Ada guru yang memilih tidak ikut program Guru Penggerak. Alasannya beragam, salah satunya karena menilai lulusannya yang bisa kalah kompeten dari guru biasa yang rajin mengakses materi.
Buat sebagian guru, tahun 2023 lalu adalah masa kejar tayang berbagai program terkait implementasi Kurikulum Merdeka. Adrian* (34) misalnya, yang baru bernapas lega mendapat SK guru PPPK langsung berjibaku dengan tuntutan untuk mengentaskan pelatihan mandiri di Platform Merdeka Mengajar (PMM) demi dapat sertifikat sebanyak-banyaknya.
Ada berbagai kanal seperti pengembangan diri; perangkat ajar mulai dari modul ajar, modul projek, hingga buku teks; panduan pengelolaan kinerja dari perencanaan, pelaksanaan, hingga penilaian; dan masih banyak kanal dan fitur bermanfaat lainnya.
Namun, yang jadi tuntutan utama adalah pelatihan mandiri yang terdiri dari puluhan materi seperti Penguatan Profil Pancasila, Kurikulum Merdeka, Merdeka Belajar, hingga Kriteria Ketercapaian Tujuan Pembelajaran.
Selain itu, tahun lalu jadi masa guru digenjot untuk ikut program Guru Penggerak. Adrian adalah salah satu yang dapat dorongan itu dari kepala sekolahnya. Sebab, ia memenuhi beberapa kriteria utama Guru Penggerak seperti guru PNS, PPPK, atau wiyata bhakti yang sudah mengantongi Dapodik.
“Kepala sekolah mendorong minimal ada satu di tempat saya. Tahun lalu lumayan sibuk buat guru, PMM dan Guru Penggerak digenjot,” ungkapnya kepada Mojok, Rabu (16/1/2024).
Guru Penggerak merupakan program pendidikan kepemimpinan bagi guru untuk menjadi pemimpin pembelajaran. Program ini meliputi pelatihan daring, lokakarya, konferensi, dan pendampingan selama enam bulan.
Adrian mengaku lebih pilih untuk tidak mengikuti Guru Penggerak karena istrinya juga sudah lolos program yang sama. Pasangan ini sama-sama berprofesi sebagai guru.
Meski tidak ikut, Adrian sudah terlibat banyak untuk membantu istrinya mengerjakan program tersebut. Terutama untuk membuat video-video dari tugas tertulis atau materi yang sudah istrinya buat.
Alasan pilih tidak ikut Guru Penggerak
Buat Adrian, program Guru Penggerak sebenarnya tidak memberatkan seperti keluhan sejumlah guru. Mojok pernah mewawancarai Tiara* (45), seorang guru yang mengaku mundur dari proses seleksi program tersebut karena menganggap tugasnya terlalu banyak.
“Saya tanya ke guru yang sudah ikut, mereka bilang tugasnya benar-benar menyita waktu. Malah tugas pokoknya untuk mengajar jadi keteteran karena siang dan malam ngurus Guru Penggerak,” papar Tiara beberapa waktu lalu.
Namun, Adrian beranggapan sebaliknya setelah melihat istrinya lolos program berdurasi enam bulan ini. Kuncinya ada di manajemen waktu. Asal setiap selesai sesi pertemuan langsung mengerjakan tugas maka ia yakin tidak akan keteteran.
Jika programnya ia rasa tidak memberatkan, hal lain yang membuat Adrian enggan ikut serta karena kualitasnya tidak selalu lebih baik dari guru biasa. “Saya melihat bahkan di level yang sudah jadi pendamping Guru Penggerak di kabupaten, ternyata kualitasnya di bawah ekspektasi,” ungkapnya.
“Jadi ini program bagus tapi ya SDM di tingkat kabupaten biasa saja. Kualitasnya begitu-begitu saja. Bahkan ini di level yang sudah jadi pendamping bagi mereka yang sedang mengikuti Guru Penggerak,” imbuhnya.
Baca halaman selanjutnya…
Yakin belajar mandiri bisa mengalahkan kualitas Guru Penggerak
Bahkan, menurut Adrian, bermodal aplikasi PMM saja guru bisa mendapat materi yang setara dengan Guru Penggerak. Asal mendalaminya dengan serius dan tuntas keseluruhan materi.
“Menurut saya guru diberi materi PMM tanpa bimbingan dan anggaran saja, kalau rajin, justru kualitasnya lebih dari yang penggerak. Ini proyek bagus tapi nggak semua SDM di bawah siap,” katanya.
Selain itu, buatnya Guru Penggerak lebih cocok jadi semacam tes buat para guru yang hendak menapaki karir menjadi kepala sekolah atau pengawas. Sebab, saat ini syaratnya memang mengantongi sertifikat program tersebut.
Bedanya ada di sesi coaching dan diskusi dengan banyak guru
Narasumber Mojok lainnya, Amar (41) punya anggapan berbeda. Baginya, hal yang membuat program Guru Penggerak menarik bukan sekadar di materinya semata. Lebih lanjut, ada banyak kesempatan bertukar pikiran dengan guru dari berbagai latar belakang.
Peserta program tersebut akan melakukan sesi bersama fasilitator. Selain itu, peserta menjalani sesi lokakarya bersama guru lain di daerahnya.
“Di sesi lokakarya ini kami bisa saling berbagi program yang sudah terlaksana di sekolah masing-masing. Menarik sih buat saya,” ungkap Amar
Salah satu hal menarik lainnya adalah ketika peserta Guru Penggerak dapat menjalani coaching dengan guru lain. Amar belajar banyak caranya memfasilitasi rekannya yang mengalami permasalahan di kelas.
“Dalam coaching ini ada istilahnya alur TIRTA yaitu tujuan, identitas, intentifikasi, rencana aksi, dan tanggung jawab,” paparnya.
Proses belajar dan diskusi inilah yang membuat Guru Penggerak bagi sebagian guru tetap menarik dan membawa banyak manfaat. Tidak terbatas pada materi-materi tertulis atau audio visual yang bisa dipelajari secara mandiri.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News