Pesan untuk rajin ngaji Al-Qur’an
“Mau nyari bus Jaya Utama, to?,” tanya Mbah Istianah pada saya dan Ilham. Kami kompak menjawab “Nggeh (Iya)”. Mbah Istianah lalu meminta kami mengikutinya.
Ia lalu menunjukkan titik yang pas untuk menunggu bus Jaya Utama untuk jurusan Surabaya.
“Ini buat umbal (bayar bus),” ujar Mbah Istianah menyerahkan uang sebesar Rp100 ribu.
Ilham lekas-lekas menolaknya. Pastinya tidak enak. Bagaimana bisa kami yang baru Mbah Istianah temui hari itu, hanya dalam waktu yang sangat singkat, tapi ia malah sudah sejur-juran itu.
Mbah Istianah sempat memaksa. Tapi karena saya pun ikut menolaknya sehalus mungkin, ia pun tersenyum. Hanya saja, ia meminta menemani kami sampai kami mendapat bus.
Di tengah-tengah menunggu bus itu, Mbah Istianah berpesan kepada saya dan Ilham agar tidak meninggalkan ngaji Al-Qur’an.
“Saya dulu waktu kecil, paling suka ngaji Al-Qur’an di langgar. Tapi sekarang sudah lupa. Izhar, idgham (hukum tajwid) saya dulu paham,” ungkapnya.
“Al-Qur’an itu tamba ati (obat hati), Le. Jadi jangan nggak dibaca,” sambungnya. (Cek lirik Tamba Ati. Baca Al-Qur’ran menempati urutan pertama).
Tak lama berselang, bus Jaya Utama keluar dari pangkalan. Kami pun berpamitan dengan Mbah Istianah untuk melanjutkan perjalanan ke Rembang.
Dari kaca jendela bus, lamat-lamat saya lihat nenek asal Demak itu berjalan mendekati bus kecil jurusan Sayung, Demak. Sekilas tampak ia menyeka wajahnya. Entah menyeka keringat atau air mata.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News