kayu berusia 130 juta tahun. Temuan itu membuktikan bahwa dulunya Antartika pernah ditutupi tanaman hijau seperti bagian Bumi lainnya.
Di sela-sela penelitiannya tersebut, Gerry juga berhasil membuktikan teori lama yang sering menjadi perdebatan: benarkah Bumi itu datar? Nyatanya, tidak. Ia mendebat betul konsepsi lama yang menyatakan bahwa Bumi berbentuk datar. Ia meyakini bahwa Bumi berbentuk bulat. Lebih tepatnya elipsolid.
“Selama penelitian di Antartika saya melihat frekuensi, di mana pada malam hari mata hari tetap terlihat bersinar. Begitu juga pada siang hari, kondisinya tampak seperti malam hari. Ini menjadi bukti bahwa sesungguhnya Bumi berbentuk melengkung dan berotasi,” ujar alumnus UGM tersebut.
Bagi Gerry, Antartika layaknya flash disk yang beku. Di dalamnya terdapat data soal proses geologi dan geomorfologi yang pernah terjadi di muka Bumi. Pengalamannya di Antartika akan selalu terekam dalam ingatan pemuda asal Palembang tersebut.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Perjuangkan Mimpi dari Unesa hingga Kuliah S2 di Boston Amerika, meski Berat usai Ayah Pergi atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.