Mbah Istianah: Nenek Asal Demak yang Suka Ngasih Uang ke Anak Muda di Jalan, Obat Kangen pada Sang Cucu

Cerita Nenek Asal Demak yang Murah Hati MOJOK.CO

Ilustrasi nenek asal Demak yang suka ngasih uang ke anak muda (Ega Fansuri/Mojok.co)

Seorang nenek asal Demak, Jawa Tengah memiliki kebiasaan yang cukup unik. Ia kerap memberi uang pada anak-anak muda yang ia temui di jalan, sebagai obat kangen pada cucu-cucunya yang jauh.

***

Saat tiba di Terminal Jombor, Jogja, sembari membeli rokok saya sempat bertanya pada pemilik warung, kalau mau ke Semarang bus apa yang harus saya naiki?

Pilihannya ada dua. Satu, bus Patas Ramayana. Bus ini akan mengantarkan saya langsung ke Semarang.

Lalu yang kedua adalah bus ekonomi Maju Lancar. Bus ini hanya akan mengantarkan saya sampai Magelang untuk kemudian dioper ke bus lain yang menuju arah Semarang.

Saya memilih bus yang kedua. Bukan semata soal harga. Tapi karena selama ini saya selalu menemukan cerita-cerita menarik tiap kali naik bus ekonomi.

Toh hari itu, Kamis (22/2/2024) saya tak terlalu buru-buru untuk sampai rumah (Rembang, Jawa Tengah). Jadi, momen pertama kali pulang dari Jogja ke rumah itu saya gunakan untuk “bersenang-senang di jalanan”.

Nenek asal Demak yang ramah dengan anak muda

Bus Maju Lancar memang mengoper saya di Magelang. Dari Magelang, saya lupa naik bus apa. Yang jelas, harusnya bus tersebut mengantarkan penumpang sampai Terminal Terboyo, Semarang.

Namun, bus tersebut justru menurunkan penumpang di Banyumanik, Semarang. Persisnya di seberang UMKM Center Jateng. Jaraknya masih 20 menitan lebih sedikit untuk sampai Terminal Terboyo.

Wajah-wajah kesal orang-orang yang dioper bus Maju Lancar. (Aly Reza/Mojok.co)

Jame gak nyandak,” ujar si kenek bus yang disambut dengan gumaman penumpang yang merasa dongkol. Wajah-wajah penumpang itu tampak panik dan kesal.

“Mau ke Terboyo, Le?,” tanya seorang nenek yang di sebelahnya sudah ada seorang anak muda seumuran saya menggendong tas gunung.

“Sudah, bareng mbah saja,” lanjut nenek itu menawari.

Barulah saya ketahui kemudian bahwa nenek tersebut bernama Mbah Istianah (67), asal Demak. Sementara anak muda di sampingnya bernama Ilham, santri Sarang, Rembang, yang baru saja turun dari Gunung Sindoro.

Ilham juga hendak balik ke Rembang. Muncul perasaan lega, karena saya punya barengan.

“Musim libur pondok, jadi main-main,” ucapnya waktu itu.

“Aku nggak kenal mbah ini, tapi sejak dioper tadi, karena aku bingung, terus diajak barengan. Dikasih jajan juga,” bisiknya saat Mbah Istianah tengah ngobrol dengan beberapa orang yang sama-sama dioper sore itu.

Ilham mengaku tak bisa menaruh curiga pada kebaikan Mbah Istianah. Sebab, ia merasakan aura ketulusan pada apa yang Mbah Istianah lakukan.

Kangen dengan cucu

Mbah Istianah ternyata sudah berpengalaman soal oper-operan tersebut.

Kepada saya dan Ilham, ia memberi tahu saya bahwa setelah ini untuk sampai ke Terboyo bisa naik bus Safari jurusan Semarang-Solo.

“Bayarnya cuma Rp5 ribu kalau nggak Rp10 ribu, Le,” jelas Mbah Istianah.

Kami naik bus Safari ke Terminal Terboyo jam empat sore, lebih sedikit lah. Karena tertarik denga sosok Mbah Istianah, saya memilih duduk di sebelahnya.

