Gimana Minat Baca di Indonesia Mau Tinggi Kalau Bawa Novel ke Sekolah Aja Dirazia

Gimana Minat Baca di Indonesia Mau Tinggi Kalau Bawa Novel ke Sekolah Aja Dirazia MOJOK.CO

Ilustrasi Gimana Minat Baca di Indonesia Mau Tinggi Kalau Bawa Novel ke Sekolah Aja Dirazia. (Mojok.co)

Minat baca pelajar Indonesia makin anjlok. Di sisi lain, masih ada lembaga pendidikan yang melakukan razia ke siswanya yang membawa novel ke sekolah.

***

Belakangan, isu soal minat baca pelajar Indonesia yang semakin rendah menjadi sorotan. Terlebih setelah keluarnya penilaian Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 yang dirilis Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) belum lama ini.

Dalam penilaian PISA 2022 tersebut, minat membaca pelajar Indonesia mengalami penurunan. Pada 2018 lalu, skor PISA Indonesia untuk bidang literasi membaca adalah sebesar 371. Sedangkan pada 2022, turun ke level 359. 

Hasil penilaian tersebut sekaligus menjadi indeks literasi membaca terendah di ASEAN. Jika dibandingkan negara jiran seperti Singapura, misalnya, Indonesia jelas kalah jauh. 

Dalam penilaian yang sama, Singapura memperoleh skor 543, berada di level 3 sekaligus menjadi juara dalam 81 negara yang mengikuti tes PISA. Skor Indonesia juga jauh di bawah skor rata-rata negara anggota OECD yang kisarannya 472-480 poin.

Pantas minat baca rendah, bawa novel ke sekolah saja dilarang

Dalam riuhnya perbincangan di platform X soal rendahnya skor PISA Indonesia, Mojok berhasil menghubungi Ervina (20) yang mengaku sebagai “korban sekolah”. Korban yang ia maksud, adalah pelajar hanya jadi hasil dari bobroknya sistem sekolah yang malah bikin indeks baca siswa semakin rendah.

Misalnya, ia mencontohkan, saat masih SMA, pihak sekolah justru melarang buku-buku yang mereka anggap tak berkaitan dengan mata pelajaran. Alhasil, novel yang siswa bawa terpaksa kena razia.

“Aku pernah bawa novel ‘Dilan’, soalnya kebetulan waktu itu lagi hype mau tayang filmnya. Eh, kena razia. Diambil BK karena dianggap ‘tidak berkaitan sama pelajaran sekolah’,” ungkap perempuan yang kini berkuliah di salah satu universitas swasta Kota Yogyakarta, saat dihubungi Mojok, Senin (11/12/2023).

Saat itu, ia tidak melawan dan malah sempat tak merasa keberatan dengan sikap sekolah.

“Awalnya sih mikir, ‘iya juga, kan novel nggak berhubungan sama pelajaran’. Apalagi, saat itu aku jurusan IPA,” sambungnya.

Namun, sikap sekolah ia anggap makin arogan dan tak masuk akal tatkala makin banyak teman-temannya yang juga kena razia. Apalagi, tak ada kejelasan kapan sekolah akan mengembalikan novel-novel tersebut.

Ervina, yang tak mau menyebut nama sekolahnya di Yogyakarta, mengaku hingga saat ini pihak sekolah belum mengembalikan novel miliknya.

“Pesanku kepada sekolah sih sederhana aja kali ya, ‘stop razia novel’, sama balikin bukuku dong. Itu belinya pakai uang,” geramnya.

Perpustakaan isinya buku paket dan modul 

Selain kerapnya razia buku-buku yang dianggap “tak berhubungan dengan pelajaran”, hal lain yang menjadi sorotan para pelajar adalah koleksi buku perpustakaan sekolah yang “itu-itu aja”.

Seperti Ervina ungkapkan, masalah yang bikin ia malas datang ke perpustakaan sekolah adalah karena buku-bukunya yang membosankan.

“Gimana nggak bosan, kalau isinya cuma modul-modul pembelajaran sama buku paket,” kata Ervina.

Ia menyadari bahwa tidak bisa memukul rata kondisi kondisi untuk semua sekolah. Namun, berkaca dari sekolahnya, Ervina menganggap perpustakaan sekolah idealnya menyediakan bacaan yang beragam dan menarik, bukan malah sebaliknya.

“Seumur-umur aku ngunjungin perpustakaan sekolahku, cuma nemu dua novel sastra. ‘Atheis’ karya Achdiat Karta Miharja sama ‘Dunia Sophie’. Itu pun kondisinya udah kayak berabad-abad nggak disentuh manusia,” pungkasnya.

Perpustakaan sekolah jadi tempat membosankan

Anggota Komisi X Fraksi Demokrat DPR RI, Dede Yusuf, dalam rapat kerja bersama Mendikbud Nadiem Makarim pada 2020 silam sempat menyinggung situasi “membosankan” perpustakaan sekolah.

Dede Yusuf, kala itu menyoroti miskinnya koleksi perpustakaan di sekolah-sekolah. Dalam beberapa kunjungannya ke sekolah-sekolah tingkat menengah, rata-rata perpustakaan hanya berisi buku-buku pelajaran.

“Ini sangat membosankan,” katanya.

Alhasil, kata Dede Yusuf, kondisi itulah yang bikin perpustakaan-perpustakaan yang ada di sekolah minim kunjungan dari para siswa. Ia pun meminta agar pihak sekolah memperkaya koleksi buku perpustakaan.

“Anak-anak perlu ada buku-buku tentang instruksional. Mungkin juga fiksi-fiksi yang bermanfaat,” jelas Dede.

Untuk mengukur kemampuan tersebut, PISA melakukan tes dan survei kepada sampel pelajar berusia 15 tahun dari puluhan negara. PISA kemudian mengklasifikasikan kemampuan membaca menjadi 8 level, dari level tertinggi 6, 5, 4, 3, 2, 1a, 1b, sampai 1c.

Perolehan skor 359 itu menempatkan Indonesia di level 1a atau secara umum pelajar Indonesia bisa memahami arti harfiah dari kalimat atau paragraf pendek.

Malaysia, Thailand, dan Filipina juga masuk level 1a, dengan kisaran skor PISA antara 335-406. Malaysia dan Thailand mendapatkan skor lebih baik daripada Indonesia meski jaraknya tak terpaut jauh.

Negara tetangga lain skornya tinggi yaitu Brunei Darussalam dan Vietnam yang keduanya berada di kisaran 407-479, menempatkan mereka di level 2. Pembaca di level 2 ini umumnya bisa memahami teks dengan panjang sedang, serta bisa memahami atau menafsirkan makna teks meski informasinya tidak eksplisit.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Cerita Mahasiswa Surabaya yang Rela Lapar Demi Beli Buku

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

 

Exit mobile version