Persoalan joki UTBK beberapa waktu lalu agak menggelitik Handika (25), seorang lulusan SMK yang kini bekerja di Cikarang, Jawa Barat. Selorohnya, hanya orang-orang yang ngebet pengin kuliah S1 yang nekat menggunakan jasa joki. Padahal jelas-jelas makin ke sini gelar sarjana saja makin susah buat cari kerja.
Oleh karena itu, Handika merasa mensyukuri pilihannya sekolah di SMK dan tidak menuruti gengsi kuliah.
Jumlah pengangguran lulusan SMA/SMK turun, sarjana naik
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkap pengangguran terbuka untuk lulusan SMA/SMK mengalami penurunan dalam tiga tahun terakhir. Namun, situasi sebaliknya terjadi pada lulusan S1 dan diploma.
Pada 2022, tingkat pengangguran terbuka lulusan diploma I/II/III sebesar 4,59%. Lalu mengalami kenaikan pada 2023 mencapai 4,79%. Kemudian pada 2024, jumlahnya naik di angka 4,83%.
Sementara, untuk lulusan S1, pada 2022 tercatat di 4,80%, 2023 sebesar 5,15% , dan 2024 naik lagi sebesar 5,25%.
Pengamat ekonomi dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana dalam laporannya di BBC Indonesia mengimbau, turunnya tingkat pengangguran terbuka untuk lulusan SMA/SMK jangan disikapi sebagai kabar baik.
Sebab, bisa jadi para lulusan SMA/SMK hanya bekerja di sektor informal atau belum mendapat pekerjaan layak.
“Sektor informal atau formal. Layak atau nggak. Tapi paling tidak ada pekerjaan yang bisa digarap oleh lulusan SMA/SMK. Daripada tidak sama sekali. Kasusnya sekarang kan banyak sarjana yang nganggur-gur-gur,” balas Handika saat saya sodori laporan tersebut, Selasa (13/5/2025).
Bersyukur menjadi lulusan SMK meski diremehkan
Hanya sedikit teman SMP Handika yang memilih melanjutkan Sekolah Menengah Kejuruan. Mayoritas memilih SMA atau MA. Di daerah Handika di Rembang, Jawa Tengah, entah kenapa SMK kerap dipandang sebelah mata. Karena sekolah tapi berurusan dengan pekerjaan kasar seperti mbengkel (untuk Otomotif) dan sejenisnya.
“Pas PKL misalnya. Aku kan di bengkel. Itu juga jadi bercandaan. SMA atau MA nggak ada gitu-gitu. Kalau ke anak SMK, masa sekolah disuruh sambil mbengkel,” ungkap Handika. Tapi dia tutup telinga.
Termasuk ketika masa kelulusan. Banyak anak SMA atau MA bersaing demi lolos perguruan tinggi. Bahkan ada yang rela bayar puluhan juta untuk sewa jasa joki.
Sementata lulusan SMK seperti Handika tidak ikut-ikut dalam pusaran itu. Dengan bekal teknis selama sekolah, dia memilih langsung mencicipi dunia kerja.
Handika merasa bersyukur akhirnya bisa kerja di sebuah dealer motor di Cikarang, Jawa Barat sejak 2018 hingga sekarang. Gajinya di angka Rp4 jutaan.
Dengan gaji itu, dia bisa menabung untuk membeli sesuatu yang dia ingin beli. Juga bisa menyisihkan untuk diberikan kepada orangtuanya untuk tambahan biaya sekolah sang adik.
Baca halaman selanjutnya…
Teman-teman sarjana sambat nganggur hingga pakai ijazah SMK biar keterima kerja
Teman-teman sarjana sambat cari kerja
Nasib serupa juga dialami beberapa teman SMK-nya. Bahkan ada yang akhirnya bisa membuka bengkel sendiri usai bertahun-tahun mengumpulkan modal. Walaupun sisanya tetap meminjam bank.
“Tapi seenggaknya bisa bikin usaha sendiri,” kata Handika.
“Ada juga yang sebenarnya cuma kerja di Indomaret-Alfamart. Tapi, sekali lagi, seenggaknya bisa kerja, cari uang sendiri, nggak minta orangtua lagi. Ada juga yang buka jasa wedding photography, malah lancar banget pemasukannya,” imbuhnya.
Sedangkan untuk teman-temannya yang sarjana, Handika menyaksikan sendiri ada banyak yang gelagapan mencari pekerjaan. Entah karena tidak sesuai kualifikasi atau karena terlalu pilih-pilih.