“Ini, Le, buat bayar berdua,” ucap nenek asal Demak itu sembari menyodorkan uang Rp20 ribu untuk bayar saya dan Ilham.

Saya tentu menolaknya. Saya malah berniat membayari Mbah Istianah yang sudah ramah pada kami. Tapi ia memaksa agar kami membayar pakai uang yang ia beri.

“Saya itu suka melas kalau lihat anak-anak muda sedang perjalanan kayak kamu. Ingat cucu saya yang sering ngebus dari Demak ke Jombang (Jawa Timur). Cucu saya mondok di Tebuireng,” ungkap Mbah Istianah.

Dari ungkapan Mbah Istianah itu pula saya tahu, kalau ternyata saya dan Ilham hanya dua dari sekian banyak anak-anak muda yang mendapat uang saku dari Mbah Istianah.

Hari itu Mbah Istianah dari Magelang. Entah keperluan apa, saya luput menanyainya. Yang jelas, ia memang suka tak tega dengan anak-anak muda yang sedang merantau.

Lebih dari itu, Mbah Istianah berharap, dengan menolong atau mengasihi anak-anak muda yang ia temui di jalan, maka balasan baiknya akan kembali ke cucunya sendiri.

Konon, satu cucu Mbah Istianah yang nyantri di Tebuireng kerap kali mendapat belas kasih dari orang-orang tak dikenal setiap kali ia melakukan perjalanan dari Demak-Jombang (juga sebaliknya).

Itulah kenapa Mbah Istianah memiliki kebiasaan ngasih uang ke anak-anak muda yang ia temui di jalan.

“Cucu saya ada banyak, tapi jauh-jauh semua. Kangen, ketemunya jarang. Jadi ya kamu saya anggap cucu sendiri,” ucapnya.

Baca halaman selanjutnya…

Perpisahan yang penuh pesan mendalam

Pesan untuk rajin ngaji Al-Qur’an

“Mau nyari bus Jaya Utama, to?,” tanya Mbah Istianah pada saya dan Ilham. Kami kompak menjawab “Nggeh (Iya)”. Mbah Istianah lalu meminta kami mengikutinya.

Ia lalu menunjukkan titik yang pas untuk menunggu bus Jaya Utama untuk jurusan Surabaya.

Mbah Istianah, nenek asal Demak yang murah hati (Aly Reza/Mojok.co)

“Ini buat umbal (bayar bus),” ujar Mbah Istianah menyerahkan uang sebesar Rp100 ribu.

Ilham lekas-lekas menolaknya. Pastinya tidak enak. Bagaimana bisa kami yang baru Mbah Istianah temui hari itu, hanya dalam waktu yang sangat singkat, tapi ia malah sudah sejur-juran itu.

Mbah Istianah sempat memaksa. Tapi karena saya pun ikut menolaknya sehalus mungkin, ia pun tersenyum. Hanya saja, ia meminta menemani kami sampai kami mendapat bus.

Di tengah-tengah menunggu bus itu, Mbah Istianah berpesan kepada saya dan Ilham agar tidak meninggalkan ngaji Al-Qur’an.

“Saya dulu waktu kecil, paling suka ngaji Al-Qur’an di langgar. Tapi sekarang sudah lupa. Izhar, idgham (hukum tajwid) saya dulu paham,” ungkapnya.

“Al-Qur’an itu tamba ati (obat hati), Le. Jadi jangan nggak dibaca,” sambungnya. (Cek lirik Tamba Ati. Baca Al-Qur’ran menempati urutan pertama).

Tak lama berselang, bus Jaya Utama keluar dari pangkalan. Kami pun berpamitan dengan Mbah Istianah untuk melanjutkan perjalanan ke Rembang.

Dari kaca jendela bus, lamat-lamat saya lihat nenek asal Demak itu berjalan mendekati bus kecil jurusan Sayung, Demak. Sekilas tampak ia menyeka wajahnya. Entah menyeka keringat atau air mata.

Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Calo Terminal Terboyo Semarang Lebih Kejam dari Calo Bungurasih, Mau ke Jogja Malah Dinaikkan Bus ke Pekalongan

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

 

 

Exit mobile version