Sudah Selayaknya Kota Yogyakarta jadi Ibu Kota Budaya Indonesia

Masyarakat antusias mengikuti arahan instruktur gladhen gamelan di Graha Budaya. (Agung P/Mojok.co)

Jalu (33) awas melihat anak perempuannya, Janur (4) yang tengah memukul saron, salah satu instrumen gamelan Jawa. Tak lama, anaknya mencoba memukul kenong, lantas berpindah ke kendang. Bukan hanya gamelan yang disentuh dan dimainkan anaknya, tapi juga wayang kulit. 

“Tadi anak saya mainkan wayang petruk,” kata Jalu. Ia bersama istrinya tengah berada di dalam ruang Graha Budaya yang jadi bagian dari Taman Budaya Embung Giwangan (TBEG), Sabtu (9/8/2025). Rupanya di ruang itu tengah ada aktivitas Rumaket atau Ruang Masyarakat Ketemu yang sedang menyelenggarakan Pameran Wastra, Kriya, dan Ksatria – Cerita dari Tanah Nusantara. Selain diisi pameran juga ada pelatihan atau gladhen wayang dan karawitan

Seperangkat gamelan dengan panggungan atau tempat pertunjukan wayang kulit dengan tata letak peralatan pentas, termasuk kelir membuat anak Jalu tertarik. Apalagi di tempat itu, ada keterangan bila pengunjung boleh menyentuh. “Jarang-jarang ada pameran atau aktivitas yang memperbolehkan pengunjung untuk menyentuh bahkan bermain,” kata Jalu. 

Memang bukan hanya Janur yang memainkan gamelan dan wayang. Saya menyaksikan banyak anak-anak dan orang dewasa yang memainkan gamelan saat itu. Bahkan ada satu keluarga bule yang mencoba memainkan wayang. Sang ayah terlihat memandu anaknya untuk memegang wayang, sementara sang ibu memotretnya. 

Tak lama kemudian, muncul beberapa laki-laki yang mengenakan surjan lurik dan ada juga yang mengenakan surjan ontrokusuma atau surjan bermotif bunga. Mereka kemudian mengundang pengunjung, baik anak-anak atau orang dewasa untuk belajar gamelan. 

Lutfi Maulana salah seorang instruktur gladhen menjelaskan bahwa, program pelatihan atau gladen wayang dan karawitan ini pelaksananya dari Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Yogyakarta. Sebuah organisasi yang bergerak dalam pelestarian seni wayang, khususnya wayang kulit.

Kota Yogyakarta mendapat julukan baru sebagai Ibu Kota Budaya Indonesia dalam Rakernas JPKI 2025 MOJOK.CO
Seorang anak wisatawan mencoba memainkan wayang di panggung gladhen wayang di Rumaket, Graha Budaya Embung Giwangan (Agung P/Mojok.co)

“Gamelannya memang boleh dimainkan, nanti akan dipandu. Tujuannya masyarakat ngaruhke dengan gamelan,” kata Lutfi. Program gladhen wayang dan karawitan ini jadi salah satu program rutin dari Rumaket yang digelar tiap tahun. Secara khusus, tahun ini, Rumaket menjadi bagian dari rangkaian kegiatan Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JPKI) dimana Yogyakarta menjadi tuan rumah. 

Sudah selayaknya Kota Yogyakarta jadi Ibu Kota Budaya Indonesia

Saya lantas menyapa Ines (26) yang baru saja mencoba memainkan gamelan dengan mengikuti arahan dari panitia. Ia baru pertama kalinya memegang gamelan. Ia duduk bersila di salah satu gamelan yang ia baru tahu kalau namanya, bonang penerus. Sebuah instrumen gamelan yang memiliki nada tertinggi dan termasuk paling sulit dimainkan. 

“Saya itu penasaran pingin nyoba memainkan musik Jawa. Akhirnya kesampaian, meski ternyata sulit juga. Tidak bisa hanya main sendiri, harus memikirkan pemain yang lain untuk menciptakan harmoni musik yang indah,” kata mahasiswa asal Kebumen yang tengah menyelesaikan program pascasarjana di UNY. 

Saat saya tanya, tentang apakah ia setuju Yogyakarta layak menjadi Ibu Kota Budaya Indonesia, dengan tegas ia menjawab, sepakat. Menurutnya, dari dulu pun orang sudah tahu, selain sebagai Kota Pelajar juga dikenal sebagai Kota Budaya. Gambaran mudahnya ia mencontohkan, program Rumaket yang mendekatkan seni budaya kepada masyarakat awam. 

“Itu salah satu bukti bahwa Jogja kaya akan seni dan budaya. Predikat itu harus mendorong semakin banyak kesempatan orang-orang, bahkan yang dari luar Jawa untuk tahu dan belajar budaya Jawa, sehingga keberadaannya makin lestari,” katanya. 

