Manga dan Manhwa Semakin Populer di Kalangan Anak Muda, ke Mana Komik Karya Indonesia?

Komik Indonesia di tengah popularitas Manga dan Manhwa MOJOK.CO

Ilustrasi - Komik Indonesia di tengah popularitas Manga dan Manhwa. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Rak komik di toko buku yang saya jumpai sehari-hari sering kali terisi penuh dengan Manga dan Manhwa. Jika ada komik lain pun, biasanya komik asal Barat seperti komik pahlawan-super. Indonesia sebenarnya memiliki karya-karya komiknya sendiri. Namun, kenapa pamornya seperti tertelan dengan popularitas komik-komik luar negeri?

***

Ketika mengunjungi Gramedia atau Periplus dan melewati rak komik, Manga-Manga populer terkini seperti Jujutsu Kaisen, Demon Slayer, ataupun yang klasik seperti One-Piece berderet mencolok.

Komik-komik luar ini memang memiliki pasar pembaca yang relatif stabil atau bahkan masih bertumbuh hingga kini. Berangkat dari fenomena tersebut, muncul lah pertanyaan di dalam benak saya, “Ke mana komik-komik karya Indonesia?”

Komik Indonesia sebenarnya pernah berjaya. Pada 1960-an sampai 1970-an, terbit komik-komik populer seperti Mahabharata dan Gundala Putra Petir. Kini, selain komik Si Juki, komik-komik karya lain jarang terlihat.

Ketiadaan industri mengaburkan komik Indonesia

Indonesia memang pernah memiliki industri komik yang besar di sekitar tahun 1960-an sampai 1970-an. Namun, di bawah pemerintahan Orde Baru, banyak dari industri tersebut gulung tikar.

“Ketika komik dicap sebagai bacaan buruk di tahun 80-an, orang tua mendorong anak untuk membeli buku saja. Sehingga itu mengubah pola belanja anak. Mereka tidak lagi ke rental komik,” jelas pengamat budaya komik Indonesia, Hikmat Darmawan, saat saya temui pada Senin (25/8/2025)

Oleh karena itu, komik di era kontemporer kini tidak memiliki industri atau ekosistem yang jelas. Ketiadaan industri komik inilah yang menjadi permasalahan struktural dan menjadi penyebab utama mengapa komik karya Indonesia di saat ini tidak begitu nampak. Belum lagi ditambah dengan berkembang pesatnya komik-komik asing di Indonesia.

“Tumbuh lah dua atau tiga generasi yang bacaan pertama mereka tentang komik adalah bukan komik Indonesia. Pun komik Indonesia yang mereka jumpai di-Manga-Mangakan atau di-Marvel-Marvelkan,” ucap Hikmat.

Ketiadaan industri yang terstruktur ini menyebabkan komik-komik Indonesia menjangkau masyarakat lewat sektor informal. Tetapi itupun tidak sustainable.

“Secara cetak kita sudah kalah, dan kalau bicara Gramedia kan monopolistik. Kan dia punya toko buku dan distributor, secara rasional lebih masuk akal untuk ngambil terjemahan. Ya tergusur lah komik Indonesia” sambung Hikmat.

Kecemasan menghidupi diri sebagai komikus

Ketika membicarakan tantangan membuat komik saat ini, sebenarnya banyak dimensi yang patut disoroti. Nihilnya pendistribusian komik di Indonesia tidak hanya menyebabkan ketiadaan pasar untuk komik Indonesia, tetapi juga ilmu untuk membuat komik itu sendiri. Alhasil banyak komikus Indonesia pada saat ini belajar membuat komik secara otodidak.

Saya juga sempat berbincang dengan penulis komik Ricky R. Setiyawan, yang pernah menulis komik Roh Garuda. Ia bercerita, salah satu kekhawatiran sebagai komikus sekarang adalah bagaimana cara mencari nafkah jika hanya membuat komik saja.

“Secara realistis kan kita selalu membayangkan masa depannya ke mana sebagai individu. Sebagai komikus itu apakah bisa hidup dari pekerjaan itu, belum lagi yang sandwich generation,” cerita Ricky dengan keprihatinan.

“Sulit juga untuk membuat komik ketika dihajar dengan adanya opsi-opsi lain, seperti hiburan gawai ataupun komik-komik luar yang industrinya kuat,” sambung Ricky. Akhirnya motivasi sebagai komikus pun tidak begitu menarik bagi anak-anak muda.

Mungkinkah menciptakan pasar komik Indonesia (lagi)?

Pasar pada dasarnya dapat diciptakan, begitu juga dengan perkomikan di Indonesia. Hanya saja, enurut Ricky, menciptakan perubahan besar seperti menciptakan pasar komik Indoneisa (lagi) bukan tanggung jawab satu orang.

Untuk memancing perputaran uang yang sehat, butuh adanya kolaborasi antar-berbagai pihak industri multimedia.

Untuk para komikus, menurut Ricky, yang perlu ditekankan pada masa kini adalah pemahaman tentang pengembangan Intellectual Property (I.P.). Ketika sudah menjadi I.P., baru memungkinkan untuk mengadaptasi komik ke berbagai medium lainnya. Contohnya dengan mengadaptasi komik-komik menjadi film ataupun animasi.

“Saranku untuk para komikus, mereka harus berpikir bahwa karya mereka ini bisa menjadi milik orang lain juga, sehingga bisa dirayakan oleh orang lain juga. Ketika orang-orang juga dapat membangun karya itu bersama, karya itu akan menjadi besar,” tutur Ricky.

Namun, kembali lagi, agar sebuah I.P. bisa berkembang dengan baik, wadah dalam industrinya harus sudah diciptakan terlebih dahulu: membangun sebuah industri tidak dapat dilakukan oleh satu sektor saja, melainkan bareng-bareng antar-sektor industri. Misalnya antara industri komik berbarengan dengan industri animasi, dan industri film. Sehingga bisa tumbuh secara bersamaan.

Tantangan dalam membangun industri ini pun memiliki risiko yang sangat tinggi. Investasinya juga tidak murah.

“Harus ada yang cukup gila dan cukup berani. Sekalinya berhasil, itu akan menciptakan jalan bagi yang lain,” pungkas komikus Roh Garuda tersebut.

Tulisan ini diproduksi oleh mahasiswa program Sekolah Vokasi Mojok periode Juli-September 2025. 

Penulis: Mohamadeus Mikail
Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Membantah Stigma Buruk tentang Wibu: Dari Waifu, Nolep, hingga Nggak Intelek atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version