Indomaret kerap jadi tempat singgah saat perjalanan mencari bahan liputan. Pada Selasa (23/1/2024) malam saya berjumpa dengan seorang bapak tua penjual mainan anak jadul yang juga sedang beristirahat di Indomaret Jalan Palagan, Sleman. Bedanya, ia sekaligus berharap ada orang yang membeli dagangannya.
Sebenarnya, ini bukan kali pertama saya menyaksikan penjual mainan anak tradisional yang sedang singgah di waralaba minimarket berbagai tempat. Mereka biasanya sudah sepuh dan membawa sepeda untuk berkeliling.
Setelah masuk ke Indomaret untuk membeli minum, saya mencoba mengajak lelaki itu berbincang. Wagino (65), lelaki kelahiran Pundungsari, Semin, Gunungkidul ini mengaku sudah sekitar sepuluh tahun menjadi penjual mainan anak jadul.
Dulunya ia bekerja sebagai kuli bangunan. Pekerjaan berat yang butuh tenaga fisik kuat itu harus ia tinggalkan saat usianya sudah menginjak kepala lima.
“Sudah nggak kuat lagi Mas, ganti usaha yang lain,” kelakarnya.
Ia belajar membuat berbagai mainan berbahan bambu dari tetangganya. Menurut Wagino, sebagian besar mainan tradisional yang ada di Malioboro dan Pasar Beringharjo merupakan produk buat warga desanya.
“Kalau ketemu orang jualan begini di Sumatera, Kalimantan, Bali, itu juga banyak yang dari tempat saya,” katanya.
Awalnya, ia merupakan perajin, hingga akhirnya memilih untuk beralih menjadi pedagang keliling. Pekerjaan berkeliling dengan sepeda mulai ia lakoni sejak awal pandemi Covid-19.
“Dulu sebelum Covid itu UGM pernah pesan 600 mainan. Untuk acara wisuda atau apa saya nggak begitu paham,” kenangnya.
Singgah di Indomaret setelah keliling dari pagi
Indomaret selalu ramai orang hilir mudik, hal itu membuat Wagino memilih singgah di sini sejak magrib setelah berkeliling dari pagi. Paling jauh, dari kontrakannya, ia bisa berjualan ke daerah sekitar Jalan Malioboro.
“Hari ini laku dua sejak mampir di Indomaret,” ungkapnya. Menurut Wagino, penjualannya memang tidak menentu. Ada hari di mana dagangannya tidak laku sama sekali.
“Tapi ya ada saja Alhamdulillah. Hitung-hitung buat biaya sekolah anak meski berat,” tuturnya.
Ada berbagai macam mainan anak yang ia jual. Harganya berkisar antara Rp10 ribu hingga Rp20 ribu. Ada gasing, seruling, peluit, hingga rupa-rupa mainan tradisional lainnya. Sementara untuk gelang, ia jual Rp10 ribu dapat tiga biji.
Kini, Wagino mengontrak sebuah rumah sederhana di daerah Lempongsari bersama satu anak lelakinya yang sudah berkeluarga. Di usia senjanya, bapak tiga anak ini tetap bekerja karena anak bungsunya masih menempuh pendidikan di sebuah pondok di Sukoharjo.
“Anak saya yang pertama dan kedua laki-laki, sudah berkeluarga, kerja jadi kuli bangunan. Satunya lagi perempuan masih 17 tahun di pondok,” ungkapnya.
Baca halaman selanjutnya…
Banting tulang demi anak perempuan di pondok
Semuanya demi pendidikan anak
Hidupnya sekarang ia fokuskan untuk menyekolahkan anak terakhirnya. Meski berat, Wagino mengaku terus berupaya. Indomaret jadi tempatnya berpasrah setelah seharian berkeliling.
Biaya pendidikan anaknya di pondok besarnya Rp500 ribu per bulan. Bagi Wagino, itu bukan nominal yang kecil.
“Itu baru biaya untuk sekolahnya. Untuk jajan beda lagi,” katanya.
Ia mengaku rata-rata memberi uang saku anaknya Rp90 ribu per bulan. Meski, seringkali ia berusaha untuk memberikan tambahan.
“Kadang ya sedih. Anak jaman sekarang uang segitu beli jajan apa to. Anak kecil saja jajannya minimal lima ribu sehari,” curhatnya.
Dulu, anaknya mendapat beasiswa dari pemerintah saat SD. Namun, sejak ia mengirimkannya ke pondok, maka beasiswa itu tak lagi didapat.
Wagino mengaku mantap ingin memasukkan ke pondok karena keinginan agar anak perempuannya bisa belajar agama lebih dalam. Selain itu, juga terhindar dari pergaulan dan gaya hidup anak muda yang menurutnya sering melewati batas.
“Dulu dua kakaknya juga sempat mondok tapi nggak kuat,” kenang Wagino.
Sebelum pulang, saya membeli gasing yang ternyata bisa berbunyi nyaring saat berputar. Awalnya, saya mau beli tasbih seharga Rp10 ribu yang Wagino jual. Namun, saya bercanda bahwa sedang jarang dzikir. Wagino pun tertawa mendengarnya.
Malam itu, sekitar pukul setengah delapan, saya beranjak pergi. Sementara Wagino, masih terus bertahan di depan Indomaret sampai kantuk dan lelah mengharuskannya kembali ke rumah.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News