Puluhan penjual buket wisuda berupa bunga, uang, jajanan, balon, hingga boneka berjejer setiap gelaran wisuda UGM. Selain mencari nafkah, mereka mengaku bahagia melihat para sarjana baru. Dagangan yang mereka jajakan juga modal untuk membuat anaknya bisa berkuliah.
***
Sekitar jam 9 pagi saat prosesi wisuda UGM sedang berlangsung di Grha Sabha Pramana (GSP), para penjual buket wisuda dengan sabar menanti pembeli di emperan. Mereka tak bisa mendekat ke gedung lantaran tempat berjualannya dibatasi.
Di antara puluhan penjual buket wisuda itu, tampak sepasang suami istri yang sedang menata dagangan sambil terus menyapa orang-orang yang lewat. Mata mereka tampak agak memerah, mengantuk, tapi raut lelah itu langsung cepat berubah ketika coba menawarkan dagangan.
Wajah yang tampak sedikit mengantuk bukan tanpa alasan. Pasalnya, para penjual buket wisuda ini datang sejak pagi buta.
“Saya berangkat dari Klaten jam 3 pagi,” kata Iwan (47), penjual yang datang bersama istrinya, Purwanti (46).
Mereka rela datang pagi sekali lantaran harus berebut lokasi strategis dengan para pedagang lain. Siapa yang paling cepat tiba bisa menempati tempat terbaik. Iwan dan Purwanti pada wisuda UGM Rabu (21/2/2024) lalu mangkal di jalan menuju GSP depan Fakultas Ilmu Budaya UGM.
“Ya namanya mengadu nasib, wisuda itu momen kami bisa dapat uang lumayan jadi harus diperjuangkan,” kelakar Iwan.
Iwan dan Purwanti sudah sekitar 10 tahun menjadi penjual buket wisuda. Jika sedang tidak ada acara, maka ia berjualan di rumah yang tentunya omzet hariannya jauh lebih sedikit. Tak heran jika Iwan tak mau ketinggalan momen setiap ada wisuda UGM.
Penjual buket wisuda keliling dari Jogja, Solo, hingga Semarang
Namun, ia tidak hanya menunggu momen wisuda UGM. Ia selalu mengejar kesempatan setiap ada wisuda kampus di area Jogja, Solo, dan Semarang. Di Jogja andalannya tentu UGM, di Solo ada UNS, sementara di Semarang Iwan kerap mendatangi wisuda UNNES dan Undip.
“Sebulan minimal ya bisa ngejar 4 kali wisuda. Kalau lagi banyak bisa sampai 8. Biasanya paling laris malah di UNS Solo,” kata Purwanti menimpali.
Meski sekarang toko penjual buket wisuda di sekitar kampus semakin menjamur, pasangan ini percaya kalau potensi jualan di dalam kampus masih ada. Purwanti mengestiasi, setidaknya ada 50% orang yang ingin menengok keluarga atau rekan yang sedang wisuda tapi belum membawa buket.
“Jadi penjual di dalam ya masih ada potensinya,” terangnya.
Menurutnya, belakangan bisa terjual 20 buket saja mereka sudah bersyukur. Hasilnya sudah terhitung bagus. Pernah suatu ketika mereka hanya laku tiga biji seharian mendatangi wisuda.
Purwanti membanderol buket seharga Rp50 ribu sampai Rp150 ribu. Ada yang berupa bunga segar, bunga plastik, buket jajan, hingga buket uang. Bunga segar, setidaknya bisa tahan hingga sepekan.
“Kalau belum laku di UGM, pulang langsung kita rawat lagi, masih bisa tahan. Susahnya itu kalau seminggu cuma ada satu wisuda, jadi bunga segar yang nggak laku pasti terbuang,” curhatnya.
Buket wisuda bunga segar, biasanya harganya bisa turun jika sudah siang. Kena panas sejak pagi memang membuat kualitasnya sedikit berkurang. Ketimbang tak laku, maka lebih baik harganya ia turunkan.
Pasalnya, momen ramai pembeli menurut pasangan ini justru menjelang atau setelah zuhur, saat seremonial sudah rampung. Selepas sesi bersama keluarga, biasanya teman-teman dari wisudawan baru pada berdatangan.
Baca halaman selanjutnya…
Tak pernah rasakan sarjana, banting tulang keliling kota agar anak bisa kuliah
Tak pernah sarjana, mimpi anaknya bisa lulus dari kampus terbaik
Di balik urusan bisnis dari bisnis buket wisuda, Iwan mengaku pekerjaan ini membuatnya terpantik untuk menyekolahkan semua anaknya hingga jadi sarjana. Hal yang dulu tak bisa ia capai saat masa muda.
“Dulu saya lulusan diploma saja,” cetusnya.
Iwan mengaku ikut senang, melihat orang tua yang datang dari jauh untuk menghadiri wisuda UGM. Pagi itu saja ia bertemu dengan rombongan keluarga dari Jakarta yang membeli buket wisuda.
“Kebahagiaannnya kadang menular,” kelakarnya.
Berkat usaha buket wisuda satu dekade belakangan, nyatanya Iwan bisa menyekolahkan anaknya jenjang S1 di UNS dan Undip. Iwan berkelakar bahwa anaknya mengambil jurusan yang agak unik yakni jurusan perikanan dan pariwisata.
Awalnya ia agak ragu dengan jurusan yang mereka pilih. Namun, anak-anaknya meyakinkan bahwa jurusan yang berbeda dengan kebanyakan pilihan mahasiswa kebanyakan itu justru mendatangkan peluang kerja yang spesifik.
“Ya alhamdulillah sekarang dua sudah kuliah, anak ketiga masih SMA semoga bisa kuliah juga,” pungkasnya.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News