Ada dua hal yang membuat perantau Minang di Jogja merasa asing. Pertama, Bahasa Jawa yang tak mereka pahami. Kedua, rasa masakan Padang yang tak mereka kenali.
Setidaknya dua hal itulah yang dirasakan Bayu (23), seorang perantau asal Sumatera Barat. Setelah empat tahun menetap di Jogja, lidahnya seperti sudah lelah mencari masakan yang bisa “membuatnya pulang”.
Alih-alih nostalgia, setiap kali ia mampir ke rumah makan Padang, yang ia temukan malah culture shock kuliner.
“Rendang kok manis?” ujarnya suatu malam, Selasa (12/8/2025), setelah menyerah pada sepotong rendang yang ia beli di salah satu rumah makan Padang populer.
“Ini bukan rendang. Ini daging masak kecap.”
Itulah dilema Bayu. Di Padang, bagi dia, rendang adalah mahakarya. Daging dimasak berjam-jam hingga kering, bumbunya hitam pekat, dan rasanya kaya rempah. Dagingnya empuk, tapi tidak hancur.
Sementara di Jogja, Bayu sering menemukan rendang yang masih basah, warnanya kemerahan, dan yang paling membuatnya frustrasi: rasanya didominasi manis.
“Di Jogja, masakan Padang seperti musafir yang lupa arah pulang”
Sebenarnya, Bayu menyadari bahwa di tiap daerah pasti ada penyesuaian budaya. Termasuk dalam hal kuliner.
Jogja, memang sejak lama dikenal dengan kuliner manis. Misalnya, yang paling terkenal adalah gudeg. Hal ini masuk akal, mengingat dalam sejarahnya, pabrik gula begitu menjamur di sini.
Namun, soal masakan Padang yang kehilangan cita rasa asli, ia mengaku masih ada perasaan mengganjal dalam hatinya.
“Bahkan kalau aku datang ke rumah makan Padang yang ada label ‘asli’ sekalipun, rasa masakannya nggak benar-benar asli. Ya, itu tadi, masakan Padang yang harusnya pedas malah terkesan manis,” ujarnya.
“Aku paham, mereka ingin menyenangkan semua orang, tapi akhirnya malah kehilangan identitas. Malah seperti seorang musafir yang lupa arah pulang,” ia mengeluh.
Soal rasa masakan Padang yang superpedas dan kaya rempah, saya sendiri sepakat dengan Bayu. Akhir Juli 2025, saya melawat ke Riau selama seminggu. Di sana, saya berwisata kuliner khas Melayu—kurang lebih cita rasanya sebelas dua belas dengan Minang.
Dan, seperti yang dikatakan Bayu: semua serba pedas—pedas yang nampol, tak ada toleransi untuk rasa manis. Rasa rempahnya juga sangat kuat; bagi yang tak terbiasa, mungkin sulit buat menikmatinya.
Cita rasa khas tersebut sulit saya jumpai di Jogja.
Aman di lidah, tapi hambar di hati
Masalahnya tidak berhenti pada rendang saja. Bagi Bayu, hampir semua menu yang ia coba di Jogja, terasa aneh di lidah.
Misalnya, ayam pop yang seharusnya pucat, gurih, dan bumbunya meresap hingga ke tulang, di Jogja sering kali digoreng terlalu kering hingga kulitnya kecoklatan.
Adapun bumbu gulai yang seharusnya kental dengan santan dan rempah, di sini sering terasa encer.
“Sambal ijonya pun tidak pedas,” kata Bayu. Soal sambal ijo ini, sepengalaman saya memakannya langsung dari “rumahnya”, saya sepakat dengan Bayu.
“Ini, sih, masakan Padang rasa Jawa,” guraunya.
Namun, Bayu juga menyadari bahwa fenomena ini bisa saja menjadi “siasat lidah” yang dilakukan para pengusaha rumah makan Padang di Jogja. Mereka tahu, pasar di sini adalah lidah-lidah yang tidak terbiasa dengan rempah kuat dan pedas.
Alhasil, demi bertahan, mereka berkompromi. Hasilnya, terciptalah masakan Padang versi “adaptif” yang kata Bayu, “aman di lidah, tapi hambar di hati.”
Faktor bumbu dan teknis jadi alasan masakan Padang di Jogja hambar
Mojok sendiri pernah mewawancarai pelaku usaha RM Padang di Maguwoharjo, Sleman. Ani (37), namanya. Ia merupakan orang Minang asli yang sudah 10 tahun lebih membuka rumah makan di Jogja.
Soal “adaptasi rasa” masakan Padang—yang dianggap tak cocok di lidah orang Minang, Ani mengaku memang ada upaya penyesuaian dengan lidah orang Jogja.
Namun, ada hal lain juga yang sebenarnya jadi alasan. Menurutnya, bumbu-bumbu segar dan rempah khas Minang sulit ditemukan di Jogja. Santan kental, daun-daunan khusus, dan cabai dengan tingkat kepedasan tertentu adalah jiwa masakan Padang.
Bagi Ani, hilangnya salah satu dari mereka, atau penggunaan bumbu yang tidak segar, bisa mengubah segalanya.
“Sesederhana rempah ini aja, Mas, andaliman. Itu rempah khusus di Sumatera, di Jawa nggak ada. Beberapa masakan hilang nyawa tanpa campuran rempah ini,” ujarnya.
Selain itu, juga ada faktor teknis. Di Padang, proses memasak gulai dan rendang dilakukan dengan penuh kesabaran, berjam-jam lamanya.
Sementara di Jogja, efisiensi adalah segalanya, sehingga proses memasak dipercepat. Sebuah proses yang terburu-buru, kata Ani, adalah salah satu alasan mengapa rasa masakan di sini terasa dianggap “tanggung” bagi orang Minang—tapi sudah cukup bagi lidah Jogja.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Pertama Kali Makan Sate Koyor di Pasar Ngasem Berujung Menyesal, Mood Jadi Berantakan karena FOMO atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
