Implementasi Kurikulum Merdeka berbuah banyak keluhan dari para guru. Di antara banyak elemen yang merasakan dampak, guru lanjut usia dan guru di daerah pelosok jadi yang merasakan tantangan berat.
Kurikulum Merdeka banyak berdampak pada sistem kerja guru. Banyak program turunan seperti Guru Penggerak serta diklat dan pelatihan di Platform Merdeka Mengajar yang sejak 2022 jadi beban baru bagi para guru.
Berbagai implementasi tersebut memerlukan ketekunan mengakses berbagai platform atau berbasis digital. Bagi para guru, hal itu memang keniscayaan yang perlu mereka persiapkan. Namun, seringkali mereka merasa kewalahan.
Mojok mewawancarai beberapa guru yang meski masih berada di usia produktif namun merasakan bahwa Kurikulum Merdeka membuat mereka kelimpungan. Bahkan, mengaku jadi kesulitan fokus mendidik siswa karena terbelit tuntutan administrasi dan capaian sertifikat pengembangan diri. Apalagi guru lansia.
Salah satunya Juni*, guru yang masih berusia kepala empat ini mengaku jadi target 32 poin penunjang kinerja pada 2024 ini terasa membebani. Padahal, tugas mengajar saja sudah penuh dari pagi hingga sore. Malamnya ia harus mengupayakan untuk mengerjakan kewajiban pengembangan diri.
“Misalnya satu agenda diklat itu dapat 8 poin. Padahal diklat itu prosesnya panjang dan memakan waktu,” keluhnya kepada Mojok, Senin (29/1/2024).
Impelementasi Kurikulum Merdeka di 2024 ini mendorong mereka untuk terus mengejar perolehan sertifikat pengembangan diri padahal tugas utamanya adalah mendidik siswa di kelas. Menurutnya, keluhan semacam ini banyak keluar dari para guru di sekitarnya. Kalangan guru usia di atas lima puluh tahun menjadi yang mengalami tantangan berat di antara yang lain.
Banyak di antara guru usia jelang pensiun tersebut kemampuan mengoperasikan perangkat digitalnya masih terbatas. Padahal, semua tuntutan sekarang harus dikerjakan dengan platform-platform berbasis internet.
Derita guru tua karena Kurikulum Merdeka
Terlebih, pada 2024 ini akan semakin banyak hal yang perlu guru kerjakan lewat PMM sebagai platform terintegrasi untuk berbagai implementasi Kurikulum Merdeka. Di berbagai unggahan media sosial, tampak ribuan keluhan guru termasuk mereka yang sudah senior.
Salah satu yang tampak dari sebuah unggahan Kanal YouTube Abu Bakar yang mengkritisi beban administrasi guru yang membuat abai kewajiban mendidik siswa. Di kolom komentar, ada ribuah curhat guru.
Keluhan yang banyak muncul di antaranya soal sistem yang memberatkan guru di atas usia 50 tahun. Kebanyakan di antara mereka belum menguasai pemanfaatan perangkat digital secara optimal.
Baca halaman selanjutnya…
Keluhan guru lansia yang kehabisan tenaga dan kekecewaan guru di pelosok
“Kurikulum Merdeka di satu sisi ada baiknya, namun lebih banyak memberatkan karena waktu habis mengerjakan PMM untuk mengejar sertifikat. Kami yang sudah berumur 55 tahun merasa capek. Kami bukan robot, kami perlu istirahat untuk beraktivitas di esok hari bersama peserta didik,” keluh seorang guru di kolom komentar.
“e-Kinerja sangat memberatkan guru terutama yang sudah senior dan kurang menguasai IT. Mohon Mas Menteri meninjau kembali. Banyak yang berada di pelosok di mana sinyal internet tidak memadahi,” keluh akun lain @mundaroh6418.
Realitas guru di pelosok yang kesulitan internet
Praktiknya, bukan hanya guru lanjut usia yang terkendala melainkan guru-guru di daerah pelosok dengan internet terbatas. Saat ini realitanya pemerataan jaringan internet di Indonesia belum menjangkau seluruh wilayah. Terkhusus daerah terluar dan terpencil Indonesia.
Kisah pilu karena keterbatasan akses internat pernah dialami para guru SMP N Henga, Talibura, Sikka, NTT. Para guru di sana gagal seleksi salah satu program Kurikulum Merdeka yakni Guru Penggerak karena kesulitan internet.
Kepala Sekolah SMPN Henga, Silvina Sinta adalah salah satu yang mengalami kendala tersebut. Terpaksa, ia harus menunda setahun untuk ikut Guru Penggerak pada batch selanjutnya.
“Waktu itu ada kesempatan untuk daftar mengikuti seleksi calon guru penggerak tetapi saya gagal tidak ikut karena terkendala jaringan internet. Jujur sampai saat ini saya kecewa karena tidak ada jaringan saya terpaksa tunda lagi tahun depan,” keluhnya melansir Tribun Flores.
Kondisi itu, tentu tidak hanya dialami para guru di NTT. Masih banyak guru lanjut usia, hingga mereka yang bertugas di daerah dengan keterbatasan internet yang harus gagal menjalankan meraih capaian Kurikulum Merdeka secara optimal.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News