Rapat Kerja Nasional Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) 2025 memang memutuskan bahwa Kota Yogyakarta menjadi Ibu Kota Budaya Indonesia. Penetapan ini akan dilaksanakan pada tahun 2025. 

Hal tersebut ditegaskan Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta Yetti Martanti, S.Sos, M.M dalam penutupan Pasar Malam Indonesia (PMI) yang berlangsung di Amphitheater TBEG, Sabtu (9/8/2025). PMI sendiri bagian dari Rapat Kerja Nasional (Rakernas) XI Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JPKI) yang berlangsung dari 5 Agustus hingga 9 Agustus 2025.

“Dengan penuh rasa bangga, saya sampaikan bahwa hasil Rakernas JKPI 2025 ini telah menetapkan Kota Yogyakarta sebagai Ibu Kota Budaya Indonesia,” katanya. 

Predikat itu, menurut Yetti sangat tepat karena sejarah panjang Kota Yogyakarta dalam menjaga dan mengembangkan warisan budaya. Mulai dari keberadaan Kawasan Cagar Budaya, kampung-kampung budaya, penguatan dan pendampingan industri batik di masyarakat, beragam seni pertunjukan dan kuliner tradisional yang masih tetap eksis, hingga tatanan ruang kota yang khas dan penuh nilai filosofi yang masih tetap dipertahankan dan dijaga kelestariannya.

Dikunjungi 50 ribu lebih pengunjung

Yetti juga menyampaikan bahwa Pasar Malam Indonesia (PMI) sebagai ajang yang merayakan ragam budaya, kuliner, dan kreativitas nusantara dalam suasana malam Jogja yang hangat. Lebih dari sekadar hiburan, PMI menjadi ruang perjumpaan yang memupuk kebhinekaan melalui interaksi antara peserta, tamu, dan masyarakat.

Ribuan masyarakat menyaksikan pertunjukan musik untuk memeriahkan PMI, Sabtu (9/8/2025) di Taman Budaya Embung Giwangan. (Agung P/Mojok.co)

Yetti mengatakan ada total 115 booth yang terdiri 35 booth delegasi anggota JKPI, 40 booth dari UMKM Kota Yogyakarta serta 40 booth pasar tradisional. Selama penyelenggaraan dari 30 Juli hingga 9 Agustus 2025, tidak kurang 50 ribu masyarakat datang untuk menyaksikan berbagai pertunjukan, hingga kulineran di Taman Budaya Embung Giwangan. 

Yetti menambahkan rangkaian JKPI digelar antara lain, Festival Sastra Yogyakarta (FSY) dengan tema Rampak, Pasar Malam Indonesia (PMI), Indonesian Street Performance, yakni karnaval budaya yang digelar di sepanjang Malioboro, menampilkan pertunjukan seni dari delegasi JKPI dan ribuan peserta lain. 

Selain itu ada Fun Bike dan City Tour untuk memperkenalkan dan mempromosikan potensi pusaka budaya serta warisan sejarah yang dimiliki oleh Yogyakarta sebagai tuan rumah. Adapula Ladies Program, yakni program khusus untuk istri kepala daerah, berisi kegiatan budaya dan inspiratif khas Yogyakarta. Program unggulan lainnya yaitu Master Class Kampung Menari. 

“Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat memeriahkan acara ini. Dukungan delegasi setiap daerah anggota JKPI yang merepresentasikan kekayaan seni budaya daerah masing-masing melalui Pentas Budaya, pameran produk unggulan, kuliner khas, dan berbagai bentuk kolaborasi seni, telah membuat PMI tahun ini istimewa,” tutup Yetti dalam laporannya.

Direktur Eksekutif JKPI Nanang Asfarinal mengatakan bahwa Rakernas XI JKPI berlangsung luar biasa. Hasil kerja keras dari Pemkot Yogyakarta, khususnya Dinas Kebudayaan. Ia melihat, betapa hebat pertunjukan-pertunjukan seni di ruang publik di Yogyakarta. 

Panggung-panggung pertunjukan yang ada di Taman Budaya Embung Giwangan mengundang antusiasme masyarakat untuk datang. “Artinya penyelenggaraan JKPI telah memberikan multiplier effect ekonomi untuk masyarakat Kota Yogyakarta, JKPI tahun ini luar biasa, terima kasih Yogyakarta,” ujarnya.

Wakil Walikota Yogyakarta Wawan Harmawan menutup PMI sekaligus menutup seluruh rangkaian kegiatan JKPI dengan mengundang band asal Yogyakarta Jikustik ke panggung Amphitheater TBEG. Pesta kambang api di akhir acara menjadi penyempurna di akhir acara. 

Penulis: Agung Purwandono
Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Menelusuri Kotagede Jogja: Nemu Banyak Hal Kalcer, Memantik Kesadaran agar Sastra Lebih Membumi atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version