Miftah Maulana Habiburrahman mengundurkan dari jabatan Utusan Khusus Presiden pada Jumat (6/12/2024). Pria yang akrab dipanggil Gus Miftah itu viral karena menghina pedagang es teh. Kasus ini adalah pelajaran bagi semua, bahwa gelar gus itu berat. Tidak boleh kelewat bangga, apalagi belagu.
***
Pengasuh Pesantren Al-Falah Plosos, Kediri, Jawa Timur, KH Abdurrahman Al-Kautsar alias Gus Kautsar pernah mengingatkan, bahwa orang yang mendapat panggilan gus tidak boleh bangga lebih dahulu.
Gus sendiri adalah gelar penghormatan yang diberikan kepada putra seorang kiai atau ulama, juga pemilik maupun pengasuh pondok pesantren. Gelar ini biasanya dijumpai di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), khususnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Kautsar berujar gelar Gus disematkan masyarakat kepada anak ulama yang memiliki karya, atsar, atau peninggalan untuk masyarakat. Dengan kata lain, Gus sama sekali bukan gelar kehormatan yang diberikan kepada anak tersebut karena kehebatannya.
“Gus itu sama sekali bukan penghormatan kepada dirinya. Tidak. Tapi ini adalah menghargai jasa-jasa orang tuanya,” tegas Kautsar dikutip dari YouTube Kece Media by Unesa pada Jumat (6/12/2024).
Dalam kasus Miftah Maulana alias Gus Miftah, dia dianggap menghina pedagang es teh. Tak lama kemudian, sebuah video lama yang menunujukkan Miftah merendahkan aktris Yati Pesek kembali viral di media sosial. Sebagai pemuka agama yang harusnya disegani, Gus Miftah malah mendapat banyak hujatan. Dia didera sanksi sosial bertubi.
Hati-hati dengan gelar “Gus”
Belakangan, gelar Gus bahkan lebih tren ketimbang kiai. Padahal, kata Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang, KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus, gelar Gus adalah panggilan kepada anak kiai yang belum pantas dipanggil kiai.
“Gus, adalah istilah Pesantren untuk menyebut anak kiai yang belum pantas dipanggil kiai (walau sudah tua sekalipun, seperti halnya Gus Mus),” tulis Kiai Mustofa Bisri melalui akun Facebook pribadinya, dikutip Jumat (6/12/2024).
Peneliti sosiologi Universitas Indonesia, Ida Ruwaida Noor mewanti penyematan gelar gus secara feodal berpotensi terjadi di kalangan pesantren. Sistem ketidakadilan itu bisa terjadi ketika status atau kedudukan seseorang di masyarakat didasarkan pada keturunan, bukan karena pencapaian.
“Walaupun istilah tersebut biasanya digunakan pada isu kekuasaan yang turun menurun,” ucap Ida, kepada Mojok, Kamis (5/12/2024).
Ketika sistem feodal terjadi dalam pesantren, tentu lingkungan menjadi tidak demokratis. Masyarakat harus patuh, kalau tidak, dia dianggap membangkang atau menyimpang.
“Bahkan ada kasus-kasus yang justru memanfaatkan status dan simbolnya untuk memperdayai, bahkan mengeksploitasi pihak-pihak tertentu,” kata Ida.
Tak semua bisa menoleransi dakwah Gus Miftah
Ida menjelaskan Gus dianggap punya status atau kedudukan tinggi karena merupakan keturunan kiai. Oleh karena itu, masyarakat cenderung menghormati dan mematuhi apa kata Gus, sebab dianggap memiliki otoritas “ilmu agama”.
“Karena faktor keturunan otomatis dapat status terhormat, bahkan dapat privilage tertentu,” ujarnya.
Sementara itu, Filosof sekaligus Penemu Teori Sistem Filsafat Ketuhanan, Gigih Saputra mengatakan sistem feodal seringnya menuntut ketidakadilan dari ulama kepada pengikutnya.
Ketika masyarakat memberikan kekuasaan besar kepada golongan bangsawan, dalam hal ini khususnya ulama, gus, atau syekh bisa berbahaya. Secara tidak langsung, masyarakat dapat menormalisasi segala perilakunya.
“Gelar Gus sangat dihormati dalam kontes umat Islam di Jawa. Namun, seharusnya gelar tersebut jangan dimanfaatkan untuk menormalisasi hal yang negatif apalagi membentuk ketidakadilan berpikir,” ucapnya.
Sebagai contoh saja, celetukan Miftah Maulana alias Gus Miftah yang menghina pedagang es teh. Masyarakat bisa menganggap hal itu biasa dan boleh ditiru.
Miftah Maulana kelewat bercanda
Gigih berujar pemuka agama memiliki kedudukan tinggi dan berpengaruh besar di dalam masyarakat Islam terutama di Jawa. Segala pemikiran, perilaku, dan tutur katanya akan menjadi contoh di masyarakat. Bahkan cenderung taklid, alias diterima walaupun tanpa mengetahui dasarnya.
Menyampaikan dakwah dengan karakter suka bercanda, kata Gigih, sebetulnya boleh-boleh saja. Namun, candaan seperti Miftah Maulana alias Gus Miftah yang merendahkan orang lain di muka umum itu bukan sikap yang bisa ditolerir. Malah bahaya jika dianggap sebagai hal yang biasa.
“Alasan bercanda sebagai normalisasi itu sangat tidak etis karena menyinggung aspek kemanusiaan paling mendasar tentang akal budi, apalagi dalam konteks umum,” kata Gigih.
Gigih mengatakan seorang figur ulama harusnya bisa memberikan transformasi kemajuan berpikir, sebagaimana di zaman emas peradaban Islam dulu. Ketika sesuatu yang tidak biasa dianggap biasa, maka akan berakibat pada stagnasi perkembangan peradaban.
“Ketidakadilan berakibat pada minimnya inovasi dan kreatifitas temuan-temuan besar seperti teknologi tepat guna dan teori baru,” ucapnya.
Sementara itu, Pengasuh Pesantren Al-Falah Plosos, Gus Kautsar mengatakan Gus tidak boleh mengandalkan nasab orang tuanya untuk dipanggil kiai. Kebetulan, Gus adalah orang yang terlahir dari keluarga istimewa.
Namun demikian, dia harus mampu mengangkat keturunan dan prestasinya sendiri tanpa harus melibatkan orang tuanya.
“Hanya untuk mengingatkan ‘He, Mas. Anda itu anaknya orang hebat. Sekarang berusahalah untuk kemudian memantaskan diri menjadi orang yang lumayan. Tidak usah seperti bapaknya, setidaknya lumayan,” kata Gus Kautsar.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Gus Miftah Ajak Selawatan Pemandu Karaoke di Klub Malam
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.