Di Stasiun Lempuyangan Jogja, seorang tukang ojek pangkalan setia berdiri menanti penumpang di dekat pintu gerbang. Ia mengenakan rompi bertuliskan “ojek” supaya calon penumpang mengerti jasa yang ia tawarkan.
Lebih dari 10 menit saya mengamatinya dari seberang jalan, tukang ojek pangkalan itu sama sekali tidak mencecar orang-orang yang baru turun dari kereta agar menggunakan jasanya. Ia hanya tersenyum kepada mereka yang melintas.
Sebagian dari para penumpang itu akhirnya langsung memesan ojek online saat keluar dari pintu gerbang di pinggir jalan. Begitulah, saat ini layanan praktis lewat aplikasi lebih jadi pilihan utama.
Tukang ojek itu ternyata bernama Sugianto (56). Ia sudah menjalani profesi ini sejak 1997 silam. Cukup panjang perjalanan demi menafkahi keluarga.
Berkat pekerjaan ini, ternyata ia bisa menyekolahkan anaknya hingga pendidikan tinggi. “Dua-duanya di UNY, satu sudah lulus dan satunya masih kuliah,” katanya saat saya temui Rabu (24/1/2024).
Di masa lalu saat layanan manual ini masih jadi pilihan utama, menurutnya ojek pangkalan di Stasiun Lempuyangan jumlahnya bisa mencapai 60-an orang. Saat ini jumlahnya sudah berkurang drastis.
“Sekarang jumlahnya tidak lebih dari 10 orang termasuk saya,” ungkapnya.
Saat masih ramai, mendapat 5-10 penumpang dalam sehari menjadi hal yang mudah. Sekarang kondisinya sudah banyak berubah.
Menurut Sugianto, selain mencari nafkah sejak lama tukang ojek pangkalan hadir untuk turut membantu menjaga ketertiban. Turut membantu jika ada kecelakaan sampai ada hal-hal yang mengganggu keamanan.
Alasan ojek pangkalan bertahan meski ojek online menguasai Stasiun Lempuyangan
Di Stasiun Lempuyangan Jogja, Sugianto setia bertahan karena menurutnya masih ada ceruk pasar yang bisa ia andalkan. Baginya, dengan segala kekurangan ojek pangkalan, masih ada yang membutuhkan.
“Misalnya ada yang butuh cepat, begitu keluar dari stasiun ingin segera berangkat, nah kami kan langsung sigap. Kalau ojek online kan perlu menunggu sejenak di aplikasi,” katanya.
Selain itu, untuk orang tua yang tidak terbiasa dengan perangkat digital, kehadiran jasa seperti Sugianto juga masih cukup diandalkan. “Kalau saya perkirakan, dari semua penumpang stasiun yang butuh ojek, 10-20 persen di antaranya itu masih mau pakai ojek online,” terangnya.
Lelaki ini juga mengaku turut mendaftar sebagai ojek online di salah satu aplikasi. Namun, menurutnya terkadang sistemnya tidak selalu menguntungkan bagi para driver. Selain perkara target yang mengharuskan untuk memacu terus berkeliling, potongan layanan juga agak memberatkan.
“Misalnya narik dapar Rp12 ribu, ya paling nggak Rp4 ribu kan masuk ke aplikasi. Kalau ojek biasa kan nggak seperti itu,” terangnya.
Sugianto misalnya, mematok tarif yang meski lebih tinggi dari ojek online namun masih cukup bersaing. Misalnya dari Stasiun Lempuyangan hingga Terminal Jombor, ia mematok Rp25 ribu. Dari titik yang sama menuju UGM atau UNY, ia mematok Rp15 ribu. Semua itu masuk ke kantongnya tanpa ada potongan pajak atau biaya layanan.
Baca halaman selanjutnya…
Ada yang menganggap keberadaannya menyusahkan, tapi semua demi hidupi keluarga dan kuliahkan anak
Ada yang menganggap ojek pangkalan menyusahkan
Tidak jarang, ada keluhan di media sosial soal keberadaan ojek pengkolan. Seorang penulis Terminal Mojok, Diaz Rodrigo, pernah mengeluh keberadaan ojek pangkalan membuatnya harus berjalan jauh ketika hendak memesan ojek online di terminal maupun stasiun.
Namun, menurut Sugianto, di Stasiun Lempuyangan maupun tempat lain di Jogja, keberadaan ojek pangkalan dan ojek online bisa berdampingan. Sebagai salah satu penyedia jasa, ia mengaku tidak sepakat jika ada praktik memaksa agar calon penumpang menggunakan layanannya.
“Itu kan tergantung pribadinya saja. Saya rasa di Jogja kondisinya tidak begitu,” tuturnya.
Bahkan, ia berpendapat bahwa sesama ojek pangkalan harus rela kalau pelanggan menawar harga agar sesuai dengan standar ojek online saat ini. Hal itu menurutnya maklum.
“Ya tinggal sampaikan saja kalau standar kami segini, jika penumpang tidak mau ya itu hak mereka. Kita fokus dengan kelebihan yang kita punya,” tuturnya.
Baginya, pekerjaan sebagai ojek sudah menjadi bagian hidup. Berkat profesi ini ia mengaku beruntung bisa berkenalan dengan banyak orang. Cerita dari kenalan-kenalan kalangan dosen dan mahasiswa, membuatnya semangat untuk mencari nafkah demi kuliah anak.
“Saya ingat betul, dulu ada yang bilang meski penghasilan terbatas yang penting anak bisa masuk kuliah dulu. Beasiswa bisa dicari. Betul, anak kedua saya bisa dapat KIP Kuliah,” pungkasnya.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News