“Ijazah sarjana tapi kerja untuk kualifikasi SMA/SMK pun ada,” ucap Handika.
Persoalannya, menurut Handika, kebanyakan temannya saat kuliah memilih jurusan teoretis. Tidak memberi keterampilan kerja baru. Di sisi lain, ada saja mahasiswa yang tidak memiliki inisiatif untuk mengasah keterampilannya sendiri. Alhasil, lulus dalam keadaan kosongan.
Ijazah S1 “tidak menarik” bagi PT?
Pada 2024 lalu, Mojok menerima laporan dari seorang sarjana di Semarang, Jawa Tengah. Panggil saja Dono.
Setelah lulus kuliah, Dono kalang kabut mencari pekerjaan. Beberapa kali interview tapi tidak tembus semua. Padahal pesaingnya hanya lulusan SMK.
Seiring waktu Dono menyadari, beberapa PT memang lebih melirik lulusan SMK karena beberapa hal. Misalnya, lulusan SMK adalah anak-anak yang secara skill memang sudah disiapkan untuk kerja. Berbeda dengan sarjana, pintar teori belum tentu pintar praktik.
Selain itu, pertimbangan upah kerja juga mempengaruhi. Lulusan SMK cenderung tidak banyak protes soal upah. Sementara sarjana biasanya memasang daya jual tinggi untuk gelar sarjananya, kendati secara keterampilan belum tentu lebih baik dari lulusan SMK.
Karena sudah muak nganggur, Dono sempat mencoba melamar kerja dengan ijazah SMK-nya. Tidak dengan ijazah S1. Hasilnya, Dono keterima kerja. Laporan lengkapnya bisa dibaca di “Di Semarang Sarjana Harus Pakai Ijazah SMK untuk Melamar Kerja biar Diterima Perusahaan, Ijazah Kuliah Seolah Tak Laku”.
Solusi atasi pengangguran
Secara umum, data BPS per Februari 2025 menunjukkah kalau jumlah pengangguran di Indonesia untuk semua latar belakang pendidikan mencapai 7,28 juta jiwa.
Selain itu, selama 2024 hingga awal 2025, lebih dari 88.000 pekerja kehilangan pekerjaan. Salah satu perusahaan yang terdampak signifikan adalah PT Sri Rejeki Isman (Sritex), yang merumahkan 10.000 karyawannya akibat krisis keuangan.
Pakar ekonomi Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Arin Setyowati menyebut, butuh langkah cepat dan terukur untuk mengatasi krisis ketenagakerjaan ini.
“Pemerintah harus mengalihkan fokus kebijakan ekonomi dari sekadar menjaga angka makroekonomi menuju penguatan sektor-sektor yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar,” ujar Arin dalam keterangan tertulisnya.
Arin memberikan langkah-langkah rekomendasi sebagai berikut:
- Pemerintah harus memprioritaskan penyelamatan sektor padat karya, seperti tekstil, alas kaki, furnitur, dan makanan-minuman. Insentif fiskal berupa pengurangan pajak, subsidi gaji, hingga pinjaman lunak bagi perusahaan yang mempertahankan pekerja dinilai dapat membantu menekan angka PHK.
- Optimalisasi belanja negara melalui proyek-proyek padat karya di daerah juga menjadi solusi strategis. Dana yang semula dialokasikan untuk proyek besar harus dialihkan untuk pembangunan infrastruktur lokal berskala kecil hingga menengah, seperti irigasi desa, sanitasi publik, dan jalan lingkungan.
- Dukungan bagi UMKM dan sektor informal harus diperkuat. Sektor ini menyerap lebih dari 97% tenaga kerja di Indonesia, namun akses mereka terhadap pembiayaan dan pelatihan masih terbatas.
- Penguatan jaring pengaman sosial juga penting untuk mencegah peningkatan angka kemiskinan. Pemerintah perlu memberikan subsidi transportasi kerja, pelatihan vokasi berbasis kebutuhan pasar lokal, hingga bantuan sosial bersyarat bagi keluarga terdampak PHK.
“Jika tidak segera ditangani dengan serius, lonjakan pengangguran ini tidak hanya akan menjadi persoalan ekonomi, tetapi juga bom waktu sosial,” tegas Arin.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Lulusan S2 UGM dengan IPK Tinggi Jualan Bakso di Jogja Kala Mimpi Jadi Dosen Tertunda atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
