Pameran seni rupa bertajuk “Patung dan Aktivisme” di Jogja menjadi bentuk perlawanan dari seorang seniman Dolorosa Sinaga dan Budi Santoso untuk menolak kekerasan. Mereka ingin sejarah kelam tentang isu kemanusiaan terus menggema.
***
Pameran “Patung dan Aktivisme” digelar dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda, Senin (28/10/2024) di Jogja National Museum. Saya hadir di sana pukul 16.00 WIB, sembari mengikuti diskusi bersama Rocky Gerung, Enin Supriyanto, dan Melati Suryodarmo tentang aktivisme dan seni.
Saya menyusuri ruang pameran sampai lantai tiga. Setiap menaiki tangga, saya sudah disuguhi dengan tulisan-tulisan perlawanan, misalnya “Kami menolak lupa” atau “Kami lelah dengan kekerasan”.
Menolak kekerasan lewat pameran seni rupa
Karya patung milik Dolorosa Sinaga dan Budi Santoso seolah mengajak saya mengingat berbagai peristiwa sosial, politik, krisis ekonomi, kekerasan massal, krisis iklim dan lingkungan hidup di muka bumi. Karyanya menunjukkan pengalaman korban yang miris menghadapi kekerasan dari kalangan atas.
Pameran tiga dimensi itu mengangkat isu soal ketidakadilan, penindasan yang dipertontonkan, dan kemunafikan dalam struktur sosial yang menyesakkan. Saya seperti melihat pengalaman kaum yang tergusur dan terpinggirkan secara langsung dari 53 karya yang ditampilkan.
Patung-patung yang merupakan korban kekerasan itu seolah berteriak dan bergeliat untuk bangkit membuka tabir catatan sejarah kelam. Beberapa karya Dolorosa Sinaga yang dipajang berjudul “Di Ambang Batas”, “The Wailings”, “I, The Witness”, “Seri Tiga Penyintas”, dan sebagainya.
Salah satu karya yang terpajang adalah “Tragic Tendency”. Karya ini menunjukkan perempuan dengan tangan terikat pada kerangka besi dengan posisi tubuh yang lunglai dan tak berdaya. Kerangka besi menyimbolkan pembangunan yang gencar di era sekarang.
Sementara, perempuan hanya bisa menjadi pekerja di sektor industri. Mereka ditempatkan dalam pekerjaan-pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan upah yang rendah. Pembagian kerja itu diciptakan oleh laki-laki.
Menyuarakan isu perempuan dan anak di Gaza
Mata saya terpana ketika melihat karya “Lives Matter!” dari Dolorasa di lantai dua. Secara umum, karya itu menggambarkan rasa kemanusiaan Dolorosa terhadap kekerasan sekaligus genosida di Gaza.
“Karya ini sebagai doa kemanusiaan yang saya kirimkan kepada Benjamin Netanyahu (Perdana menteri Israel) dan Hamas, supaya mereka berhenti membunuh perempuan dan anak,” ucapnya kepada Mojok saat ditemui di Jogja National Museum pada Senin, (28/10/2024).
Dalam karya tersebut, Dolorosa membuat 80 sosok perempuan dengan bentuk yang berbeda. Dia merasa jumlah itu sudah cukup untuk menunjukkan surplus energi kepeduliannya terhadap perempuan dan anak di Gaza.
Patung-patung perempuan itu terbuat dari bahan aluminium foil dan fiberglass, yang membuatnya berkilau di bawah sinar lampu. Mereka berjejer di atas instalansi berbentuk altar lilin berbahan kayu, seperti yang bisa kita temui di gereja.
Sosok Widji Thukul menjadi ikon di pameran seni rupa Jogja
Saya melanjutkan perjalanan sampai ke lantai tiga, ruangan terakhir pameran patung. Di sana, saya bertemu dengan seorang kawan bernama Yanna Suryana (23) yang terlihat takjub melihat karya berjudul “Hanya Satu Kata: Lawan!”.
Karya Dolorosa itu menunjukkan sosok Widji Thukul, seorang penyair kiri yang diculik tahun 1996. Hingga kini, belum ada kejelasan soal kabar Widji. Namun, melihat sejarahnya, Widji tak terlepas dari tindak kekerasan karena perlawanannya kepada kebijakan pemerintah yang buruk. Melalui bentuk tubuh Widji yang kurus, dia ingin memperlihatkan bahwa masih ada harapan di tengah penderitaan.
Yanna mengaku telah mengetahui sosok Widji Thukul sejak SMA dari buku-buku sejarah. Meskipun menempuh kuliah di Jurusan Pendidikan, Yanna juga tertarik dengan seni. Dia pernah mengikuti ekstrakurikuler teater.
“Saya suka dengan puisi-puisi Widji Thukul, dia mampu mengekspresikan keresahannya, marahnya lewat kata-kata. Kalimatnya sering kali menohok,” ucap mahasiswa Universitas Atma Jaya itu.
Seorang maestro pematung sekaligus aktivis yang menolak kekerasan
Widji Thukul adalah satu dari lima figur historis laki-laki dalam karya Dolorosa Sinaga. Empat figur lainnya, yaitu Abdurrahman Wahid, Dalai Lama, Soekarno, serta Eduard Douwes Dekker atau yang terkenal dengan nama pena Multatuli.
Dolorosa memang terkenal dengan karya-karyanya yang berbicara soal perjuangan perempuan, meski begitu dia tak menampik untuk menyuarakan isu soal solidaritas, keragaman budaya, hak asasi manusia (HAM), dan menolak kekerasan.
“Di benak saya, perempuan yang harus dibela. Tapi kemudian saya melihat tokoh kemanusiaan, sosok yang melawan rezim militer, figur yang mengumandangkan perdamaian dunia dan membuka pikiran bahwa penindasan manusia harus dihentikan,” ucapnya.
Perempuan asal Sibolga, Sumatera Utara itu bercerita, sikapnya yang terkesan “membangkang” sudah muncul sejak dia kecil. Misalnya, ada aturan dalam keluarga jika perempuan harus memakai baju seperti rok, berwarna cerah, dan sebagainya. Namun, aturan ada untuk dilanggar.
“Saya kemudian bergaul dengan kawan-kawan aktivis untuk melawan ketidakadilan dan menentang kekuasaan otoriter, dan rasanya semua itu sudah mengalir dalam darah saya,” kata dia.
Menginginkan pameran seni rupa di Jogja untuk perubahan
Dolorosa memilih berkarya lewat patung. Bagi lulusan St. Martins School of Art itu masyarakat bisa mendapatkan pengalaman yang berbeda lewat patung. Sebab, patung membutuhkan ruang.
“Ketika seseorang melihat patung, maka yang terjadi adalah peristiwa di mana volume dan ekspresi patung itu menjadi ‘hidup’,” ucap Dolorosa yang juga merupakan alumni dari Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) yang kini lebih dikenal dengan Institut Kesenian Jakarta.
Dolorosa yakin seni bisa mendidik orang untuk menghormati perbedaan, apalagi sebagai medium perlawanan terhadap kekusaan. Melalui pameran yang dia gelar, Dolorosa ingin menggalang kesadaran masyarakat untuk melakukan perubahan.
“Creativity is a joy forever, Art is love, art is power. Fear no power,” ucapnya.
Dolorosa memastikan karya-karyanya akan terus memperlihatkan tentang kepedulian dan pembelaanya terhadap kaum perempuan yang tertindas. Dia punya cita-cita membangun milisi seni karena merasa berkewajiban untuk melibatkan diri pada aktivitas seni.
“Sungguh saya ingin mewujudkan suatu keadaan di mana jumlah seniman di Indonesia harus lebih besar dari jumlah tentara yang ada di negara ini. Dengan demikian, maka saya bisa meyakini bahwa bangsa Indonesia akan tumbuh sebagai bangsa yang ‘less violence’”.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News